Singkat cerita dia menjadi ingatan banyak orang…

Tokyo Drift adalah budaya jalanan di Kota Tokyo yang berawal dari balapan ilegal di perbukitan Jepang, yang kemudian terus berkembang menjadi balapan yang diakui global.  Teiichi Tsuchiya dijuluki “Drift King” atau “Dorikin” pembalap Jepang pertama yang mempopulerkan seni drift, kemudian mempopulerkannya pada pertengahan 1980-an.  Teknik balapan ini dibawa ke Jerman yang kemudian menarik banyak orang akan balapan asal Jepang ini. Kita pernah sangat akrab dengan narasi ini dari media dan film-film bioskop, sebut saja The Fast and The Furious: Tokyo Drift (Justin Lin, 2006) yang sempat populer di Indonesia. Salah satu Film balapan mobil yang merupakan sekuel dari film The Fast & Furious, produksi Universal Picture. Ya, kepopuleran ini juga semacam bonus dari intensnya aksi itu dilakukan. 

Bagaimana jalanan membentuk suatu budaya atau kebiasaan yang berjalan hingga kini. Kita mungkin tidak akan memisahkan legal-ilegal, baik-buruk dan sebagainya dalam menyebut kebiasaan. Adalah satu kegiatan yang mungkin berasal dari satu kelompok atau individu, yang melakukannya terus menerus di suatu wilayah. 

Lalu bagaimana dengan lokasi baru didatangi orang-orang sekitar? Datang membawa semuanya dengan bentuk yang sudah ada sebelumnya.  Yang seharusnya wilayah ini belum memiliki kebiasaan yang dapat dilihat. Kebiasaan akan berpihak pada yang sering dilakukan di wilayah tersebut. Orang-orang akan melihat sesuatu yang sering terjadi di sana, dan mempertimbangkannya. 

Pada daerah transmigrasi contohnya, orang-orang ‘luar’ akan membawa budayanya ke daerah tersebut. Bergelut dengan yang lainnya. Namun siapakah yang terlihat? bukan yang terbaik, tapi yang terus berjalan dan massal. Mereka mungkin saja tidak merencanakan sesuatu untuk budaya ataupun karakter. Namun dengan demikian, secara tidak langsung hal-hal yang tak sengaja tersebut membentuk karakter dan bahkan menjadi budaya.


Daerah atau wilayah, hanyalah media. Apapun yang hadir dan muncul, sengaja atau pun tidak, dia adalah media. Meskipun geografis turut mempengaruhi sedikit gaya bahasa, mata pencaharian dan lainnya. Namun manusialah yang ‘menyetujui’ itu tetap berjalan atau tidak.

Lokasi baru yang dimaksud di atas adalah Jalan Lingkar Utara, Solok. Apa yang hadir dalam pikiranmu ketika mendengar nama tersebut?. Atau satu kali lagi dengan sebutan “Jalan Baru”. Apa pun itu dalam bayanganmu, dia berhasil mempengaruhimu dalam menggambarkan suatu wilayah. Dia tidak didefinisikan secara sadar untuk itu. Tapi apakah yang kamu bayangkan itu benar, ketika nama tersebut  disebutkan. Siapa bilang paham harus sama, dan persepsi boleh berbeda? Tapi dia adalah penakluk dari semua yang harus kamu bayangkan untuk namanya. Dia dikenal dengan kebiasaan.

Sejak 2016, jalan ini sudah bisa dilewati kendaraan, belum cukup untuk satu dekade berjalan. Jika kamu sering melewati jalur ini, kamu akan melihat aktivitas yang menarik dari pengendaranya. Perkenalan pertama saya pada jalur ini adalah balapan motor di sore hari. Seorang kawan mengajak saya untuk jalan-jalan sore ke lokasi ini 5-7 tahun yang lalu. Berada di gerbang jalur ini (Simpang Laing, Lapas dan Angin Berembus) puluhan motor sudah terparkir di tepi jalan dan yang lainnya sedang  balapan.

Perkenalan pertama saya itu juga tidak berbeda dengan kenyataan di hari ini. Kebiasan itu masih bisa dilihat, namun tidak sesering dulu. Mereka hanyalah satu kelompok motor yang beriringan, kemudian menggunakan kesepian kendaraan lewat untuk freestyle dan sebagainya. Atau hanya sekedar kebut-kebutan sendirian. Namun juga tidak sedikit yang terlihat masih belajar standing motor dan kebut-kebutan di area ini. Semacam pemanfaatan akses jalan yang bagus dan lancar.


Mungkin kamu juga pernah melihat  sejumlah motor parkir, bukan di pinggir tapi di taman pembatas kedua jalur. Dia adalah kelompok-kelompok yang bersantai dan berkumpul bersama kawan. Jika hanya satu motor, dia adalah pasangan kekasih yang memanfaatkan semuanya. Beberapa kali, saya juga melihat keluarga bersantai dengan satu mobil, di depan Gedung Komunitas Gubuak Kopi – Rumah Tamera Creative Hub. Mereka membawa bekal, tikar dan sebagainya untuk kebutuhan, ya mungkin semacam piknik di pinggir jalan. Yang kebetulan pinggir jalan ini cukup untuk satu unit mobil. Ditambah dengan satu batang pohon yang sudah gugur daunnya (keinginan musim gugur di daerah tropis yang romantis). Selang beberapa minggu, pasangan menikah melakukan foto pre weddingnya di lokasi yang sama dengan keluarga tadi.

Selain hal-hal itu adalah sesuatu yang normal dan tidak terlihat. Dia seperti berjalan tanpa kesan, yang tidak  memberikan ingatan jelas untuk sebuah peristiwa yang menjadi kebiasaan. Beberapa bulan lalu melalui akun instagram @solokmilikwarga pernah mengajukan pertanyaan kepada warga instagram, tentang apa saja yang kamu ingat ketika mendengar nama Jalan Lingkar Utara atau Jalan Baru ini. Jawabannya tidak jauh dari hal-hal diatas.

Seseorang itu mungkin tidak bermaksud atau menyangka apa yang mereka sering lakukan di jalur ini akan menjadi ingatan banyak orang atas nama jalur ini. Tapi apa yang ia lakukan secara terus menerus dan berulang itu adalah kebiasaan yang dikenal banyak orang. Lalu, sejauh mana kesempatan itu bisa dimanfaatkan, atau mempertahankannya yang sudah menjadi  kebiasaan.

M. Biahlil Badri (Solok, 1996). Biasa disapa Adri. Salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi. Sempat berkuliah di ISI Padangpanjang. Sekarang aktif mengelola akun @solokmilikwarga, sebuah metode pengarsipan yang dikembangkan Gubuak Kopi melalui platform Instagram, dan juga aktif menulis untuk beberapa media di Sumatera Barat. Ia juga merupakan salah satu partisipan kegiatan Daur Subur di Parak Kopi (2019), kolaborator Pameran Kesejarahan Kurun Niaga bersama Gubuak Kopi (2019). Saat ini selain di Gubuak Kopi, ia juga mengelola kelompok musik Papan Iklan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.