JAMBAK WITH ATTITUDE

Catatan Proses Tenggara Festival 2020

Apa yang kita bayangkan ketika mendengar Pos Ronda? Jika kamu tinggal di Sumatera Barat kamu mungkin mempunyai citraan visual yang sama dengan saya: sebuah bangunan dengan ukuran yang tidak lebih besar dari 4×4 meter? Di dindingnya terpampang sebuah papan tulis berisikan jadwal ronda dan kertas iklan atau informasi. Tapi kamu harus lihat dulu pos ronda yang satu ini, ia adalah Pos Induk milik pemuda Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Bangunan dua lantai, memiliki WC, dapur, dan kantor, juga struktur organisasinya yang rapi.

Minang Typers, kelompok belajar tipografi yang berbasis di Kota Padang. Kali ini ia hadir di Tenggara Street Art Festival sebagai salah satu seniman residensi, yang direpresentasikan oleh Dika dan Cokoik. Mereka mendapatkan tawaran membuat karya tipografinya di sisi dinding sebelah kanan pos ronda ini. Dinding yang akan dimural oleh mereka berukuran 6×7 meter, ukuran yang cukup besar untuk pos ronda. Dalam karya itu, mereka menghadirkan teks “Jambak with Attitude”.

Di Minangkabau, Jambak dikenal sebagai nama salah satu suku (klan/marga) yang ada dan eksis bersama puluhan klan lainnya. Tapi Kampung Jawa Kota Solok memiliki tafsiran sendiri untuk Jambak. Mereka menyebut Jambak sebagai singkatan dari macam etnis yang tersebar di sana. Dia adalah Jawa, Minang, Batak, Keling/India. Kampung ini memang cukup beragam dari pada kampung lainnya di Solok umumnya.

Cerita yang berkesan diceritakan Dika di Rumah Tamera, salah satunya adalah sambutan yang ramah dari sekitar. Sambutan itu berupa suguhan kopi, gorengan dari penjualnya yang berda di depan pos ronda dan cerita-cerita keseharian mereka yang akrab. Mereka menyenangi kedatangan ini.

“Saya merasa segan, karena dilayani habis-habisan oleh warga Kampung Jawa, disuguhi kopi, ditawari tempat, istirahat, gorengan, bahkan saya diantari nasi oleh warga sekitar, ada-ada aja yang mereka tawari” jelas Dika.

Anggapan mereka Dika akan tinggal lebih lama di sini, sekitar satu bulan. Padahal karena berbagai keterbatasan dan situasi pandemi, Tenggara Festival hanya menjadikan ini sebagai residensi singkat saja. Cerita menarik dari Dika lainnya adalah, ia pernah dibangunkan saat ia tertidur di skavolding, ditawari untuk tidur di dalam. Ya karena ia begadang di hari ke-2, menyelesaikan karyanya hingga pagi. Hal ini juga dilakukan oleh banyak seniman residensi lainnya, karena beberapa hari terakhir selalu hujan, dan menuntut seniman harus menyiasati waktu.

Seperti biasanya, sore hari di depan pos induk ini, akan berjejer makanan dan jajanan bersama gerobak, motor custom, dan terpal-terpalnya. Alternatif dan menjadi pusat warga berkumpul dan memanjakan lidah. Pos ini juga pernah menjadi pos penjagaan pencegahan Covid-19 sejak Februari 2020 lalu. Menjadi pusat ketika pemuda Kampung Jawa mendirikan sejumlah pos dan portal di pintu masuk kampung ini.

Kolaborasi ide, pemuda Kampung Jawa juga ikut dalam menentukan tulisan apa saja yang akan menempel di dinding ruang berkumpul mereka. Mengedepankan persatuan adalah hal yang selau mereka rawat. Mereka menawarkan sebuah kalimat pendek untuk ikut muncul juga di dinding mereka. Kalimat itu adalah “kita kuat kerena bersatu, dan kita bersatu karena kuat”. Kalimat ini berada di sebelah kanan “Jambak with Attitude”.

Di hari ketiga, Dika dan Cokoik menjumpai perlombaan kicau burung di halaman Pos. Lomba ini berlangsung di saat yang sama saat Dika dan Cokoik melangsungkan muralnya. Halaman sebelah kanan pos ini memang sering digunakan untuk perlombaan burung yang diadakan seminggu sekali. Tidak Cuma itu halaman ini juga menjadi tempat alternatif untuk aktifitas warga seperti perayaan warga, hari besar nasional, dan sebagainya.

Pada Tenggara Street Art Festival, Dika berharap akan ada dan banyak lagi bentuk dan seniman lainnya di Indonesia hadir di festival ini. Ia mengaku senang pada festival yang berlangsung, menurutnya ini tidak cuma mengarah pada mural secara khusus, melainkan street art secara garis besar. Selain itu tentu juga beragam program yang hadir seperti residensi, workshop untuk remaja, dan kemah bersama menjadikan festival ini tidak hanya sekedar perayaan tetapi juga institusi distribusi pengetahuan, pengembangan jaringan seniman, dan merawat ekosistem.

Dika menyelesaikan gambarnya pada 29 November 2020. Ayah Aleks dan Uda Hen adalah dua reprsentasi pemuda yang juga merupakan koordinator ronda di lokasi ini merasa senang tempat yang ia jaga menjadi lebih berwarna.

M. Biahlil Badri (Solok, 1996). Biasa disapa Adri. Salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi. Sempat berkuliah di ISI Padangpanjang. Sekarang aktif mengelola akun @solokmilikwarga, sebuah metode pengarsipan yang dikembangkan Gubuak Kopi melalui platform Instagram, dan juga aktif menulis untuk beberapa media di Sumatera Barat. Ia juga merupakan salah satu partisipan kegiatan Daur Subur di Parak Kopi (2019), kolaborator Pameran Kesejarahan Kurun Niaga bersama Gubuak Kopi (2019). Saat ini selain di Gubuak Kopi, ia juga mengelola kelompok musik Papan Iklan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.