Meminjam Mata Raffles (Bagian I)

Beberapa hari terakhir, terkait studi kebudayaan melalui aktivitas perdagangan dan jalur transportasi yang diinisasi oleh Gubuak Kopi, kami membaca sejumlah arsip yang ditulis para petualang ke Sumatera Barat. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Sebelum merunut kembali perjalanannya, perlu kita sadari bahwa ia adalah seorang Inggris yang memiliki ketertarikan dalam persoalan kebudayaan dan pengatahuan lokal. Salah satu penelitiannya yang cukup terkenal terkait nusantara adalah The History of Java. Dan lanjutnya ia berpetualang ke negeri Melayu Minagkabau pada awal Juli tahun 1818. Raffles bersama istrinya dan juga seorang Naturalis yaitu Dr. Horsfield, serta rombongannya.

Raffles serta istrinya berkebangsaan Britania atau Inggris, sementara Dr. Horsfield dari Amerika. Mereka sebelumnya sudah bertemu di Pulau Jawa ketika Raffles menjabat sebagai Letnan Gubernur pada tahun 1811-1816. Awal bulan Juli 1818, Raffles berangkat dari Bencoolen (Bengkulu sekarang) untuk mengunjungi Padang, ia bermaksud datang untuk mendapatkan informasi mengenai keadaan dan situasi suatu daerah yang ia sebut dengan Menankabu yaitu Minangkabau saat ini.

Ia sangat tertarik dengan wilayah Minangkabau karena merupakan salah satu daerah yang bisa dikatakan belum tersentuh oleh orang asing. Raffles pun tiba di Padang yang merupakan kota pelabuhan, tapi masalahnya Belanda belum pernah ke daerah di belakang bukit dari Kota Padang tersebut. Ya, Solok adalah daerah yang berada di belakang Perbukitan Padang atau disebut oleh orang belanda dengan Padangsche Bovenlanden. Ketika di Padang, Raffles membawa kuli angkut sebanyak 200 orang dan 50 tentara.

Sketsa Hafizan saat merekam sudut pandang Raffles dari catatannya.

Pada saat itu jalan Padang ke Pedalaman Minangkabau di bawah kekuasaan Tuanku Pasaman yang merupakan seorang pembaharu agama. Raffles pun hendak menuturkan niatnya yang bermaksud positif untuk menjelajah negeri ini, dan memberitahu rute yang akan ia lalui bersama rombongan, sehingga surat pemberitahuan akan kedatangan Raffles pun diantarkan ke pedalaman duluan.

Ia membawa serta 200 kuli angkut yang merupakan warga lokal. Ini adalah kali pertama Raffles menuju Negeri Pagaruyung yang merupakan Ibu kota Minangkabau, dengan melewati perbukitan di Limau Manih, Padang. Ya, bukit itu dibaliknya adalah Kab. Solok atau pada masa Raffles disebut Negeri Solok Salayo Kubuang Tigo Baleh. Raffles pun memulai perjalalan pada tanggal 14 Juli 1818 pada sore harinya.

Rute yang dilewati oleh Raffles berawal dari Muaro Padang ke Kampung Baru (sekarang menjadi bagian dari Kec. Lubuk Begalung) dan terus ke Limau Manih. Keadaan cuaca pada saat rombongan Raffles di tengah perjalanan adalah hujan lebat, sehingga rombongan memakan banyak waktu 4 sampai 5 jam ke Kampung Baru, dengan menyebrangi sungai-sungai yang ada di negeri tersebut.

Kampung Baru menjadi tempat pertama rombongan Raffles beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Limau Manih. 17 Juli 1818 Raffles dan rombongan pada jam 7 pagi mulai perjalanan kembali ke Limau Manih dan setengah jam kemudian sampai di sana dengan terpukau akan keindahan alam 400 kaki di atas permukaan laut itu. Hingga Raffles pun menuliskan keingginannya, Inggin tetap menguasi Padang.

Raffles pun menggambarkan Limau Manih yang merupakan negeri luas, terbentang perkebunan dengan sungai yang mengalir deras berhulu di Ujung Karang (Ulak Karang, Padang). Rumah-rumah desa ini selalu bersebelahan dengan pohon yang gunanya menaungi tumbuhan kopi mereka.

“Pada saat kedatangan kami di Limau Manih disambut oleh pukulan drum besar yang selalu ada di setiap desa-desa besar. Gendang ini terbentuk dari batang pohon besar yang panjangnya 20 kaki dan dilubangi satu sisinya dan satu sisinya lagi di tutup dengan perkamen, selanjutnya digantung pada bingkai kayu yang diletakkan merebah/horizontal di bawah satu atap.” Demikian ia menggambarkan.

