Setapak Penghubung Niaga

Sebuah meja besar yang panjang melintang di tengah ruangan, di sekelilingnya telah tersusun kursi-kursi dengan rapi. Kursi-kursi itu siap untuk diduduki seperti meja-meja yang digunakan ketika rapat di perkantoran. Siang hari, senin, 05 Agustus 2019, saya dan teman-teman yang berkesempatan hadir pada waktu itu telah berkumpul di Tanah Merah Space, sebuah ruang kreativitas alternatif untuk komunitas-komunitas di Solok, yang juga merupakan sekre baru Komunitas Gubuak Kopi, di Jalan Lingkar Utara, Ampang Kualo.

Sebagai partisipan saya menyiapkan barang-barang yang rasanya penting untuk keperluan ketika workshop, seperti buku catatan, pena dan lain-lain. Hari ini workshop yang diselenggarakan oleh Komunitas Gubuak Kopi, dibuka oleh Albert Rahman Putra selaku pendiri komunitas ini. Jauh hari sebelumnya Albert telah memberitahu bahwa akan diadakannya workshop yang membahas tentang dinamika kebudayaan sebagai dampak perdagangan dan jalur transportasi.

Siang hari yang sedikit panas, semua partisipan dengan serius menjalani workshop. Dimulai dengan sebuah artikel yang dibaca oleh Biahlil Badri, salah seorang partisipan, hingga beberapa halaman, kemudian digantikan oleh teman-teman yang lain hingga artikel tersebut habis dibaca. Artikel ini merupakan draft awal riset yang telah dimulai oleh Komunitas Gubuak Kopi dan sebagai acuan kelanjutan proyek ini.

Sebagian teman ada yang mencatat, memperhatikan dan kadang-kadang ada juga yang telihat sedang melihat handphone atau HP. Albert menuliskan di papan tulis sebuah judul “mengkaji dinamika kebudayaan melalui jalur transportasi” tentu saja itu adalah judul pembahasan saat ini. Pembahasan ini dimulai dengan mengkaji priode-priode jalur-jalur yang ada di Sumatera Barat. Setelah mengkaji lebih dalam dan dari beberapa referensi yang telah dibaca terdapat beberapa periode jalur trasnportasi internal Sumatera Barat masa dulu, yang kami klasifikasi untuk sementara.

Periode pertama yaitu periode jalur setapak, pada periode ini Belanda telah memasuki Sumatera Barat tetapi hanya berada di bawah. Maksud berada di bawah adalah di wilayah pesisir pantai barat, Padang, Pariaman, Tiku, dan lainnya. Beberapa jalur setapak ini hanya bisa dilalui oleh manusia dan kuda beban, karena ukuran dan betuknya yang tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan. Pada periode jalur setapak ini juga ditemui beberapa bentuk jasa angkutan seperti kuda beban, pesilat untuk mengawal agar tidak terjadi perampokan atau hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.

Periode kedua, yaitu periode intervensi Belanda di pebukitan atau pusat Minangkabau. Pada masa ini Belanda mulai melakukan pembangunan jalur transportasi utama yang menghubungkan kota-kota penting penghasil kopi, cangkeh, lada, dan lainnya. Salah satu proyek besar adalah rencana pembangunan yang dirancang oleh Van Den Bosch, untuk 25 tahun mendatang. Beberapa jalur baru, kamar dagang atau ruang penyimpanan barang dibangun pada periode ini, dan masih menggunakan jasa kuda beban.

Periode ketiga yaitu periode ‘batu bara Ombilin’, pada periode ini dapat masuknya proyek-proyek kereta api, seperti stasiun dan rancangan kereta bergerigi. Tidak hanya itu pada periode ini tepatnya pada tahun 1829 adanya pembuatan jalan yang menghubungkan Padang-Padang Panjang, tentunya pembangunan jalan itu telah melalui perhitungan yang rumit dan panjang.

Butuh waktu yang tidak sedikit untuk membahasnya hingga tidak disadari bahwa hari telah beranjak sore, sudah saatnya untuk beristirahat. Diskusi diberhentikan dan dilanjutkan pada esok harinya. Beberapa teman masih berada diposisi duduk semula sambil mengecek HP masing-masing dan beberapa meninggalkan ruangan.

