Author Archives: Anggraeni Widhiasih

Anggraeni Widhiasih terlibat aktif dalam ekosistem kolektif seni dan platform ekonomi eksperimental, praktik-praktik Anggraeni lebih dominan seputar upaya memfasilitasi dan mengelola ruang untuk praktik-praktik yang mengeksplorasi kemungkinan studi dan ekspresi di wilayah seni, sinema, maupun kajian ekonomi-sosial-budaya yang berkaitan dengan rezim dan sistem. Ketertarikannya secara isu relatif ragam seiring dengan ragam keterlibatannya pada berbagai kerja sejumlah kolektif dan jaringannya. Perhatian utamanya terletak pada upaya produksi dan distribusi pengetahuan yang senantiasa berupaya membaca konteks pada sebuah lokasi dengan menempatkan dan mengekspansikan 'care' sebagai prinsip dasar kerja mengelola ruang dan pengetahuan. Kini, ia tengah menjajaki kerja yang berhubungan dengan data dan media.

Merekam, Bertutur, Merefleksikan Tata Kelola Warga

Merekam untuk Bertutur

Sebagai seorang warga perantau yang hidup di Selatan Jakarta, saya tidak familiar dengan semua seluk-beluk Jakarta. Maka saya pun kurang kenal dengan kawasan Galur selain kenyataan bahwa ia adalah sebuah wilayah administratif tingkat Kelurahan di kawasan Jakarta Pusat. Akan tetapi suatu ketika dari selancar harian mengunjungi unggahan @tuturgalur di Instagram dan kemudian menghadiri presentasi Open Studio Tutur Galur, sekonyong-konyong cerita tentang kehidupan di Galur mengalir mengisi ruang pengetahuan di kepala saya.

Continue reading

Kelekatan: Merindu, Melekat, Menghancurkan 

Teks ini merupakan bagian dari Pengantar Pameran Tamera Showcase #5 – Kamarkost.ch di Rumah Tamera, salah satu presentasi proyek regular yang dikelola oleh Rumah Tamera Hub, dalam menyoroti inisiastif dan proyek-proyek anak muda di Sumatera Barat. Pada seri ke-5 ini, Tamera Showcase menghadirkan Kamarkost.ch salah satu kolektif asal Kota Padang. Pengantar ini ditulis oleh Anggraeni Widhiasih, untuk memperkaya pembacaan mengenai praktik artistik teman-teman Kamarkost.ch dalam konteks kehadirannya di showcase ini.

Continue reading

TENGGARA STREET ART FESTIVAL: UPAYA MERESPON KOTA

Awal Desember lalu, seorang kawan dari Palu mengirimkan tangkapan layar dari sebuah berita daring tentang berdirinya Little Eropa di Lembah Harau, Sumatra Barat. Di gambar tersebut, terlihat pemandangan hijau dan kelabu khas Lembah Harau menjadi latar belakang bangunan-bangunan miniatur, menyerupai sejumlah bangunan ikonik di Eropa, seperti Menara Eiffel dan piramida kaca Museum Louvre. Kawan saya menyayangkan pembangunan miniatur-miniatur yang menurutnya malahan mengganggu keindahan asli Lembah Harau yang sudah sedari dulu ikonik dan indah meski tanpa tambahan visual. Di jagad maya, banyak netizen yang memberikan respon serupa terkait hal ini, meski sebetulnya Little Eropa di Lembah Harau sudah berdiri sejak tahun 2019. Memang, sekarang ini di berbagai lokasi di Indonesia sedang menjamur didirikannya miniatur-miniatur landmark ikonik atau lokasi wisata di luar negeri yang khas muncul pada laman influencer Instagram. Kencangnya sirkulasi visual di media sosial telah membuat orang-orang melihat semakin banyak referensi visual dari negeri seberang dan mendorong keinginan untuk memproduksi hal serupa. Swafoto di depan landmark ikonik, sekalipun hanya miniaturnya, menjadi sebuah tren yang belakangan pun dijadikan fitur wisata. Kebutuhan komersial wisata dan konsumsi visual ala Instagram pun telah mendorong segelintir pihak mencomot visual dari antah-berantah dan meletakkannya di berbagai titik di negeri ini dengan dalih memperindah dan menarik minat pengunjung.

Continue reading