Author Archives: Biahlil Badri

M. Biahlil Badri (Solok, 1996). Biasa disapa Adri. Salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi. Sempat berkuliah di ISI Padangpanjang. Sekarang aktif mengelola akun @solokmilikwarga, sebuah metode pengarsipan yang dikembangkan Gubuak Kopi melalui platform Instagram, dan juga aktif menulis untuk beberapa media di Sumatera Barat. Ia juga merupakan salah satu partisipan kegiatan Daur Subur di Parak Kopi (2019), kolaborator Pameran Kesejarahan Kurun Niaga bersama Gubuak Kopi (2019). Saat ini selain di Gubuak Kopi, ia juga mengelola kelompok musik Papan Iklan.

Memesan Hidangan

Seringkali kita mengandalkan internet untuk melihat sesuatu yang penting dalam waktu yang cepat. Namun, ada sesuatu yang kita konsumsi tanpa mencarinya di hidangan. Dia adalah bentuk otomatis yang muncul sebagai gerbang sistematis atau satu ‘bentuk’ dari sebagian besar informasi yang ada. Semacam menu pembuka dihidangkan kepada kita. Dengan itu, kita bisa menyaksikan yang jauh dari dekat. Atau di kondisi lain, kita menyebarkan yang dekat agar jauh. Kita sebut ini adalah lubang pengintip berbasis internet. 

Continue reading

Kuratorial: Menyusun Mantra

Catatan pengantar Kuratorial Tamera Showcase #5 – Menyusun Mantra. Tamera Showcase adalah salah satu presentasi reguler yang dikelola oleh Rumah Tamera Hub, dalam proyek inisiastif dan proyek-proyek anak muda di Sumatera Barat. Pada seri ke-5 ini, Tamera Showcase menghadirkan Kamarkost.ch salah satu kolektif asal Kota Padang.

Continue reading

Singkat cerita dia menjadi ingatan banyak orang…

Tokyo Drift adalah budaya jalanan di Kota Tokyo yang berawal dari balapan ilegal di perbukitan Jepang, yang kemudian terus berkembang menjadi balapan yang diakui global.  Teiichi Tsuchiya dijuluki “Drift King” atau “Dorikin” pembalap Jepang pertama yang mempopulerkan seni drift, kemudian mempopulerkannya pada pertengahan 1980-an.  Teknik balapan ini dibawa ke Jerman yang kemudian menarik banyak orang akan balapan asal Jepang ini. Kita pernah sangat akrab dengan narasi ini dari media dan film-film bioskop, sebut saja The Fast and The Furious: Tokyo Drift (Justin Lin, 2006) yang sempat populer di Indonesia. Salah satu Film balapan mobil yang merupakan sekuel dari film The Fast & Furious, produksi Universal Picture. Ya, kepopuleran ini juga semacam bonus dari intensnya aksi itu dilakukan. 

Continue reading

Bertanam Niat

Ini adalah hari ke-8 dari Lokakarya Daur Subur di Kampung Jawa. Seperti hari sebelumnya, partisipan akan langsung ke lokasi riset mereka masing-masing sedari bangun tidur. Kemudian akan kembali ke Rumah Tamera pada jam makan siang. Banyak hal-hal menarik yang ditelusuri partisipan di Kampung Jawa, khususnya di RW 6. Alfi misalnya, ia terus berkeliling dan menemukan berbagai jenis peliharaan dan ternak warga sekitar untuk diketahui dan pelajari. Aldo, berjalan sendirian menemukan aliran-aliran air pada sawah, ladang, dan pemukiman warga. Arfan, juga tertarik pada kondisi bangunan tinggi yang terletak di belakang Rumah Tamera, yakni rusunawa. Begitu juga pada Nanduik, Hatta, Nora, Amel, dan Alif  mereka terus berjalan menemukan bagian-bagian menarik di sini, di Kampung Jawa, Solok.

