TENGGARA STREET ART FESTIVAL: UPAYA MERESPON KOTA

Awal Desember lalu, seorang kawan dari Palu mengirimkan tangkapan layar dari sebuah berita daring tentang berdirinya Little Eropa di Lembah Harau, Sumatra Barat. Di gambar tersebut, terlihat pemandangan hijau dan kelabu khas Lembah Harau menjadi latar belakang bangunan-bangunan miniatur, menyerupai sejumlah bangunan ikonik di Eropa, seperti Menara Eiffel dan piramida kaca Museum Louvre. Kawan saya menyayangkan pembangunan miniatur-miniatur yang menurutnya malahan mengganggu keindahan asli Lembah Harau yang sudah sedari dulu ikonik dan indah meski tanpa tambahan visual. Di jagad maya, banyak netizen yang memberikan respon serupa terkait hal ini, meski sebetulnya Little Eropa di Lembah Harau sudah berdiri sejak tahun 2019. Memang, sekarang ini di berbagai lokasi di Indonesia sedang menjamur didirikannya miniatur-miniatur landmark ikonik atau lokasi wisata di luar negeri yang khas muncul pada laman influencer Instagram. Kencangnya sirkulasi visual di media sosial telah membuat orang-orang melihat semakin banyak referensi visual dari negeri seberang dan mendorong keinginan untuk memproduksi hal serupa. Swafoto di depan landmark ikonik, sekalipun hanya miniaturnya, menjadi sebuah tren yang belakangan pun dijadikan fitur wisata. Kebutuhan komersial wisata dan konsumsi visual ala Instagram pun telah mendorong segelintir pihak mencomot visual dari antah-berantah dan meletakkannya di berbagai titik di negeri ini dengan dalih memperindah dan menarik minat pengunjung.

Upaya memperindah lanskap kota atau lanskap suatu wilayah memang tidak baru-baru ini saja terjadi. Adalah hal yang alamiah bagi manusia untuk merespon tempat yang ia huni, baik dengan dalih kebutuhan komersial, fungsional, keindahan, dan lain sebagainya. Selain arsitektur dan desain, seni jalanan juga adalah salah satu ranah praktik visual yang bermain dalam koridor ‘merespon kota’. Menjelang akhir November 2020 lalu, saya berkesempatan hadir dalam sebuah festival seni jalanan di kota Solok, Sumatra Barat.  Dapat dikatakan bahwa festival yang bernama Tenggara Street Art Festival ini adalah festival seni jalanan pertama yang pernah saya hadiri. Sebelumnya, festival ini bernama Solok Mural Competition, diselenggarakan pada tahun 2019 oleh Komunitas Gubuak Kopi bersama komunitas foto Gajah Maharam. Saat memperluas wacana baik secara penyelenggaraan maupun artistik dirasa perlu, nama festival ini pun diubah menjadi Tenggara Street Art Festival pada pelaksanaannya di tahun 2020, dengan tim penggagas yaitu Gubuak Kopi dan Rumah Tamera. Di tahun 2020, festival ini mengundang sembilan seniman residensi dari berbagai kota di Indonesia untuk merespon kota Solok melalui produksi visual. Kesembilan seniman tersebut adalah Autonica dari Yogyakarta; Bujangan Urban, Adi Dhiegel, dan Blesmokie dari Jakarta; Genta Rekayasa dari Medan; Masoki, Rumah Ada Seni (RAS), dan Minang Typers dari Padang; serta Verdian Rayner dari Solok.

Kesembilan seniman residensi tersebut dibagi ke enam lokasi utama, yaitu GOR Tanjung Paku, Terminal Bareh Solok, Lapas Klas II B Kota Solok, Taman Bidadari, KODIM Solok 0309, dan Pos Ronda Pusat Kampung Jawa. Beberapa seniman seperti Verdian, Genta, dan Dhiegel memutuskan untuk merespon kanvas beton di lokasinya bersama-sama. Dalam perjalanan melihat karya-karya mural dan graffiti para seniman residensi, saya mencatat bahwa setidaknya terdapat tiga bentuk upaya respon visual yang terjadi: merespon bidang visual, merespon lokasi visual, dan merespon platform visual yang telah memungkinkan peristiwa produksi visual ini terjadi – Tenggara Street Art Festival.

MERESPON LOKASI VISUAL
  • Karya kolaborasi Dhigel, Verdian Rayner, Magenta x Bayu, dan warga binaan Lapas Klas IIB Kota Solok | Tenggara Festival © 2020
  • Kaya Minang Typers di Pos Induk Pemuda Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok | Tenggara Festival © 2020

