Kamis, 25 Desember 2020, teman-teman kembali berkumpul di kabin tengah Rumah Tamera. Berkumpul kali ini adalah dalam agenda diskusi terarah, menyatukan presepsi, dan meninjau proses sketsa yang dilakukan oleh teman-teman 3 minggu terakhir untuk proyek Kurun Niaga. Sebelumnya, para partisipan proyek: Anggraeni Widhiasih (Jakarta), Autonica (Yogyakarta), Verdian Rayner (Solok), Volta A Jonneva (Kinari), Teguh Wahyundri (Solok) Boynistill (Solok), BDX (Solok), dan para fasilitator: Albert Rahman Putra (Solok), Biahlil Badri (Solok), Biki Wabihamdika (Solok), telah mengunjugi beberapa titik di Solok dan Kota Sawahlunto untuk memproduksi sketsa.
Penghujung tahun 2020 kegiatan Gubuak kopi akan ditutup dengan Kurun Niaga #2. Pada tahun ini Gubuak Kopi melibatkan 7 orang seniman Anggraeni Widhiasih (Jakarta), Autonica (Yogyakarta), Verdian Rayner (Solok), Volta A Jonneva (Kinari), Teguh Wahyundri (Solok) Boynistill (Solok), BDX (Jawi-Jawi). Saya, Badri, dan Albert dalam aktivitas ini terlibat sebagai fasilitator. Teman-teman ini kita minta untuk membaca ulang jalur niaga di Sumatra Barat. Para seniman ini dibekali catatan dari proyek Kurun Kiaga tahun lalu, dan diajak ke beberapa lokasi untuk melihat lebih dekat daerah yang bersinggungan dan melihat kontur alam Solok dari ketinggian. Setiap seniman menuangkan impresinya dalam bentuk sketsa sebagai refleksi dari hasil pengamatan jalur niaga tersebut.
“December is hotter than November, this month warms up the murals scattered accros the city. But something else happened, the leafs, wells, and our clothes dry faster. So, if you are missing something — it’s just change taking its place”
(m.biahlil_badri Instagram caption, 22 Desember 2020)
Sekarang kita sampai pada Desember, yang sejak dari awal lebih panas dari bulan-bulan sebelumnya. Di pertengahan bulan ini kita menyambangi Sawahlunto. Kota yang dikenal dengan hasil alam batu bara, kareta api, dan bentuk geografisnya yang memiliki kekhasan tersendiri.
Sabtu, 28 November 2020, Tenggara Street Art Festival ditutup. Festival ini diinisiasi oleh Gubuak Kopi dan Rumah Tamera – Solok Creative Hub, sebagai pengembangan wacana mengenai street art dan semangat D.I.Y di Sumatera. Festival yang sudah berlangsung selama 10 hari ini terdari dari rangkaian program. Program-program yang berlangsung terdiri dari Artist in Residence, Workshop, Jamming Session, Camping, dan Closing Night.
Awal Desember lalu, seorang kawan dari Palu mengirimkan tangkapan layar dari sebuah berita daring tentang berdirinya Little Eropa di Lembah Harau, Sumatra Barat. Di gambar tersebut, terlihat pemandangan hijau dan kelabu khas Lembah Harau menjadi latar belakang bangunan-bangunan miniatur, menyerupai sejumlah bangunan ikonik di Eropa, seperti Menara Eiffel dan piramida kaca Museum Louvre. Kawan saya menyayangkan pembangunan miniatur-miniatur yang menurutnya malahan mengganggu keindahan asli Lembah Harau yang sudah sedari dulu ikonik dan indah meski tanpa tambahan visual. Di jagad maya, banyak netizen yang memberikan respon serupa terkait hal ini, meski sebetulnya Little Eropa di Lembah Harau sudah berdiri sejak tahun 2019. Memang, sekarang ini di berbagai lokasi di Indonesia sedang menjamur didirikannya miniatur-miniatur landmark ikonik atau lokasi wisata di luar negeri yang khas muncul pada laman influencer Instagram. Kencangnya sirkulasi visual di media sosial telah membuat orang-orang melihat semakin banyak referensi visual dari negeri seberang dan mendorong keinginan untuk memproduksi hal serupa. Swafoto di depan landmark ikonik, sekalipun hanya miniaturnya, menjadi sebuah tren yang belakangan pun dijadikan fitur wisata. Kebutuhan komersial wisata dan konsumsi visual ala Instagram pun telah mendorong segelintir pihak mencomot visual dari antah-berantah dan meletakkannya di berbagai titik di negeri ini dengan dalih memperindah dan menarik minat pengunjung.