Continue reading

Landik, Sebuah Perlombaan Layangan

Mungkin hampir tiap minggunya, perhelatan layangan digelar di lokasi ini. Adalah sebuah lapangan yang berukuran setengah lapangan bola kaki.  Terletak di Jalan Lingkar Utara, Solok, di pinggir jalan sebuah lahan yang sepertinya akan dibangun sebuah bangunan besar atau mungkin perumahan. Jalan Lingkar ini, sering kali menjadi jalur pilihan warga sekitar untuk sekedar jalan-jalan santai di sore hari. Sejumlah kendaraan akan terparkir di sepanjang jalan kawasan ini. Mereka tidak meninggalkan motornya seperti orang-orang memarkirkan kendaraan mereka di toko-toko atau pusat perbelanjaan. Mereka mendudukinya selama menonton perlombaan layangan berlangsung dari pinggir jalan.

Continue reading

Merekam Garis-garis di Kota Tambang

“December is hotter than November, this month warms up the murals scattered accros the city. But something else happened, the leafs, wells, and our clothes dry faster. So, if you are missing something — it’s just change taking its place”

(m.biahlil_badri Instagram caption, 22 Desember 2020)

Sekarang kita sampai pada Desember, yang sejak dari awal lebih panas dari bulan-bulan sebelumnya. Di pertengahan bulan ini kita menyambangi Sawahlunto. Kota yang dikenal dengan hasil alam batu bara, kareta api, dan bentuk geografisnya yang memiliki kekhasan tersendiri.

Continue reading

KEMEWAHAN DI TAMAN BIDADARI

Catatan Proses Tenggara Festival 2020

Taman Bidadari, lokasi mural yang satu ini berjarak sekitar 200 meter saja dari Rumah Tamera. Jarak yang cukup dekat. Selain tempat duduk, wc, instalasi permaianan, pohon, dan properti pendukung lainnya, tangki air PDAM juga ikut membentuk konstruksi taman. Tangki air berwarna biru itu terlihat menonjol dari pinggir jalan.

Blesmokie atau yang biasa kami sapa Cak Amie ini kami undang merespon bidang tangki air untuk media grafitinya. Tangki ini kurang lebih memiliki panjang sisi melingkar sekitar 18 meter 3 meter. Hari pertama berada di lokasi ia sudah bekenalan dengan hujan. Permukaan tangki ini terbuat dari besi, memiliki kelembaban yang membutuhkan waktu lama untuk kering. Untuk ini ia menambahkan kain lap (kanebo) sebegai alat tempurnya untuk mengeringkan permukaan tangka dalam waktu cepat. Selain basah terkena hujan, pun permukan ini sudah lembab boleh air di dalamnya.

Cak Amie ini sudah memulai grafitinya semenjak 2003. Di tahun yang sama ia membentuk tim grafiti pertamanya bernama NAWCRU, dan masih berjalan sampai sekarang. Pada 2012 ia pindah ke Jakarta dan menjadi bagian dari keluarga baru Artcoholic, dan ia bergabung bersama Gardu House. Selain itu, ia juga biasa membuat ilustrasi, desain grafis, dan juga membuat tatto. Selain itu, ia juga biasa membuat ilustrasi, desain grafis, dan juga membuat tatto.

Pada malam berikutnya saya datang melihat proses grafiti Cak Amie bersama Bujangan Urban, grafiti artist lainnya yang juga diundang ke Tenggara Street Art Festival.

“Aku nggak pernah lihat karya Amie jelek, ia jago gambar udah dari dulu” Bisik Bujangan Urban pada saya.

Cak Amie membutuhkan cukup banyak kaleng cat untuk menyelesaikan tengki ini. Garis yang detail dan warna yang berlapis-lapis sudah terlihat sejak hari ke-dua. Meski harus bolak balik ke Rumah Tamera karena hujan dan makan siang, Cak Amie mengerjakan grafitinya di sela hujan berhenti. Pengerjaan yang cukup lama pada tengki ini.

