Meminjam Mata Raffles (Bagian II)

Sambungan dari Meminjam Mata Raffles (Bagian I)

Setelah berhasil menuruni dataran tinggi Simawang tujuan selanjutnya adalah Ibukota Minangkabau dengan jarak 12 mil dengan menghabiskan waktu 5 jam berjalan. Sembari berjalan Raffles dan rombongan banyak menemukan tambang-tambang emas yang sudah lama dipergunakan, terbukti dengan banyaknya pondok untuk istirahat.

Pada 4 jam perjalanan Raffles dan rombongan mendapati pemandangan pertama Kota Pagaruyung dari kejauhan. Tepatnya berhenti untuk melihat pemandangan ini menandakan kita berada di Suruasa (Saruaso) kota kedua di Minangkabau. Di sini Raffles bertemu dengan Tuan Gadis dari kerajaan, rombongan ditempatkan pada sebuah rumah dengan panjang 30 kaki yang terletak di tepian Sungai Emas, pada seberangnya terilihat bangunan kecil yang disebut surau.

24 Juli 1818 adalah hari dimana Raffles dan rombongan pertama kali menginjakkan kaki di tanah Pagaruyung. Negeri ini dibangun pada lereng dan kaki bukit yang disebut Gunung Bongso (Bungsu), tepatnya di jurang mengalir Batang Selo yang indah dalam aliran berkelok-kelok mengarungi Saruaso, dari sinilah Sungai Emas berasal yang muaranya ke Sungai Indragiri Riau. Gunung Marapi tampak menjulang dari penglihatan Raffles di lereng Gunung Bungsu yang sebagian besar penduduk bermukim. Seluruh sisi gunung dikelilingi pedesaan dan sawah-sawah yang membentang.

Sepanjang perjalanan Raffles, menurut dugaannya pernah mengalami bencana dahsyat di masa lalu. Ketika menyusuri bukit-bukit rendah Pagaruyung ia menjumpai banyak sekali fosil. Nampaknya, seluruh hutan di kawasan itu pernah terkubur oleh goncangan mendadak pada permukaan (katastrofe) hebat pada masa itu. Raffles juga memperhatikan batang pohon yang mengalami pemfosilan. Menariknya, batang pohon itu mencuat keluar dari kedalaman tanah.

Ketika itu rombongan Raffles menjumpai beberapa kolam kecil karena sekitar lokasi itu dulunya banyak bangunan tua yang terkubur. Satu-satunya ditemukan adalah semacam arca yang terdapat di dalam empat batu yang merupakan gerbang masuk sebuah kota pada di masa lalu, rombongan menemukan lokasi yang dahulunya merupakan tempat berdirinya istana.

Reruntuhan di istana ditemukan batu datar besar tempat Raja Pagaruyung duduk menghadiri upacara. Saat rerumputan liar disingkirkan ditemukanlah istana yang terkubur. Tidak ditemukan prasasti di tempat itu, mungkin karena rombongan tergesa-gesa dan baru sempat memeriksa sebagian saja. Tetapi di situ ditemukan arca peninggalan zaman dulu untuk mengenang mereka yang sudah meninggal.

Ketika Raffles kembali ke Saruaso ia menemukan 2 prasasti yang sudah memudar dan tak bisa dibaca, rasanya agak kecewa akan hal itu. Tapi Raffles pun sesudah itu melihat sebuah patung Hindu dengan ukiran yang baik di atas batu bersama istrinya.

Sketsa Hafizan saat merekam sudut pandang Raffles dari catatannya.

Tanggal 25 Juli, Sabtu sorenya Raffles mulai bertolak ke Padang dari Saruaso hingga berjalan ke Simawang dan tiba malam hari dan bermalam dan berdiam diri hingga Senin siang 27 Juli. Raffles menemukan jalur-jalur yang mana dilalui masyarakat yang hendak ke Negeri Minangkabau, ada 3 rute. Pertama, Negeri Kasiak yang biasa-biasa saja. Kedua, Negeri Saniangbaka yang paling bagus dari jalur yang lain, yang dianggap seperti jalan Sri Menenti di Pulau Jawa (semacam jalan ke istana). Ketiga, Negeri Paninggahan merupakan jalur terpanjang dan lebar yang melalui sungai-sungai tapi bagus jika membawa tunggangan atau ternak.

Perjalanan melalui jalur Paninggahan dilalui Raffles serta rombongan sungai-sungai yang kebetulan deras dan bertanjakan pada saat itu cukup membuat kelelahan dan membuat rombongan terpisah di beberapa pos-pos toll. Jarak ke bibir Danau Singkarak sekitar 6 mil. Ketika itu banyak ditemukan mineral-mineral seperti Granit, Marmer, bermacam Batu Kapur.

