Sekilas Tentang Project

“Lapuak-lapuak Dikajangi” adalah sebuah perhelatan dari kegiatan studi pelestarian tradisi melalui proyek seni berbasis media. Kegiatan ini pertama kali digagas oleh Gubuak Kopi melalui program Lokakarya Daur Subur pada tahun 2017, sebagai rangkaian presentasi publik dalam membaca tradisi di masyarakat pertanian Sumatera Barat. Presentasi publik ini dihadirkan dalam bentuk kuratorial pertunjukan dan open lab/pameran multimedia. Mengingat banyaknya isu-isu kesenian tradisi yang belum terbicarakan dengan baik – dalam konteks sekarang, serta menyadari isu ini akan terus berkembang, maka kegiatan ini diagendakan setiap tahunnya, yang secara khusus mempelajari dan memberi pandangan kritis terhadap nilai-nilai seni tradisi itu sendiri, serta menjembatani pengembangannya dalam kerja seni media. Pada tahun 2018, LLD mengangkat tema “silek”, sebagai upaya memaknai tradisi silek (silat) melalui medium teknologi dan medium lainnya yang dekat dengan sehari-hari. Kemudian LLD #3, pada tahun 2020 ini merespon situasi tradisi silaturahmi di masa pandemi dan normal baru.

Abstrak

Perihal Silaturahmi

Dalam konteks Minangkabau silaturahmi memiliki posisi yang cukup sakral. Sikap sakral ini juga dapat dilihat sebagai agenda-agenda politis dalam merawat kepentingan ataupun dalam agenda yang spirituil dan humanis. Masyarakat Minangkabau, masyarakat “timur” yang didominasi oleh keyakinan Islam ini, juga didorong untuk melakukan silaturahmi oleh titah hadist dan firman tuhan.

Dalam tradisi Minangkabau, beragam perlakuan khusus diberlakukan dalam perhelatan silaturahmi. Kita mengenal penamaan-penamaan spesial untuk aktivitas ini, seperti manjalang mintuo (mengunjungi mertua), manjalang induak bako (mengunjungi keluarga ayah), pulang basamo (mudik), dan lainnya. Semua ditata sebagai bahasa untuk tradisi menunjukan martabatnya. Mulai dari penetapan hari khusus, simbol makanan, pakaian, dan seterusnya.

Sebagai contoh, dalam tradisi manjalang mintuo, ini biasa dilakukan oleh menantu menjelang hari-hari spesial, semisal sebelum memasuki bukan ramadhan. Ia datang membawa rantang berisikan beragam macam masakan, yang nantinya akan dihidangkan bersama-sama. Isi rantang yang paling umum adalah gulai daging, sambal, kue, dan cemilan tradisional. Dalam beberapa kampung kecil juga ada yang menetapkan jenis masakan khusus. Makanan ini tidak hanya sekedar prasyarat, tetap juga menjadi bahasa simbolik. Dari narasi yang tersebar di warga –walaupun sangat jarang, ada kalanya lauk yang dibawa itu sangat tawar, ada juga sangat minim lauk, dan yang paling ekstrim adalah rantang kosong. Hal ini menjadi bahasa menantu untuk memperingatkan mertuanya, memberitahu kondisi keluarganya dan keluhannya. Diharapkan ibu mertua akan menjadi sesnsitif kemudian memperingati anak laki-lakinya. Sementera dalam perkembangannya, juga sering kali mertua menemukan masakan yang dibeli, menilai si menantu gemar hal-hal yang instan, pintar yang masak, ekonomi yang baik, dan seterusnya.

Terlepas dari isu keperempuanan dan prilaku konservatif, Gubuak Kopi melihat praktik tradisi ini sebagai form dan bahasa tradisi yang diamini secara kolektif dan dilegitimasi adat. Dijalankan secara turun temurun, dan dalam banyak khasus tidak diiringi dengan pengetahuannya, sehingga terjebak dalam “hantu-hantu tradisi”. Menarik bagi kami melihat tradisi dan beragam aktivitasnya yang performatif tersebut sebagai studi mengenai kebudayaan komunal ini. Sikap-sikap konservatif yang sering kali tidak dibarengi dengan pengetahuannya ini menjadi menarik untuk dikritisi dengan medium-medium yang dekat dengan kita hari ini, dengan tetap sadar akan konteks sejarah, kearifan lokal, sosial, politik, ekonomi, dan perkembangan kontemporernya.