Dalam catatan saya, dua lokasi yang dipilih pada festival ini telah memunculkan upaya respon yang melampaui bidang gambarnya saat terjadi kerja-kerja yang memantik kolaborasi dengan penghuni lokasi. Dua lokasi tersebut adalah di Lapas Klas II B Kota Solok dan Pos Ronda Pusat Kampung Jawa. Pada Lapas Klas II B Kota Solok, Adi Dhiegel, Verdian Rayner, Genta Rekayasa, dan Bayu memang memutuskan untuk mengombinasikan visual yang mereka buat menjadi satu kesatuan di tembok ukuran 6 x 32 m yang terletak di lapangan Lapas. Tetapi dalam perjalanannya, mereka pun tak bekerja sendiri. Para penghuni lapas yang berminat mengekspresikan gagasannya pada dinding lapas pun diajaknya untuk terlibat berkarya. Mural realis Genta dan Bayu yang bersanding dengan visual karakter khas Dhiegel, direspon dengan cara diisi oleh visual karya Verdian dan dilengkapi dengan ekspresi visual dari warga binaan lapas. Warga lapas merespon dinding dengan membuat teks dan visual yang bagi mereka terasa pas, kadang pun terasa berkaitan dengan lokasi lapas itu sendiri. Kali itu, tembok lapas tak hanya menjadi pembatas bagi warga binaan lapas, tetapi juga sebidang ruang untuk mengeskpresikan pikiran dan geliat potensi artistik.

Nyaris sama dengan kerja yang berlangsung di Lapas Klas II B, kelompok Minang Typers yang membuat graffiti di Pos Ronda Pusat Kampung Jawa menjalin interaksi yang hangat dengan pemuda Kampung Jawa yang bertugas di Pos tersebut. Meski hujan membawa kendala kerja, namun ia justru mendekatkan pemuda Minang Typers dari Padang dengan pemuda Kampung Jawa lewat percakapan dan waktu menunggu. Demikian cerita yang saya peroleh lewat para panitia Tenggara Street Art Festival. Pada dinding pos ronda yang berukuran 6 x 7 meter, kelompok belajar tipografi asal Padang ini membuat visual berupa graffiti bertuliskan “JAMBAK with Attitude” dengan kata JAMBAK merujuk pada etnis Jawa, Minang, Batak, Keling/India yang banyak terdapat di Kampung Jawa, kota Solok. Di sebelah kanan teks tersebut, terdapat pula teks dalam ukuran lebih kecil bertuliskan,”Kita kuat karena bersatu dan kita bersatu karena kita kuat.” Teks-teks ini tidak muncul begitu saja, melainkan hasil dari berbincang dan berinteraksi dengan pemuda Kampung Jawa yang berada di pos ronda. Waktu menunggu dan berbincang telah menghasilkan kesepakatan ide yang kemudian dituangkan bersama dalam bentuk visual graffiti di dinding Pos Ronda Pusat ini. Menurut tuturan Albert, pos ini adalah salah satu titik utama aktivitas warga Kampung Jawa, kawasan tempat Rumah Tamera berada. Memang, sependek keberadaan saya di kota Solok, pos ini jarang sepi setiap kali saya sempat melewatinya. Sirkulasi warga di area ini begitu terasa, terutama dengan terlihatnya penjual makanan di sekitar pos ronda setiap sore hingga malam. Bisa dipastikan, orang-orang yang bersirkulasi di area ini dapat membaca teks graffiti ini.

Seperti halnya proses karya di Lapas, proses karya di Pos Ronda ini telah memungkinkan dinding-dinding di ruang publik bertransformasi menjadi tempat untuk menampung gagasan artistik maupun sosial para penghuninya. Peristiwa seni memungkinkan upaya fasilitasi yang mendorong proses pengungkapan gagasan berlangsung dengan melibatkan warga di lokasi tersebut. Partisipasi dan aksi menghias kota pun menjadi sejenis upaya untuk membangun kultur kepemilikan bersama atas sebuah ruang dimana warga bisa dengan bebas mengomunikasikan gagasannya ke ruang publik sebagai bentuk respon terhadap ruang/kota itu sendiri. Upaya sejenis itu pada dasarnya dapat pula kita baca pada praktik pengadaan Tenggara Street Art Festival itu sendiri.

MERESPON PLATFORM VISUAL
  • Karya Bujangan Urban di GOR Tanjung Paku, Kota Solok | Tenggara Festival © 2020
  • Karya Autonica di GOR Tanjung Paku, Kota Solok | Tenggara Festival © 2020

Sebagai platform yang memfasilitasi kehadiran visual-visual tersebut di atas, Tenggara Street Art Festival menjadi sebentuk upaya pembingkaian bagi aksi-aksi seni jalanan agar ia menjadi sebuah peristiwa publik. Dalam upayanya tersebut, festival pun menjadi siasat untuk menggeser paradigma publik tentang seni jalanan dengan cara mengondisikan berbagai kemungkinan hubungan antara ruang kota, publik, dan pengkarya. Dalam hal ini, festival menjadi medium dan ruang yang melampaui perayaan saat interaksi dan komunikasi di dalamnya turut menstimulus lahirnya ekosistem, skena, dan bahkan kultur tertentu.

