Monthly Archives: August 2019

Tapak Sejarah Di Sawahlunto

Sekitar pukul setengah sebelas, pada 28 Agustus 2019 saya bersama bebebrapa partisipan proyek seni Kurun Niaga melakukan perjalanan observasi ke Kota Sawahlunto. Adapun yang ikut adalah Albert Rahman Putra, Biki Wabihamdika, Biahlil Badri, Dedi Palito Club, Mella Darmayanti yang sekaligus menjadi mahasiswa magang di Gubuak Kopi dari Universitas Negeri Padang. Selain itu juga ada Lizzie Moss, salah seorang teman dari Australia. Ia adalah relawan “Australian Volenteer Program” untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Solok. Di sela-sela tugasnya ia juga sering mampir dan mengisi materi kelas Bahasa Inggris untuk kami.

Continue reading

Meminjam Mata Raffles (Bagian II)

Sambungan dari Meminjam Mata Raffles (Bagian I)

Setelah berhasil menuruni dataran tinggi Simawang tujuan selanjutnya adalah Ibukota Minangkabau dengan jarak 12 mil dengan menghabiskan waktu 5 jam berjalan. Sembari berjalan Raffles dan rombongan banyak menemukan tambang-tambang emas yang sudah lama dipergunakan, terbukti dengan banyaknya pondok untuk istirahat.

Continue reading

Meminjam Mata Raffles (Bagian I)

Beberapa hari terakhir, terkait studi kebudayaan melalui aktivitas perdagangan dan jalur transportasi yang diinisasi oleh Gubuak Kopi, kami membaca sejumlah arsip yang ditulis para petualang ke Sumatera Barat. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Sebelum merunut kembali perjalanannya, perlu kita sadari bahwa ia adalah seorang Inggris yang memiliki ketertarikan dalam persoalan kebudayaan dan pengatahuan lokal. Salah satu penelitiannya yang cukup terkenal terkait nusantara adalah The History of Java. Dan lanjutnya ia berpetualang ke negeri Melayu Minagkabau pada awal Juli tahun 1818. Raffles bersama istrinya dan juga seorang Naturalis yaitu Dr. Horsfield, serta rombongannya.

Continue reading

Membayangkan Perayaan Berikutnya

Belakangan, di media muncul kembali banyak pernyataan yang tidak menyukai permainan seperti panjang pinang, pacu karung, pukul bantal, dan berbagai jenis permainan yang biasa kita mainkan para perayaan kemerdekaan. Biasanya muncul dengan kalimat, bahwa itu tradisi yang dibangun penjajah untuk merendahkan kita. Terutama sejak berita mengenai pemerintah kota di Aceh melarang permainan ini. Konteks yang hampir mirip pernah saya temui di Jujuhan, Muaro Bungo, kala pengusaha tambang batu bara menyelenggarakan pesta untuk para buruhnya, berupa panjang pinang dan nonton orgen. Tapi saya kira mereka tidak melakukannya dengan terpaksa, barang kali memang menginginkan hadiah, unjuk kebolehan, bersenang-senang, dan lainnya. (Baca juga: Bagai Pinang Dipanjat Pemuda, 2014; Pesta Pemuda, 2014; dan Nonton Orgen, 2014)

Continue reading

Setapak Penghubung Niaga

Sebuah meja besar yang panjang melintang di tengah ruangan, di sekelilingnya telah tersusun kursi-kursi dengan rapi. Kursi-kursi itu siap untuk diduduki seperti meja-meja yang digunakan ketika rapat di perkantoran. Siang hari, senin, 05 Agustus 2019, saya dan teman-teman yang berkesempatan hadir pada waktu itu telah berkumpul di Tanah Merah Space, sebuah ruang kreativitas alternatif untuk komunitas-komunitas di Solok, yang juga merupakan sekre baru Komunitas Gubuak Kopi, di Jalan Lingkar Utara, Ampang Kualo.

Continue reading

Berkumpul di Solok Membaca Perdagangan Lampau

Senin, 4 Agustus 2019 lalu, sejumlah pemuda berkumpul di Solok, tepatnya di Tanah Merah Space, di Jalan Lingkar Utara, Ampang Kualo, Kota Solok. Sebuah ruang untuk komunitas kreatif di Solok, yang juga merupakan kediaman baru Komunitas Gubuak Kopi. Kali ini mereka berkumpul untuk menjalankan sebuah proyek seni bertajuk mengkaji dinamika kebudayaan melalui fenomena jalur dagang dan trasnportasi.

Continue reading