Raffles kembali melanjutkan perjalanan dan segera memasuki belantara rimba, setelah diberitahu oleh Dr. Horsfield jika rute ini merupakan pendakian hutan yang sudah terbentuk akibat orang-orang pribumi sering melewatinya. Setelah itu, rombongan Raffles menyeberangi sungai dengan batu-batu sungai sebagai pijakan. Di sini Raffles melihat trik para pedagang pribumi yang membawa banyak bawaan dengan begitu mudah. Melangkah di bebatuan sungai itu. Ia memperhatikan orang-orang itu yang melatakan sebatang kayu di pundak mereka dan mengikat bakul dagang pada kayu tersebut, hal demikian dianggap praktis oleh Raffles.

Setelah melalui perjalanan yang lama Raffles dan rombongan beristirahat di sebuah gedung yang besar dalam perkiraannya merupakan pos-pos para pejalan untuk beristirahat. Di situ kita akan dikenakan biaya oleh para pemuda sebagai kas negeri itu tentunya, bisa dibilang ini seperti pos toll saat ini. Lama kian perjalanan, sampailah rombongan di ambang hutan, Bukit Batu tepatnya pos toll yang dinamai Gedung Beo.

Sketsa Dika Adrian Badik saat memvisualkan teks-teks perniagaan masa lampau.

Perjalanan lanjut rombongan pun sampai ke Negeri Gantung Ciri yang merupakan salah satu nagari, bagian dari Kubuang Tigo Baleh. Negeri ini berada paling dekat dengan Padang. Gantung Ciri menjadi tempat untuk beristirahat oleh rombongan.

Kemudian rombongan turun ke bawah menuju pusat dari Negeri Solok Salayo, Kubuang Tigo Baleh dan berkumpul di suatu rumah yang dikira merupakan milik kepala negeri di daerah Salayo ini. Raffles dan para kepala nagari ini saling memperkenalkan diri dan ia memberi tahu maksud kedatangannya.

Raffles dan rombongan pun menetap 3 hari sembari menunggu keputusan para kepala nagari Kubuang Tigo Baleh ini, terkait upayanya untuk mempertahankan Padang agar tidak dikembalikan ke Belanda. Salah seorang kepala lokal mengumpulkan seluruh orang yang berpengaruh di Kubuang Tigo Baleh. Sekian waktu yang termakan, dan rombongan diminta membayar pajak masuk negeri ini sebesar 20 dollar atau istilah negeri ini besarannya yaitu sa tali sa pau.

Rombongan melanjutkan langkah dari rimbunan tumbuh-tumbuhan, menembus pemandangan Gunung Talang yang jelas. Selama perjalanan melereng di pebukitan pun terlihat kiri kanan mereka tubuh subur kopi dan indigo. Tak lama sampailah rombongan di pohon beringin besar yang meneduhi sebuah pasar. Di sini mereka dijamu dan disuguhi buah-buahan dan makanan untuk menambah tenaga perjalanan.

Di sini, tujuan sepenuhnya tertuju kepada pusat dari negeri Kubuang Tigo Baleh yaitu Selayo. Raffles pun disambut dengan meriah, begitu meriah dengan sorak-sorakan dan musik yang terdengar ke segala penjuru negeri ini. Selayo merupakan negeri pertama dan bersebelahan dengan Solok, dan di sisi lainnya adalah Koto Baru, yang masih dibatasi oleh sungai-sungai yang mengalir dan diteduhi pohon-pohon kelapa. Hampir seluruh negeri Kubuang Tigo Baleh adalah daerah yang bagus untuk bercocok tanam, demikian gumamnya.

Kebanyakan masyarakat Kubuang Tigo Baleh adalah petani dan sebagian adalah peladang. Wajar saja hingga masa kini pun Solok dijuluki negeri penghasil beras yang ternama. Pada setiap tanah yang melereng mereka menanami kopi, indigo, jagung, tebu, dan tanaman penghasil minyak. Di tanah yang mendatar bisa dibilang merata sudah diolah menjadi sawah-sawah nan luas yang dibajak oleh kerbau-kerbau.

Ketika berkeliling di negeri ini, Raffles melihat mirisnya masyarakat dalam berpakaian yang mereka kenakan, seperti orang Arab. Mau bagaimana lagi, kekuasaan sekarang berada di pucuk Tuanku Pasaman pemimpin Paderi. Raffles merasa tidak adanya kecocokan memakai baju yang berjubah dan kepala bersorban bagi para lelaki, dan wanita yang ditutupi seluruh badannya hingga yang cuman wajah dan telapak tangan mereka yang tampak. Hanya dua warna pada pakaian mereka ini putih dan biru.

Berdiam diri yang begitu lama di negeri ini, Raffles dipanggil untuk menghadiri sebuah rapat besar yang diisi seluruh tokoh masyarakat di Kubuang Tigo Baleh. Raffles mencatat keinginan masyarakat agar Belanda tak kembali lagi ke Padang. Setelahnya ia memberikan hadiah berupa selembar kain yang lebar dari Inggris, senjata 3 bilah, dan gendang khusus buatan Inggris yang dimainkan untuk raja negeri luar itu.