Upaya demikianlah yang agaknya direspon oleh karya Autonica dan Bujangan Urban dalam karya muralnya di GOR Tanjung Paku. Pada mural Bujangan Urban, pola bunga yang disebutnya ‘capital flower’ bersemi di dinding panjat tebing yang ada di GOR Tanjung Paku. Warna-warna psikedelik mengisi bunga-bunga tersebut dan sebuah teks berukuran besar terselip di antaranya, ”Sekarang Manjat Besok Terbang”. Teks itu seakan merespon bidang gambarnya. Sedangkan pada karya Autonica, kotak-kotak bergaris hitam diisi dengan karakter-karakter tertentu dengan sejumlah teks berbunyi “Tenggara”, “Gubuak Kopi”, “Solok”, “Padang”, “Jakarta”, “Semarang”, “Yogyakarta”, “Berkarya Basamo Tumbuah Basamo”, dan “Siasat Baru Anak-Anak Lauik”. Teks terakhir diletakkan paling atas dan menjadi judul karya ini. Mural Autonica ini seakan menjadi komik besar yang menampilkan bacaan si seniman terhadap praktik yang dilakoni penyelenggara Tenggara Street Art Festival melalui festivalnya. Subjektivitas saya sebagai pelihat pun menerjemahkan teks Bujangan Urban sebagai sejenis metafora yang menyelipkan gambaran tentang upaya dan harapan para penyelenggara festival ini dalam bersiasat membangun wacana dan jaringan seni jalanan.

Dalam wawancara saya bersama Volta Jonneva, Direktur Tenggara Street Art Festival, kegelisahan tentang tak banyaknya mural di kota Solok memang telah memantiknya untuk mengundang minat muda-mudi kota Solok untuk mewarnai kotanya. Para penyelenggara festival mewujudkan upaya ini dengan mengadakan lokakarya Remaja Bermedia yang mengajak siswa-siswi Sekolah Menengah untuk belajar membuat stensil bersama beberapa seniman, baik dari luar maupun dalam kota Solok. Hal ini sejalan pula dengan semangat Tenggara Street Art Festival untuk membangun kultur swakarya di kota Solok, sebagaimana diungkapkan Albert dalam wawancara kami. Pemilihan kata ‘Tenggara’ yang disematkan dalam nama baru festival ini pun menjadi harapan dan ambisi para penyelenggara festival untuk bersiasat membangun jaringan kultur swakarya dalam cakupan kawasan.

Jika pada sejarahnya, seni jalanan merespon ruang publik secara fisik melalui aksi tagging, bombing, dan aksi-aksi penciptaan visual yang dapat ditangkap mata, maka festival bekerja merespon ruang publik secara konsepsi melalui pengorganisasian dan eksekusi peristiwa publik itu sendiri. Festival, sebagaimana seni jalanan, adalah bentuk karya publik yang mampu mentransformasikan ruang-ruang publik menjadi tempat yang interaktif, bermakna, dan terbuka pada berbagai kemungkinan.

CATATAN PENUTUP

Sependek saya berada di Sumatra Barat, saya tak sempat juga datang ke Lembah Harau untuk menyaksikan langsung fenomena visual yang awal Desember 2020 lalu digunjingkan warganet. Selepas Tenggara Street Art Festival, saya sibuk terpukau dengan lanskap alam Solok yang indah dengan lipatan dan lapisan bukit berbaris sepanjang mata memandang saat dilihat dari titik-titik tertentu. Tak henti-henti saya pun merekamnya, lewat sketsa dan foto. Laman Instagram saya pun belakangan diisi oleh visual alam Sumatra Barat, hal yang lumrah terjadi saat seseorang datang ke wilayah baru. Tapi barangkali, visual demikian sudah menjenuhkan bagi mereka yang setiap hari melihatnya. Demikian ungkap seorang kawan panitia Tenggara Street Art Festival. Mungkin karena itulah visual-visual segar, yang seakan baru, butuh dihadirkan ke ruang-ruang publik untuk memberi warna yang menstimulasi semangat warga di lokasi tersebut. Sebuah festival pun bisa menjadi semacam medium untuk tak hanya merayakan, namun juga menggali kebutuhan dan ekspresi visual warga di lokasinya. Ekspresi-ekspresi dan inisiatif visual dari warga inilah yang barangkali sangat dibutuhkan hadir di ruang publik untuk membebaskannya dari kejenuhan beban kepentingan komersil, wisata, dan iklan layanan masyarakat; melampaui dalih memperindah yang sebatas Instagrammable.

Anggraeni Widhiasih terlibat aktif dalam ekosistem kolektif seni dan platform ekonomi eksperimental, praktik-praktik Anggraeni lebih dominan seputar upaya memfasilitasi dan mengelola ruang untuk praktik-praktik yang mengeksplorasi kemungkinan studi dan ekspresi di wilayah seni, sinema, maupun kajian ekonomi-sosial-budaya yang berkaitan dengan rezim dan sistem. Ketertarikannya secara isu relatif ragam seiring dengan ragam keterlibatannya pada berbagai kerja sejumlah kolektif dan jaringannya. Perhatian utamanya terletak pada upaya produksi dan distribusi pengetahuan yang senantiasa berupaya membaca konteks pada sebuah lokasi dengan menempatkan dan mengekspansikan 'care' sebagai prinsip dasar kerja mengelola ruang dan pengetahuan. Kini, ia tengah menjajaki kerja yang berhubungan dengan data dan media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.