Terkait Normal Baru

Sejak akhir 2019 lalu, dunia direpotkan oleh virus yang kemudian dikenal dengan Covid-19, dan kemudian ditetapkan oleh lembaga kesehatan dunia ataupun institusi kesehatan lain sebagai pandemi. Situasi ini memicu penerapan protokol kesehatan khusus di berbagai negera, termasuk Indonesia. Penerapan social distancing, penggunaan masker, dan anjuran lainnya. Situasi ini barang kali sedikit lebih rumit bagi masyarakat Indonesia, termasuk Sumatera Barat. Tradisi pulang basamo, dan tradisi silaturahmi umumnya yang bertepatan dengan perayaan hari besar agama dan budaya harus berhenti sejenak karena pandemi ini, dan belum dapat dipastikan hingga kapan. Situasi ini membuat adat harus memaklumi segala peniadaan pelaksanaan tradisi. (Ya, walau juga ada sebagian kecil orang mengabaikan protokol pandemi ini.) Bagi sebagian besar orang, silaturahmi tetap berlanjut dengan pendayagunaan teknologi seperti media sosial, telekomunikasi virtual, dan sebagainya. Silaturahmi berlanjut dengan keadaan yang dimaklumi bersama, dan tidak menyisakan persoalan berarti. Hal ini juga mengajak kita memaknai kembali apa itu silaturahmi, bentuk (material medium) dan esensinya.

Kehadiran media-media silaturahmi baru ini dalam konteks generasi kini tentunya memiliki perlakuan-perlakuan yang menarik. Pengagendaan pertemuan secara virtual, distrosi audio dan visual, replikasi ruang offline, representasi realitas dalam data, anonimitas, komersialisasi internet, dan beragam kebijakkan pemerintah terkait internet yang dipaksa akrab untuk segala generasi. Beberapa dari kita, barang kali sudah sangat terbiasa dengan teknologi ini, sedangkan beberapa tentunya harus mengejar kembali. Sayangnya, teknologi ini sampai ke kita di Indonesia tidak dibarengi dengan pemerataan pengetahuan dan sikap kritis terhadapnya. Sehingga kita melihat ada gap generasi, ada gap literasi media, belum lagi gap kesempatan untuk saudara kita yang tidak mampu membeli teknologi ini dan tidak mendapat akses internet dengan baik.

Perihal di atas juga mendasari penjelajahan estitika Gubuak Kopi sejak beberapa tahun terakhir, mendayagunakan teknologi sebagai medium kreativitas, media kreatif lokal, dan studi tentang media itu sendiri. Menarik mengundang teman-teman seniman berikut, yang dalam pandangan kami memiliki prespektif menarik dalam merayakan dan merespon kehadiran teknologi ini dalam bingkaian kesenian, menemukan bahasa-bahasa artisitik yang lebih segar, melihat bagaimana normal baru mampu mengakomodir kebutuhan artisik, dan menitipkan tema di atas: Silaturahmi, pada praktik yang tengah kawan-kawan geluti. Tentunya kolaborasi terpisah ini menjadi jembatan bagi kita untuk saling bertukar pengetahuan dan mengapresiasi beragam praktik artistik.