Raffles ahkirnya berasumsi tentang Negeri Kubuang Tigo Baleh yang jelas bukan orang-orang pedagang melainkan para petani atau peladang, dan sebagian lagi penambang. Pedagang-pedagang pribumilah selalu menghubungkan mereka dengan kota-kota. Sebagaimana kata mereka, orang-orang yang mengerti akan urusan berdagang itu adalah mereka yang berada pada jalur tambang emas tepat sebelum memasuki kota. Tambang utama emas itu terletak di belakang Gunung Talang yaitu Tambang Sungai Pagu dan Abu.

Terlepas dari itu Raffles melihat bebarapa bangunan yang fungsinya sama dengan Jawa tapi dengan bentuk yang jauh berbeda. Ya, Raffles melihat Rumah Gadang memiliki panjang 60 kaki dan tinggi 30 kaki yang diwarnai merah, hitam, dan putih. Setiap Rumah Gadang terdapat dua lumbung padi (Rangkiang).

Selasa di siang hari, 21 Juli. Raffles dan rombongan memulai ekspedisi Pagaruyung dan rute perjalanan yang datar menuju Danau Singkarak. Hamparan sawah yang luas memanjakan mata mereka dengan berjalan di atas pemantangnya hingga tepat di Negeri Kasiak merupakan puncak dari keindahan sawah yang berwarna keemasan seperti di Negeri Serayu kebanggan Pulau Jawa itu. Lama kelamaan pemandangan tertumpu kepada permukaan danau yang secara langsung rombongan telah sampai di Negeri Saniangbaka. Walaupun negeri ini tampak kelam akibat peperangan saudara tapi terbayarkan oleh hamparan indah Danau Singkarak.

Setelah berdiam diri yang cukup lama di Saniangbaka, Raffles melanjutkan perjalanan ke Simawang dengan menyebrangi Danau Singakarak dengan jarak 14 mil tetapi para kulinya berjalan mengitari danau karena kapal yang tak cukup memabawa rombongan yang ramai itu. Setiba di Simawang Raffles pun menghitung ada 7 kota utama di setiap kota terdapat pasar yang diteduhi oleh pohon beringin. Pada sekitaran danau terlihat kontras warna tepian dari kejauhan karena banyak macam-macam flora yang ditanam. Ia melihat hal yang mengejutkan, ukuran ekspetasinya saat itu tak mungkin rasanya negeri yang belum tersentuh oleh orang luar ini memiliki kapal yang bisa mengangkut barang seberat 6 ton ditambah 100 orang yang menurut Raffles serupa dengan kapal besar perang di Lautan Cina Selatan.

Kapal yang membawa rombongan menepi dan perjalanan berlanjut menuju ke Simawang. Sampai di puncak, kami melihat perbukitan yang tinggi tapi tidak setara dan di balik bukit tersebut adalah Pagaruyung dan Gunung Bungsu sesudahnya. Setalah menuruni Negeri Simawang terdapat 2 hulu sungai yaitu Kuatan dan Idragiri. Setika di hulu sungai itu Raffles melihat kincir air yang yang dialiri ke ladang dan sawah yang terbuat dari bambu dengan baik. Penemuaan itu membuat Raffles berasumsi bahwa teknologi pertanian tersebut adalah asli berasal dari Minagkabau mengingat belum pernahnya orang luar ke negeri ini, dan hal serupa belum ditemui di Jawa.

Pada lereng dataran tinggi Simawang ditumbuhi tabu untuk menghasilkan gula Manih. Alat pembuatan gula terletak di tengah kebun tabu itu terlihat terpasang 2 silinder tegak, yang dibentuk menjadi sekrup atau alur dan diputari oleh tenaga kerbau/sapi untuk memerasnya. Penemuan selanjutnya adalah bebarapa batuan mineral yaitu feldspar, granit, kuarsa, dan mineral lainnya.

Berlanjut ke MEMINJAM MATA RAFFLES (BAGIAN II)

Ilham Arrusulian, biasa disapa Caam, lahir di Bukittinggi, 1999, kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Iman Bonjol, Padang dengan studi hukum keluarga. Saat ini ia juga aktif di Suara Kampus, sebuah media yang dikelola oleh UKM Lembaga Pers Mahasiswa kampusnya. Selain itu ia juga anggota Surau Tuo AMR, sebuah paguyuban alumni Madrasa Tarbiyah Islamiyan Canduang. Partisipan program Daur Subur di Parak Kopi, bersama Gubuak Kopi dan Surau Tuo AMR (2019). Beberapa tulisan Caam juga bisa kita temukan di media-media cetak lokal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.