Beberapa waktu sebelum penutupan Tenggara Street Art Festival, Dinas Pariwisata Kota Solok menelpon kami, ia menyampaikan pesan dari Mimi Batik. Salah satu rumah produksi batik khas Solok. Melalui dinas tersebut, Mimi Batik menyampaikan apresiasinya atas aksi kreatif para seniman yang terlibat di residensi Tenggara Festival selam 10 hari di Solok, 18-28 November 2020. Aksi tersebut telah mewarnai ruang publik Solok dan menurutnya menginspirasi teman-teman di Solok untuk berkontribusi secara kreatif untuk kota kecil ini.
Sepertinya kelompok musik yang satu ini tidak perlu banyak perkenalan lagi. @orkestamanbunga yang berbasis di Kota Padangpanjang ini sudah berdiri sejak tahun 2012, dan sudah mewarnai berbagai panggung di Sumatra. Oktober lalu, Rumah Tamera juga turut terlibat dalam produksi dan peluncuran album kedua mereka di 3AM Creative Space, Kota Padang.
Papan Iklan adalah sebuah proyek musik yang dikelola warga ekosistem @rumahtamera, yakni @muhrisky15@zakarzzzz@m.biahlil_badri dan @badikkk. Proyek musik ini hadir dalam format band. Beberapa lagu-lagu mereka mengemas teks-teks yang tersebar di ruang-ruang publik warga Solok. Teks-teks itu seperti iklan dan peringatan yang ditulis warga untuk setiap orang yang melihat. Dan band ini menjadikannya berbunyi dan terdengar.
Kisshy Neolle Amara adalah salah seorang musisi solo asal Solok. Sabtu, 28 Novemberi 2020 lalu ia berkesempatan memeriahkan malam penutupan Tenggara Street Art Festival di Taman Pramuka, Kota Solok. Ia tampil memukau para peserta kemah dan pada street artist. Suaranya yang merdu diiringi petikan gitar partner musiknya melantunkan teman-tembang yang sejuk.
Tahun ini, Tenggara Street Art Festival 2020, menyiapkan 4 kategori award (penghargaan). Penghargaan ini adalah salah satu bentuk apresiasi untuk kawan-kawan muda yang terlibat dalam Jam Session. Kami mengundang 3 orang juri untuk menemukan karya potensial pada 4 kategori award, yakni Andang Kelana (Visual Jalanan, Jakarta), Bujangan Urban (Jakarta), Verdian Rayner (Solok).
Tenggara Award untuk karakter visual yang orisinil, sadar akan capaian estetika dalam konteks seni jalanan. Dalam hal ini juri juga akan mempertimbangkan koherensi antara bentuk dan narasi yang tengah direspon. Gubuak Kopi Kopi Award untuk karya yang mewakili semangat otokritik dan optimis. Memahami permasalahan di sekitar kita, menertawakannya, sebagai cara mawas diri dan berbenah. Solok Milik Warga Award untuk karya yang memiliki semangat dan keberpihakan terhadap warga berdaya. Menyoroti, serta menjadi bagian dari sistem pendukung untuk warga yang mengatasi persoalannya, serta menjawab kebutuhannya sendiri. Cadas Award untuk seniman yang bertindak eksploratif terhadap media karyanya dan menawarkan kebaharuan terhadap gagasan mengenai seni jalanan.
Juri dipilih oleh Tenggara Street Art Festival untuk bebas menentukan penilainnya berdasarkan kategori award. Pengalaman, wawasan, serta keberpihakannya terhadap kebaharuan dan tujuan dari festival ini, menjadi dasar kami memilih para juri. Untuk itu keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.
Malam itu, pada acara penutupan, 28 November 2020, anak muda terpilih menerima awardnya. Award ini dipersembahkan oleh Rumah Tamera, Komunitas Gubuak Kopi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan merchandise spesial dari Gardu House.
PARA PENERIMA AWARD
Tenggara Award diterima oleh Muhammad Aqil Azizi
–
Gubuak Kopi Award diterima oleh Nurul Ilham
–
Solok Milik Warga Award diterima oleh Rafiq “Alun”