Curatorial Team

Solok, Agustus 2020

Collaborators

Avant Garde Gewa Gugat (AGDG)
Padangpanjang
Avant Garde Dewa Gugat a.k.a AGDG (Bukittinggi, 1997) aktif bermusik di sejumlah kelompok seni seperti Komunitas Hitam Putih dan Diafora. Saat ini ia aktif memproduksi karya musik bersama kelompok Pro Kontra. Sebagai komposer, karya-karyanya telah dipresentasikan di sejumlah event seperti Pekan Komponis di Jakarta 2018, \ Performer Pentas Kolaborasi Indonesia - Jepang - Thailand, di Padang panjang & Sungai Landia (2019), Asia Butoh Tree Camp, Bersama Asia Butoh Tree, Chiang Mai, Thailand 2020, dan baru-baru ini karyanya dirilis di Album Kompilasi, Noise a Noise 19.3, Iran 2019. Saat ini sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Karawitan Institute Seni Indonesia Padangpanjang.
Robby Oktavian
Samarinda
Robby Oktavian, seorang seniman dan organisator seni kelahiran Samarinda. Gemar menanyangkan filem di celah-celah kota Samarinda bersama kawan Sindikat Sinema. Direktur MUARASUARA-Sound Art Festival dan Neladeva Film Festival di Samarinda. Salah satu tim kurator di Kultursinema 2019 – Gelora Indonesia yang dipresentasikan di Museum nasional Indonesia. Menyelesaikan studi Hubungan Internasional di Universitas Mulawarman, Samarinda, dan kemudian belajar memahami dan memproduksi visual di Forum Lenteng dalam program Milisifilem Collective. Karya-karya visualnya telah dipamerkan di Indonesia Contemporary Art and Design (ICAD) 2018, Pameran Fiksimilisi di Orbital Dago, Bandung (2019), serta Pameran Manifesto: Pandemi di https://galnasonline.id/ (2020).
Siska Aprisia
Yogyakarta/Pariaman
Siska Aprisia, biasa disapa Uni Siska atau Uniang. Lahir di Pariaman, 1992. Koreografer, penari, dan pegiat budaya yang kini berdomisili di Pariaman, Sumatera Barat. Ia merupakan pendiri Ranah Batuah, sebuah komunitas yang berfokus pada pengembangan seni di Pariaman. Saat ini siska berdomisili di Yogyakarta, terlibat sebagai fasilitator dalam pengembangan Desa Wisata dan Festival berbasis masyarakat bersama Yayasan Umar Kayam. Beberapa karya tarinya telah dipresentasikan di beberapa perhelatan seperti di Bedong Art Space (2018), Pandapha Art Space, Yogyakarta (2017), dan Nuart Sculpture Park, sebagai alumni Sasikirana Dance Camp, Bandung (2016). Selain itu, pada tahun 2019 ia juga mengikuti kolaborasi bersama Abderzak Houmi, Company Cie-xpress (France), melakukan tur pertunjukan, kolaborasi, dan workshop di beberapa kota di Paris.
Taufiqurrahman "Kifu"
Palu
(b. 1994). Kifu adalah seniman dan desainer grafis berbasis di Kota Palu. Ia menyelesaikan studi ilmu komunikasi di Universitas Tadulako. Ia juga salah satu inisiator Forum Sudutpandang, organisasi non-profit yang dikelolah secara kolektif oleh pegiat seni di Palu. Sejak 2018, ia bergabung di MILISIFILEM Collective dan 69 Performance Club. Beberapa karyanya dan pameran yang pernah ia ikuti, diantaranya “Hello Red: Photography Series” di ICAD X: Indonesian Contemporary Art & Design, 2019. “Proyek Bunga Matahari” Pekan Seni Media: Local Genius, 2018. “TYPING” On Stage: Imagining Objects, 69 Performance Club, GoetheHaus Jakarta, 2019. “Soundscape Project: Bunyi di Zona Terlarang” Recollecting the Unfinished, 2020. “Self Portrait & Distancing”, Milisifilem, 2020. “Montage: Found Objects”, Milisifilem, 2020. “Domestic Formation”, 69 Performance Club, 2020.
Theo Nugraha
Samarinda
(b. Samarinda, 1992) seniman bunyi yang berdomisili di Samarinda. Ia terlibat dalam skena eksperimental bunyi sejak tahun 2013. Diskografinya hampir 200 rilis. Ia salah satu pendiri EXTENDED ASIA sebuah terminal kolaborasi online seniman visual dan audio. Ia juga terlibat sebagai Co-Artistic Director untuk MUARASUARA, festival seni bunyi dan performans. Saat ini ia sedang mempelajari eksperimentasi visual di Milisifilem Collective, seni performans di 69 Performance Club, dan juga editor untuk VJ>Play di Visual Jalanan. Karya-karya sound, karya visual, dan performansnya telah dipresentasikan di sejumlah event seperti: MONTAGE: FOUND OBJECT – Milisifilem Collective (2020); Distant Sounds: Collective Participatory Sound Artwork. curated by William Felinski, Olio Projects, Philadelphia, U.S.A (2020); RohongKanduang : Noise & Folia Installation, Lunagallery, Malaysia(2017); Fiksimilisi – Milisifilem Collective, Bandung, (2019); ICAD (Indonesian Contemporary Art & Design) 2018: Kisah w/ Milisifilem Collective (2018); Jogja Noise Bombing Fest, Yogyakarta (2018); AUDIOBLAST FESTIVAL #6 Nantes,France (2018); Soemardja Sound Art Project, Curated by Bob Edrian, Galeri Soemardja, Bandung (2018); Noise Market 7 Climate Change, Bangkok,Thailand (2017)
Utari Irenza
Agam
Biasa disapa Ii Megno (b. Agam, 1996), adalah seorang penari dan aktor yang berbasis di Agam, Sumatera Barat. Lulusan Seni Tari, Institut Seni Indonesia Padangpanjang, dan kini juga aktif sebagai aktor bersama Bumi Purnati dan Komunitas Hitam Putih. Aktif sebagai penari bersama Komunitas Ranah Batuah. Ia terlibat dalam berbagai proyek tari dan berbagai pentas teater, antara lain: “The Journey of Life” Artistic Director Restu Kusumaningrum and Music Director Midori Takada 9th Theatre Olympics, Jepang (2019). Aktor "Under The Volcano" karya Yusril Katil, Komunitas Hitam Putih, di 7th Borobudur Writers and Cultural Festival (2018). "Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ" Komunitas Hitam Putih, Sutradara Yusril Katil, Taman Budaya Jambi (2018), "Kamar Mandi Kita" Komunitas Hitam Putih, Sutradara Yusril Katil, Teater Sumatera Riau, Pekanbaru (2018). Minang Association SG, karya koregrafer Oktovianus, Singapore (2018), dan sebagai koreografer bersama Sago Art Comunity dan di pentaskan di Palu, 2017. Saat ini ia juga tengah menjalankan proyek kolaborasi studi gerak gelek bersama Siska Aprisia.