Akhir perjalanan pulang Raffles yang selau bersama Dr. Horsfield berhasil mengumpulkan tanaman kurang lebih 41 macam di perjalanan menuju Negeri Minangkabau. Pabrik tembikar kasar di tepian Danau Singkarak terbilang banyak, dan menghasilkan keris yang dipasok ke Padang hingga Bengkulu karena bisa dibilang sebelum Raffles ke pedalaman Minangkabau, Pagaruyung yang populasinya tidak kurang dari 1 juta jiwa secara kekuasaannya luas hingga ke pulau-pulau tetangga Sumatera.

Eksplorasi Lanjutan

Sekembalinya Raffles dari pedalaman Minagkabau, Belanda yang mulai masuk lagi ke Kota Padang pada 20 Februari 1821, perlahan menerima hasil yang membuahkan pemikiran-pemikiran maju dari ekspedisi Raffles hingga menjalakan proyek besar dengan membuat jalur-jalur baru ke pedalaman ‘Padangsche Bovenlanden’ (Dataran Tinggi Padang) ini.

Jalur-jalur baru ini meliputi Tanah Datar, Solok yang merupakan kota besar pada saat itu. Belanda mendapatkan keuntungan dari pembuatan jalan baru dengan mendapatkan tanah di berbagai daerah sebagai ganti imbalannya bantuan memerangi kaum Paderi. Jalur-jalur pun terkuasai dan monopoli belanda mulai beraksi hingga penuhlah kekuasaannya di tanah Minangkabau.

Menurut Prof. Gusti Asnan dalam risetnya “Transportation on the West Coast of Sumatra in the Nineteenth Century” menjelaskan ada 5 kelompok jalur setapak semenjak abad ke 15 hingga pertengahan 19 Masehi, yang biasa digunakan orang-orang dari gunung atau perbukitan untuk mengambil garam ke pesisir barat Sumatera.

Pertama, Rute Pasaman yang dibagi 2 jalur (Air Bangis-Rao) dan (Sasak-Bonjol-Lundar). Kedua, Rute Agam satu jalur panjang mengikuti arus Batang Antokan (Tiku-Maninjau-Bukittinggi). Ketiga, Rute Padangpanjangyang menghubungi pesirsir pantai Pariaman, Ulakan, Koto Tangah, dan Padang dengan satu perjalanan pulang melalui (Kayu Tanam-Lembah Anai-Padangpanjang) hingga di Padangpanjang jalur berlanjut ke 2 arah, Bukitinggi dan Tanah Datar. Keempat, Rute Tanah datar yang dilalui Raffles dan rombongan sekembali dari Pagaruyung (Padang-Koto Tangah-Danau Singkarak-Tanah Datar). Kelima, Rute Solok dimana Raffles memulai perjalanan ke pedalaman Minangkabau (Padang-Limau Manih-Selayo-Solok).

Perjalanan ke Pantai Barat Sumatera yang dilalui memantik asumsi saya, rute di atas menandakan orang-orang pantai sebagian besar berasal dari pebukitan atau pusat Minangkabau. Setidaknya ada keterkaitan asal-asul orang pesisir pantai sebenarnya dari keturunan orang perbukitan dulunya.

Sketsa Hafizan saat merekam sudut pandang Raffles dari catatannya.

Periode di atas memberikan unsur-unsur yang menjelaskan bahwa sebelumnya Belanda awalnya hanya di Padang, dan negeri pesisir lainnya. Sistem pialang sering berlaku, melihat jalur yang masih sempit dan tak semua petani pergi membawa hasilnya. Barang dagangan pun diangkut dari pedalaman oleh tuannya akan menyewa para kuli angkut dan pesilat untuk di perjalanan.

Lambat laun jalur-jalur di atas berhasil dikuasai Belanda, memang sebenarnya rute tersebut di akhir abad 19 itu di kuasai oleh kaum paderi demi pemasokon kebutuhan logistik perang. Hingga datangnya Belanda dengan membawa kemenangan telak dan seluruh tanah Minangkabau berkibar bendera kolonial itu. Alur perdagangan menjadi lebih maju kendati jalur yang dulunya setapak berkembang menjadi jalur pedati oleh Belanda demi mudahnya menangkut hasil pertanian kopi dan akasia pedalaman Minangkabau. Ada banyak biaya yang bisa dihemat oleh Belanda, mengingat selama ini terlalu banyak menyewa kuli angkut, pengawalan, dan durasi yang tidak efektif.