Keesokan harinya, Selasa 06 Agustus 2019. Kelas workshop kedua dimulai, setelah makan siang saya dan teman-teman yang hadir sudah bersiap mengambil posisi duduk sebagai mana mestinya. Di siang hari ini, pembahasan workshop dilanjutkan, karena kemarin membahas mengenai periode jalur transportasi, pembahasan sekarang mengenai “hal-hal kecil yang berkaitan dengan jalur transportasi”.

Untuk mengetahui hal-hal kecil yang berkaitan dengan jalur transportasi, pembahasan dimulai dari jalur setapak. Pada masa ini warga bermigrasi untuk beberapa kepentingan, dan karena adanya migrasi ini-pun terbentuknya sebuah jalur transportasi. Kedua hal tersebut memang tidak dapat dipisahkan. Saya dan teman-teman menyimpulkan dari diskusi siang hari ini bahwa migrasi warga disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, keadaan perang yang membuat warga mencari tempat aman untuk tinggal. Kedua karena SDA (sumber daya alam) yang tidak memadai sehingga warga mencari suatu tempat yang SDA-nya dapat dimanfaatkan. Ketiga, karena ingin mendekati pusat niaga atau pusat kota untuk mencari pekerjaan. Keempat, keinginan untuk memperluas wilayah. Kelima, karena adanya sebuah kebiasaan yang disebut merantau. Keenam untuk mencari peluang kerja yang luas. Karena adanya jalur setapak ini tentu berpengaruh kepada peradaban yang ada di sekitarnya, beberapa di antaranya terbentuk perkampungan baru, adanya jasa tukang angkut dan timbulnya beberapa kejahatan seperti perampokan. Ketika mengetahui perampokan juga terjadi pada masa itu, saya teringat bahwa segala hal mempunyai gandengan masing-masing meski dari bentuk yang berbeda. Seperti dampak positif dan negatif dari pembangunan jalur transportasi. Keduanya tidak dapat disamakan dan juga mustahil jika dihilangkan salah satunya.

Kitiang saat menuliskan time line priode perdagangan di Sumatera Barat

Setelah meminum beberapa teguk kopi, diskusi dilanjutkan dengan membahas jalur-jalur setapak yang diperhatikan khusus oleh Van Den Bosch. Menurutnya terdapat lima klasifikasi jalur sitapak. Kelompok pertama berada di Pasaman, (Air Bangis-Rao, Sasak-Lundar-Bonjol). Kelompk kedua di Agam tepatnya (Tiku-Batang Antokan-Bukittinggi). Kelompok ketiga di Pariaman tepatnya (Ulakan-Koto Tangah-Padang-Kayutanam-LembahAnai-Padang Panjang-Bukittinggi-Tanah Datar). Kelompok lima di Tanah Datar tepatnya (Singkarak-Koto Tangah-Padang). Kelompok terakhir di Solok (Padang-Kubuang Tigo Baleh, Banda Sepuluh-Solok Selatan).

Untuk lebih mengetahui lagi tentang mengapa adanya alur setapak ini, seperti yang tertulis di dalam cerpen “Giring-Giring Perak” bahwa jalan setapak ini tercipta karena kebutuhan akan garam, kemudian berkembang menjadi jalan dagang pada abad ke lima belas. Jalur ini hanya bisa dilalui oleh orang dan kuda beban.

Hingga akhirnya senja kembali menghentikan diskusi, telihat pemandangan yang indah di sekitaran sekre ini. Diskusi kembali dilanjutkan sekitar pukul delapan, kali ini saya dan teman-teman menelusuri catatan Sir. Thomas Stamford Raflles tentang perjalanannya di Minangkabau, Raffles merupakan seorang warga Negara Inggris. Perjalanannya di Minangkabau dimulai pada tahun 1818, Raffles bersama rombongannya meninggalkan Bengkulu dan menuju Padang pada awal bulan Juli. Ketika menelusuri catatan Raffles ini saya dan teman-teman menemui berbagai kesulitan dalam menerjemahkan catatannya yang menggunakan bahasa Inggris.

Dari seluruh yang hadir, tidak ada yang mempunyai kemampuan Bahasa Inggris yang baik. Bisa dibanyangkan bagaimana mungkin saya dan teman-teman bisa menterjemahkannya, belum lagi teks-teks berbahasa Belanda. Oleh karena itu, penggunaan teknologi dibutuhkan untuk menterjemahkan catatan Raffles ini. Meski telah berupaya menggunakan teknologi yang canggih, saya dan teman-teman masih kesulitan dalam merangkai kata dari terjemahan yang membingungkan.