Sama seperti hari-hari biasanya, taman ini cukup sepi dari pengunjung. Biasanya akan dikunjungi oleh anak sekolah, orang yang lewat, dan warga sekitar. Sepertinya taman ini belum jadi tujuan awal orang-orang.

Street art dan ruang publik bagi saya seperti pasangan hidup. Ia seakan menghidupkan kembali Ruang publik yang sudah lesu dari pandangan mata. Setidaknya ‘mengganggu’ mata pasangan yang lewat dengan warna-warnanya. Mengaktivasi ruang publik.

Di sini Cak Amie ditemani Badik, salah satu seniman tuan rumah yang tergabung dalam ekosistem Rumah Tamera. Tidak hanya menemani, ia juga ikut mewarnai dinding bangunan di sebelah tangki ini dengan muralnya. Mural Badik ini juga akan direspon oleh Cak Amie setelah ia menyelesakan tengkinya.

Hari berikutnya hujan semakin sering turun, permukaan baru saja diselesaikannya setengah. Benar,seperti yang saya sebutkan sebelumnya hujan turun hingga 5 kali sehari, yang mempersempit waktu penyelesaian. Namun hari-hari terakhir menyusul dengan siang yang cukup cerah, meskipun tetap basah di malam harinya. Cak Amie memenuhi lingkaran tangki air dengan grafitinya.

Ada beberapa kolom yang ia munculkan di grafiti ini. Kolom tersebut berbentuk seperti tetesan air.  Salah satunya adalah siluet Rumah Gadang dan beberapa bentuk bangunan di sebelahnya.

Di pintu gerbang taman ini juga ada sebuah tabung seperti tengki kecil yang berbidang potret, Cak Amie berkolaborasi dengan Masoki membuat teks bertuliskan Tenggara Street Art Festival di bagian depan tengki. Dapur Rumah Tamera juga mendapatkan graffiti Cak Amie beberapa hari sebelum ia balik ke Jakarta.

JAMBAK WITH ATTITUDE

Catatan Proses Tenggara Festival 2020

Apa yang kita bayangkan ketika mendengar Pos Ronda? Jika kamu tinggal di Sumatera Barat kamu mungkin mempunyai citraan visual yang sama dengan saya: sebuah bangunan dengan ukuran yang tidak lebih besar dari 4×4 meter? Di dindingnya terpampang sebuah papan tulis berisikan jadwal ronda dan kertas iklan atau informasi. Tapi kamu harus lihat dulu pos ronda yang satu ini, ia adalah Pos Induk milik pemuda Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Bangunan dua lantai, memiliki WC, dapur, dan kantor, juga struktur organisasinya yang rapi.

Continue reading

SIASAT BARU PERSAHABATAN TEMBOK

Catatan Proses Tenggara Festival 2020

Imutisme, sesuatu yang menurutnya imut, adalah sebutan Nica pada caranya berkarya, berjejaring, dan untuk menebar kegembiraan. Keimutan ini digambarkan dengan garis/karakter yang ia gunakan dalam karyanya, berupa sketsa seperti kartun dan komik. Garis itu menjadi karakter setiap kalinya ia berkarya dalam berbagai media dan skena yang ia temui sebelumnya. Ia tetap sebagai imuter.

Continue reading

MASUK DAN KELUAR LAPAS

Catatan Proses Tenggara Festival 2020

Saya tidak mau lagi menceritakan hujan, mendung sudah datang sedari pagi. Akhirnya saya memutuskan untuk mandi pagi agar badan terasa lebih segar, daripada cuaca yang kelihatan murung. Kali ini saya mau sekali melihat lokasi  mural yang lainnya. Ini adalah kali pertama kali saya mengunjungi Lapas Kelas IIB Laing Kota Solok.

Continue reading