Tim Produksi

Tim Kuratorial: Albert Rahman Putra (Kurator), Biahlil Badri, Volta A. Jonneva.

Fasilitator: Biki Wabihamdika, Zekalver Muharam, Veronica Putri Kirana, Verdian Rayner, Muhammad Riski “Layo"

Design: Teguh Wahyundri

Jadwal Penting

No Nama Seniman FGD I FGD II Live Talk (instagram) Presentasi publik (Pameran/pertunjukan)

Pembukaan, pengantar, dan perkenalan

Sabtu, 5 September 2020

1 Theo Nugraha 08 September 2020 09 September 2020

Jumat 11 September 2020

Pukul: 16.00 WIB

di instagram @gubuakkopi

Sabtu 12 September 2020

Pukul: 20.00 WIB

di gubuakkopi.id/theonugraha

2 AGDG

Senin 14 September 2020

Pukul: 16.00 WIb

di instagram @gubuakkopi

Selasa 15 September 2020

Pukul: 20.00 WIB

di instagram @gubuakkopi

3 Taufiqurrahman “Ufik”

Jum’at 18 September 2020

Pukul: 16.00 WIB

di instagram @gubuakkopi

Sabtu 19 September 2020

Pukul: 20.00 WIB

di instagram @gubuakkopi

gubuakkopi.id/basuojobabagi

4 Robby Ocktavian

Senin 21 September 2020

Pukul: 16.00 WIB

di instagram @gubuakkopi

Selasa 22 September 2020

Pukul: 20.00 WIB

di gubuakkopi.id/kabarkabar

5 Siska Aprisia X Utari Irenza

Jumat 25 September 2020

Pukul: 16.00 WIB

di instagram @gubuakkopi

Sabtu 26 September 2020

Pukul: 20.00 WIB

di gubuakkopi.id/barulang

Penutupan Kegiatan, Evaluasi, dan Masukan

30 September 2020

15.00 WIB

Produksi E-booklet pasca kegiatan

Oktober 2020

Presentation

Mandanga Ota Urang (mendengarkan obrolan orang-orang) adalah komposisi bunyi hasil “residensi daring" Theo Nugraha dan 10 kolaborator anak muda Solok yang difasilitasi Komunitas Gubuak Kopi dalam rangkaian proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #3. Dalam prosesnya, para partisipan membuat pemetaan bunyi di sekitarnya dan berbagi melalui fitur voice note pada chat group media sosial instagram. Data audio tersebut muncul sebagai grafik-grafik dan bergabung bersama musik baru yang dikompos dari bunyi-bunyian kolaboratornya.

