Lanskap Singkarak Setelah Batu Bara

Penghujung tahun 2020 kegiatan Gubuak kopi akan ditutup dengan Kurun Niaga #2. Pada tahun ini Gubuak Kopi melibatkan 7 orang seniman Anggraeni Widhiasih (Jakarta), Autonica (Yogyakarta), Verdian Rayner (Solok), Volta A Jonneva (Kinari), Teguh Wahyundri (Solok) Boynistill (Solok), BDX (Jawi-Jawi). Saya, Badri, dan Albert dalam aktivitas ini terlibat sebagai fasilitator. Teman-teman ini kita minta untuk membaca ulang jalur niaga di Sumatra Barat. Para seniman ini dibekali catatan dari proyek Kurun Kiaga tahun lalu, dan diajak ke beberapa lokasi untuk melihat lebih dekat daerah yang bersinggungan dan melihat kontur alam Solok dari ketinggian. Setiap seniman menuangkan impresinya dalam bentuk sketsa sebagai refleksi dari hasil pengamatan jalur niaga tersebut.

Beberapa minggu yang lalu para seniman sudah mulai bergerilya di daerah yang ditunjuk, seperti Payo, Angin Berembus, dan Ampang kualo. Lokasi inidi pilih karena dari sana kita dapat lebih leluasa melihat landscape daerah yang diamati. Kami juga sempat bergeser ke Kota Sawahlunto. Dimulai dari pasar, kandang lokomotif tua: Mak Itam, puncak cemara, dan  beberapa museum disana yang berkaitan dengan sejarah aktivitas pertambangan batu bara. Setelah dari Kota Sawahlunto kami merencanakan untuk berpindah ke hulu sungai Batang Ombilin dan Muara sungai Batang Lembang, sebuah danau terbesar di Sumatera Barat yang mendonasikan airnya untuk PLTA Singakarak. Air danau dialirkan melalui terowongan menembus Bukit Barisan hingga menggerakkan turbin yang terletak di Jorong Asam Pulau, Lubuk Alung.

Pada tanggal 24 Desember 2020, sekitar pukul 15.00 WIB, Saya, Da boy, Anggra, Teguh, Badri, Albert, Verdian, BDX, dan Bohdana keponakannya Anggra, kami berangkat dari Rumah Tamera  menggunakan 4 buah sepeda motor menuju Tiang Tujuah. Jarak Rumah Tamera ke Tiang Tujuah kurang lebih 30 menit menggunakan sepeda motor.

Dari Rumah Tamera kami menuju Pom Bensin di Banda Panduang untuk isi bensin motor. Tapi ternyata antriannya sangat panjang, sementara kami harus mengejar waktu. Jadi kami hanya mengitari dan pom kemudian keluar lagi ke jalan menuju bensin ketengan.

Di depan pom ini kita akan disuguhi barisan derigen yang disusun rapi berisikan jenis-jenis bahan bakar yang sesuai dengan selera motor  anda. Pemandangan ini dapat dilihat setiap hari di lokasi ini. Apa boleh buat kami mengisi bensin ketengan walau harganya sedikit lebih berkelas dari harga pom milik Pertamina. Menggunakan motor bebek dan matic rata-rata 110 CC  satu liter minyak seharusnya cukup untuk perjalanan hari ini. Setelah mengisi minyak motor kami melanjutkan perjalanan dari Banda Panduang. Kami melesat keluar dari Kota Solok melewati Nagari Tanjuang Bingkuang, dan berhenti sejenak di Pasar Sumani, membeli beberapa gorengan untuk “ganjal perut”.

Setelah selesai makan beberapa gorengan kami melanjutkan perjalanan, melewati jembatan yang melintasi Batang lembang dan kemudiaan jalan lurus sekitar 500 M. Rem motor harus digunakan karena kita akan melintasi beberapa pelintasan rel kereta. Setelah rel kereta kita melewati perkampungan padat, Nagari Singkarak. Dimana rumah dan jalan hanya berjarak 1 meter bahkan ada yang Kurang. 

Rel kedua, posisinya sedikit turunan. Kalau hujan, pelintasan rel satu ini biasanya akan digenangi air. Kemudian kita disambut tikungan ke kanan yang cukup panjang, jika kita lurus kita akan masuk ke lokasi wisata dermaga danau Singakarak. Tidak sampai 100 meter dari gerbang dermaga kita akan menyebrang rel lagi. Setelah menyebrangi rel, sebelah kanan terdapat kantor Polsek Singkarak. Lanjut,  jalan meliuk-liuk mengikuti kontur tepian tebing yang menjulur ke danau. Tikungan yang syahdu.

Sampai di sebuah pohon beringin besar, tepat di bawahnya rel kereta membentang dari utara ke selatan. Ini adalah rel terakir yang kami lintasi menuju Tiang Tujuh. Sekitar 100 meter dari sana kami tepat berada di bibir Danau Singkarak, beberapa bangunan rumah warga yang membelakangi danau menghalangi pandangan, hingga kami sampai di Tiang Tujuah.

Di Tiang Tujuah ini tidak ada bangunan dan warung pinggir danau karena bibir danau di bagian ini cukup curam, dan susah untuk mendirikan pondasi bangunan. Menurut cerita yang berkembang, di wilayah ini sempat terjadi beberapa kali kecelakaan dan mobil yang masuk ke danau dan tidak bisa ditemukan.

