MASUK DAN KELUAR LAPAS

Catatan Proses Tenggara Festival 2020

Saya tidak mau lagi menceritakan hujan, mendung sudah datang sedari pagi. Akhirnya saya memutuskan untuk mandi pagi agar badan terasa lebih segar, daripada cuaca yang kelihatan murung. Kali ini saya mau sekali melihat lokasi  mural yang lainnya. Ini adalah kali pertama kali saya mengunjungi Lapas Kelas IIB Laing Kota Solok.

Bersama Bayu (Seniman Residensi Asal Medan) saya masuk ke dalam lapas, setelah beberapa menit dari yang lainnya. Sebelumnya Albert Rahman Putra (Gubuak Kopi), Dhigel (Jakarta), dan Genta (Medan),  sudah lebih dulu berada di dalam. Apa yang dilakukan orang-orang ketika pertama kali menginjakkan kaki di suatu tempat yang belum pernah ia datangi? Jawabannya tidak jauh dari ia akan melihat sekelilingnya kanan, kiri dan sisi-sisi penasaran lainnya. Saya adalah orang itu.

Sampai di ruang belakang, saya melihat ada beberapa kolam ikan, ladang, dan lapangan olah raga. Pemandangan selanjutnya adalah sisi dinding lapas yang tinggi penuh pagar duri dan mural yang hampir selesai dari seniman kolaborasi Dhigel, Bayu, Genta dan Verdian. Mural ini sudah memasuki hatri ke-4 dari pengerjaan. Haduh, sepertinya hujan harus tetap diceritakan. Bagaimana tidak, ia sudah masuk ke dalam durasi aktivitas bermural. Artinya seniman ini tidak hanya berhenti menghindari tubuh yang akan basah, tapi juga pada cat, dan permukaan diding yang harus bebas dari air.

Di sini, memang berbeda dari lokasi seniman lainnya dalam hal properti pendukung. Skavolding tidak bisa ditinggalakan dalam keadaan terpasang hingga mural selesai. Akan ada kekhawatiran dari penjaga lapas, yang cemas jika warganya memanfaatkan properti mural untuk meninggalkan lembaga ini.

Rahmad, atau yang biasa kami sapa Bang Dadung ini adalah salah satu penjaga lapas yang kami kenal. Kami mengenalnya dari skena musik underground atau bawah tanah. Dia menawarkan satu kantong jahe merah. Ooo iya, jahe ini diproduksi langsung di sini oleh warga lapas. Bang Dadung, menjelaskan yang pertama kali mengajarkan dan memproduksi jahe merah ini adalah napi dengan kasus teroris yang diselenggarakan beberapa tahun lalu. Produksi sekarang dilanjutkan oleh warga binaan Lapas Klas II B Kota Solok, dikemas dengan plastik bening untuk diperjual belikan.

Dinding lapas ini diwarnai dengan karakter-karaker mural yang khas oleh Dhigel, terlihat dari karakter yang mirip manusia berhidung panjang, kulit berwana biru dan sebagian besar diantaranya mengakat sebelah tangannya. Genta dan Bayu memperlihatkan seorang laki-laki mengandang karung dan satu karung lagi di tangan kirinya yang menyentuh tanah. Karakter ilustrasi dari Verdian juga muncul di dinding lapas ini. Seperti yang sering ia munculkan di Tamera Showcasenya di rumah Tamera di awal tahun ini (Dialog Garis Kilometer, 2020).

Jauh sebelum cat dikeluarkan dari wadahnya, ada banyak hasrat warga lapas yang ingin keluar dari pikirannya. Ya, kolaborasi ini tidak hanya antara seniman residensi dalam festival ini, tapi juga bersama dengan warga lapas terpilih untuk ikut berkontribusi. Mereka adalah yang biasa dalam menggambar seperti; tato, melukis, dan lainnya.

Salah satu dari mereka menceritakan ketertarikannya pada typografi dengan kalimat-kalimat perjuangan dan harga diri. Juga salah satu di antara mereka datang menghampiri saya, datang dengan wajah tersenyum dan menjabatakan tangan. Dia memanggi saya dengan panggilan yang biasa dipanggilan saya di kampus. Dia adalah junior saya di kampus. Obrolan singkat itu ia awali dengan curhat soal bagaimana ia bisa berada di sini. Singkat saja saya mengalihkan pembicaraan ini ke sketsa mural yang akan ia kerjakan. Dia juga adalah orang ke-2 yang mengenali saya setelah orang kampung saya.

Mereka akan mulai berkolaboari besok pagi, menunggu bulan menghilang, digantikan matahari. Semoga besok pagi cerah, baru, dan ekpresif. Seperti dialog kami dengan seorang Kasi lapas ini, “bagus ya, dindingnya digambar, dari pada polos saja, dan agar lebih berwarna juga” kata ibu kasi ini sambil menatap mural. Hari ini mural tidak bisa dilanjutkan dengan paksa, melawan hujan yang terus turun, ya mengharapkan besok pagi lebih cerah adalah ucapan selamat pulang untuk hari ini.

M. Biahlil Badri (Solok, 1996). Biasa disapa Adri. Salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi. Sempat berkuliah di ISI Padangpanjang. Sekarang aktif mengelola akun @solokmilikwarga, sebuah metode pengarsipan yang dikembangkan Gubuak Kopi melalui platform Instagram, dan juga aktif menulis untuk beberapa media di Sumatera Barat. Ia juga merupakan salah satu partisipan kegiatan Daur Subur di Parak Kopi (2019), kolaborator Pameran Kesejarahan Kurun Niaga bersama Gubuak Kopi (2019). Saat ini selain di Gubuak Kopi, ia juga mengelola kelompok musik Papan Iklan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.