Peluncuran halaman karya:

Sabtu, 12 September 2020
20.00 Waktu Solok // di gubuakkopi.id/theonugraha

Avant Garde Dewa Gugat a.k.a ADGD atau yang akrab kita sapa Dewa menjadi partisipan kedua yang akan mempresentasikan karyanya dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi #3. Ia merespon tema “silaturahmi di normal baru“ ini secara interpretatif melalui praktik pertunjukan noise yang sering ia lakukan. Ia bercerita tetang pengalamannya menggunakan masker dalam keseharian baru, serta bunyi-bunyi gangguan teknologi komunikasi yang sering terdengar di era normal baru ini. Dalam hal ini, Dewa tidak meresponnya perangkat teknologi komunikasi itu secara langsung, tetapi mengumpulkan bunyi-bunyi itu untuk ia ganggu lebih lanjut dengan praktik seni bunyi yang biasa ia geluti. Dewa juga menyiapkan masker khusus yang sudah dilengkapi mic, serta beberapa rekaman lapangan dan data audio untuk ia olah merepresentasikan sudut pandang terhadap bunyi-bunyi di normal baru.

“Gara-gara Icor”
Selasa, 15 September 2020
20.00 WIB // di Instagram @gubuakkopi

Dalam residensi daring Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3 ini, Taufiqurrahman atau yang biasa disapa Kifu, bertemu dengan sejumlah anak muda Solok dan Sumatera Barat melalui sebuah grup media sosial. Para partisipan ini diundang bertamu ke media sosialnya secara pribadi melalui teks instruksi, untuk membawa sejumlah hadiah setiap harinya. Hadiah tersebut adalah representasi benda-benda yang ada di sekitar anggota grup. Dan Kifu meminta mereka untuk terus melakukan hal tersebut sampai terbiasa.

Representasi dari benda-benda tersebut kemudian dikumpulkan dan disajikan kembali secara tidak utuh. Jangan lewatkan ngobrol-ngobrol seputar proses Kifu bersama para tamunya dalam rangkaian LLD #3 ini. Dan simak sajian hasil “silaturahmi” Kifu setiap hari di instagram @gubuakkopi, 19-26 September 2020.

Presentasi publik – Basuo Jo Babagi
19-26 September 2020 // di Instagram @gubuakkopi

gubuakkopi.id/basuojobabagi

Selama proses residensi daring Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3, Robby Ocktavian melakukan percobaan-percobaan pada platform meeting room yang kini tengah ramai digunakan. Pertemuan tersebut sering kali terdistorsi oleh kualitas perangkat dan jaringan yang beragam. Pesan-pesan suara ataupun visual terputus dan teracak. Pengalaman ini menarik perhatian Robby, dan meresponnya sebagai permainan kata dalam pertemuan maya. Melalui platform tersebut ia menghubungkan 19 orang dari 8 kota yang berbeda. Setiap partisipan diberi “partitur” teks dan menyampaikannya secara bergantian. Para partisipan memiliki kesempatan untuk mengeskplorasi sendiri susunan dan intonasi kata yang telah ia berikan tersebut, baik menjadi kalimat yang memiliki nilai mau pun tidak. Project ini ia beri tajuk “Kabar” dan akan dipresentasikan dalam tayangan langsung di halaman website Gubuak Kopi.

Live Talk LLD #3 – Robby Ocktavian
Senin, 21 September 2020
16.00 WIB // Di instagram @gubuakkopi

Presentasi publik – Kabar
Selasa, 20.00 WIB // Di website Gubuak Kopi
(gubuakkopi.id/kabarkabar)

Dalam rangkaian residensi LLD #3, Siska Aprisia (@siskaaprisia92) berkolaborasi dengan Utari Irenza (@utarimengno) mengembangkan dua gerak silek (silat) yakni: gelek dan pitunggua. Dua gerak dasar yang selalu hadir hampir di setiap seni tari tradisi Minangkabau. Dalam studi ini, Siska dan Utari mencoba meraba kembali kehadiran dan proses pengembangan sebuah gerak dasar menjadi sebuah kontruksi gerak baru atau kemudian menjadi tarian. Gerak-gerak tersebut berkembang melalui pengulangan-pengulangan yang intens dan transisi yang halus. Proses ini juga memanfaatkan kemampuan teknologi komunikasi dan perangkat proyeksi yang ditata untuk mendukung intensitas gerakan repetitif, layer-layer canon, dan ilusi-ilusi tertentu dalam realitas data.

Presentasi publik LLD #3 – Barulang
(Siska Aprisia x Utari Irenza)
Sabtu, 26 September 2020
20.00 WIB // di gubuakkopi.id/barulang