Sekitar 100 meter jalan tiang tujuah ini lebih sempit dibandingkan jalan sepanjang bibir danau Singkarak. Luas jalan di sini cukup sempit, hanya bisa parkir satu motor saja di bibir jalan. Di lihat dari arsip mega proyek pembangunan rel kereta menuju tambang di Sawahlunto, jalan lintas utama yang kita lewati ini ukurannya memang cukup kecil, maka dilakukan pengerasan di  sepanjang bibir danau untuk menopang timbunan, agar tidak terjadi amblas ke arah danau. Sementara di tebing, jenis tanahnya adalah bebebatuan yang mudah longsor, dan Tiang Tujuah atau tujuh tiang yang kami kunjungi ini, dibuat untuk menahan batu-batu besar yang bisa saja turun dari tebing.

Sampai di Tiang Tujuah, gorengan dibuka sambil mempersiapkan peralatan sketsa. Cuaca cukup cerah, lapisan perbukitan yang mengelilingi danau terlihat begitu jelas. Bukin-bukit kecil dan perkampungan seberang juga cukup jelas. Ada Saniangbaka, Muaropingai, Paninggahan, Malalo, dan Sumpu.

Da Boy, Anggra, BDX, Verdian, Teguh dan Volta sudah siap dengan peralatan mereka. BDX bereksperimen dengan tulang daun-daun sekitar sebagai kuas dan tinta sisa pilkada yang saya bawa dari TPS. Saya dan Albert bergantian untuk menemani Bohdana, keponankan Anggra yang berusia 3.5 tahun. Setelah semua sudah merasa puas menikmati dan membingkai landscape Singkarak ke kertas, mata kami suguhi pertunjukan cahaya matahari menyenteri danau di sela-sela awan sore. Melihat cukup waktu yang kami punya kami memutuskan untuk berpindah ke tempat perahu-perahu nelayan di Saniangbaka parkir.

Menyusuri jalan yang kami lewati hingga pasar Sumani belok ke kanan. Memasuki Nagari Saniangbaka, kami berada di tengah hamparan sawah yang membentang hingga muara Batang Lembang. Kebetulan saya sempat bersekolah Di Madrasah Tsanwiyah Muhammadiyah Di Saniangbaka. Secara tidak langsung saya teringat masa-masa bergerilya dengan teman-teman di daerah ini. Saya masih ingat nama jorong pertama yang kita lewati itu adalah Kapalo Labuah, dan Verdian, salah satu orang tuanya berasal dari Saniangbaka ini.

Kawanan bangau di Saniangbaka, Danau Singkarak.

Kami belok kiri di beringin besar pertama di Kapalo Labuah. Ternyata kami mampir dulu ke rumah nenek Verdian, istirahat sejenak. Rumah nenek Verdian berada di Jorong Balai Panjang, di depan rumah neneknya sore itu kami melihat warga pulang dari kebun tengah membawa hasil perkebunan mereka seperti kulit manis kopi dan berbagai hasil kebun lainnya menggunakan sepeda motor yang telah di modifikasi ala “motor cross”. Ya, jalan di depan rumah nenek Verdian ini merupakan salah satu jalur menuju perkebunan warga.

Setelah istirahat, kami melanjutkan ke pasia. Begitu warga menyebut daerah pinggiran danau yang mirip pantai. Dari rumah Nenek Verdian Kami keluar lagi masuk ke jorong Balai Tangah dan keluar di sekolah saya dulu. Balai Gadang nama jorongnya, belok kanan menuyusuri sedikit ke jalan utama dan kita masuk ke jalan kecil arah ke danau, saya lupa nama kecilnya. Sampai di tempat parkir motor, kami disambut ribuan bangau yang baru saja pulang. Saya baru pertama kali melihat bangau sebanyak itu dari jarak dekat, kami menyempatkan untuk berfoto dengan gerombolan bangau itu.

Tidak bisa berlama-lama karena kami harus berpacu dengan matahari untuk dapat melihat Singkarak dari selatan, lebih dekat. Barisan sampan tersusun rapi di pinggir danau tim sketsa langsung mengeluarkan alat tempur mereka BDX menyusun tiga kertas yang digambar sekaligus. Begitupun Da Boy, Teguh, Verdian dan Anggra tanpa basa basi mengambil posisi dan arah kiblat masing-masing. Badri sibuk mengabadikan sore di tepian ini dan saya tetap sibuk berduel dengan Bohdana si kecil yang selalu sibuk.

Perahu parkir dan alat bantu dorong perahu

Mata saya tertarik dengan benda di bawah sampan-sampan nelayan, sebuah besi bulat panjang sekitar satu meter yang dirangkai dan masing-masing ujungnya dipasangkan kelahar. Ternyata besi tersebut digunakan untuk mempermudah proses pemindahan sampan kedaratan. Sebelumnya, untuk memindahkan sampan ke daratan membutuhkan empat orang untuk mendorong sampan dengan adanya alat tersebut, nelayan bisa mendorong sampannya seorang diri ke parkiran, kata salah seorang nelayan.

Matahari sudah menyelesaikan tugasnya hari itu kami harus menggunakan lampu dari telepon pintar kami untuk keluar dari parkiran kapal. perut sepertinya sudah tidak bisa lagi untuk dikecoh. Verdian mengusulkan ide cemerlangnya untuk makan di rumah neneknya. Keluar dari pasia kami membeli sejumlah mi instan, telur, dan kerupuk untuk santap malam, sebelum kembali ke Rumah Tamera.     

Biki Wabihamdika (Tanggerang, 1996). Biasa disapa Biki menetap di Gantuang Ciri, Solok. Ia adalah lulusan ISI Padangpanjang dengan studi Seni Karawitan. Selain proyek-proyek musik, ia juga sibuk berkegiatan bersama Gubuak Kopi. Sebelumnya, Biki juga aktif di beberapa kelompok musik seperti Ethnic Percussion Padangpanjang, Bangkang Baraka, dan Autotune Production. Selain itu ia juga pernah terlibat di ruang diskusi dwi-mingguan Otarabumalam. Ia juga merupakan kolaborator proyek seni Kurun Niaga (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.