Karya sketsa Hafizan, salah seorang partisipan proyek Kurun Niaga, saat merekam sudut pandang Raffles secara visual.

Anehnya, di situlah suasana mulai terasa menyenangkan, mungkin karena beberapa argument berbeda dari masing-masing orang dalam mengartikan kalimat atau karena bahasa yang digunakan dalam terjemahan terdengar konyol. Hingga larut malam saya dan teman-teman masih berusaha menerjemahkan catatan Raffles dan kemudian disalin ke dalam sebuah buku catatan khusus yang ditulis secara bergantian. Karena ditulis secara bergantian maka tercipta-lah berbagai jenis bentuk aksara, seolah-olah menggambarkan penulis aslinya dengan karakteristik tersendiri.

Malam terasa singkat hari ini, mungkin karena disibukkan oleh catatan Raffles. Akhir dari kelelahan saya dan teman-teman memutuskan untuk beristirahat dan melanjutkan keesokan harinya.

Rabu, 07 Agustus 2019. Saya dan teman-teman yang hadir melanjutkan kegiatan workshop, kembali menerjemahkan catatan Raffles. Dalam catatannya Raffles bersama rombongannya menemui banyak hal yang menarik, memasuki peradaban Minangkabau ia juga disambut oleh masyarakat. Malangnya ketika di perjalanan ia juga dikenai biaya beberapa oleh kalangan kecil masyarakat.

Perjalanan panjang yang ia lewati dari Padang menuju ke Solok, Raffles dan rombongannya melalui Limau Manih yang tembus ke Gantuang Ciri Kab. Solok melewati sungai, bukit dan jalur yang ekstrim. Hingga sekarang-pun jalur yang dilalui Raffles itu dapat dikatakan tidak lagi dipergunakan untuk aksek dari Solok ke Padang atau sebaliknya, hanya beberapa petulang dan beberapa pemburu kambing hutan. Di Kubuang Tigo Baleh Raffles mendengar banyak informasi mengenai tambang emas. Setelah melewati Solok, Raffles dan rombongan mengarah ke Singkarak. Tepat pada hari Rabu, 22 Juli 1818 mereka tiba di Singkarak, dan melanjutkan perjalanan dengan kapal yang cukup besar menuju Simawang.

Karya sketsa Dika Adrian Badik, saat memvisualkan teks-teks perjalanan niaga masa lampau.

Di Simawang mereka disambut oleh petinggi desa dan diberikan tempat penginapan. Kembali tak terasa hari ini berlalu dengan cepat siang yang tampak gagah digantikan oleh malam yang terlihat tenang dan penuh misteri, catatan Raffles yang belum selesai diterjemahkan secara keseluruhan terpaksa dihentikan sementara. Dengan menerjemahkan catatan Raffles ini memberikan pengalaman tersendiri kepada saya, membuat saya berimajinasi menggambarkan bagaimana susah perjalanan di masa lalu, sekaligus memahami sudut pandang para pendatang meilhat Sumatera Barat.

Selesai diskusi pada hari ini, dengan sedikit kelegaan hirupan nafas panjang saya menyadari ini hari yang cukup melelahkan dan penuh pengalaman positif. Dengan bersantai sejenak dan kopi yang masih tersisa sayang rasanya jika tidak dihabiskan. Beberapan teman sudah mulai meninggalkan ruangan diskusi dan beristirahat.*

Solok, Agustus 2019

Novi Satria (Lubuk Basung, 1998). Biasa disapa Qiting. Mahasiswa studi Hukum Tata Negara, Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang. Ia juga merupakan anggota dari perkumpulan Surau Tuo AMR. Selain itu, ia juga aktif berkegiatan di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Imam Bonjol, di kampusnya. Ia merupakan partisipan Daur Subur di Parak Kopi yang diselenggarakan oleh Komunitas Gubuak Kopi di Surau Tuo Padang (2019). Kini ia juga aktif menulis beberapa tulisannya pernah dipublikasi di sejumlah media lokal. Ia juga merupakan salah satu kolaborator Pameran Kurun Niaga, di Kota Solok (2019)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.