Arah rute tertuju kepada daerah pesisir pantai barat. Ya, Padang menjadi muara dagang yang membuat pemerintah kolonial berlimpah akan harta atas monopoli dagangnya. Jalur pertama yang diubah dari setapak ke pedati (ditarik kerbau/gerobak) menghubungkan Padang dan Padangpanjang via Kayu Tanam-Lembah Anai pada tahun 1833, dan selasai secara keseluruhan di tahun 1841. Bersamaan periode dengan itu hampir seluruh rute setapak tadi juga beralih fungsi jalur pedati yang gunanya menuntaskan seluruh kaum Paderi, maka jalur Padangpanjang ke Bonjol sebagai pusat markas Paderi via Padang Luar, Bukittinggi yang terbagi pula jalur ke Payakumbuh dan Pangkalan untuk hasil pertanian Kopinya. Hingga tahun 1870-an seluruh kelompok jalur setapak telah beralih pedati.

Semua pembangunan jalur tranportasi tersebut dikomandoi oleh Gubernur Sumatera kala itu yang terkenal dengan sistem kerja paksanya. Ya, Johannes Graaf Van Den Bosch yang memulai proyek jalur itu. Sembari demi meraih kemenangan telak atas Paderi, kopi dan akasia penuh di setiap gudang distributor hasil pertanian pada setiap rute perdagangan yang diatur oleh NHM (Nederlansche Handels Maatschappij).

Setelah berhasil menduduki tanah Minangkabau dari berbagai aspek Gubernur Jendral Van Den Bosch mulai mendatangkan ilmuan-ilmuan untuk meneliti temuan apa saja yang bisa diambil manfaatnya demi kemajuan kolonial. Penelitian pertama dilakukan oleh Ir. C. de Groot Van Embden pada tahun 1858 yang menemukan kandungan batu bara di timur Danau Singkarak, kemudian dilanjutkan oleh Ir. Willem Hendrik de Greve pada tahun 1867 di Ulu Sungai Batang Ombilin yang bermuara di Sawahlunto.

Dalam penelitian de Greve, diketahui bahwa terdapat 200 juta ton batu bara yang terkandung di sekitar aliran Batang Ombilin. Sejak penelitian tersebut diumumkan ke Batavia pada tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mulai merencanakan pembangunan sarana dan prasarana yang dapat memudahkan eksploitasi batu bara.

Pada tahun 1889, pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jalur kereta api menuju Kota Padang sebesar 30.238.000 Gulden untuk memudahkan pengangkutan batu bara keluar dari Kota Sawahlunto. Jalur kereta api tersebut mencapai Kota Sawahlunto pada tahun 1894, sehingga sejak angkutan kereta api mulai dioperasikan, produksi batu bara di kota ini terus mengalami peningkatan hingga mencapai ratusan ribu ton per tahun. Hingga tahun 1899 rampung bersamaan dengan pembangunan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur sekarang) 3.424.000 Gulden dan pabrik pertambangan batu bara di Sawahlunto juga selesai 1.372.000 Gulden. Tiga proyek pembangunan di atas menghabiskan anggaran 35.034.000 Gulden dengan Ir. M. J. Ijzerman sebagai pimpinan proyek.

Stasiun Padangpanjang pasca-gempa 1926.

Pembangunan rel kereta api pertama bermula dari Sawahlunto ke Solok sampai Padangpanjang melewati Danau Singkarak. Ketika di Padangpanjang melewati lembah Anai dan Kayu Tanam yang sejajar dengan jalur pedati yang dibangun oleh Van Den Bosch seterusnya ke Pariaman dan pemberhentiannya di Padang.

Pembangungan rel kereta api berlanjut di hampir setiap jalur-jalur pedati yang dulunya setapak itu. Jalur kereta api juga dibangun di Muaro Kalaban-Sawalunto pada tahun 1894, kemudian dibangun juga jalur Bukuttinggi-Payakumbuh tahun 1896. Jalur Lubuk Alung-Pariaman selesai di tahun 1908, jalur Pariaman-Naras selesai di awal tahun 1911. Muaro Kalaban pun berlanjut ke Muaro Sijunjung yang diselesaikan pada tahun 1924.

Melihat dari daerah yang dilalui sebagian adalah perbukitan, maka kereta api yang melalui jalur ini mengunakan lokomotif dengan rel yang bergerigi. Kontruksi rel dibangun untuk menguatkan cengkraman rel saat jalan menanjak. Gigi rel dipasang pada bagian tengahnya. Hingga kini hanya tinggal 2 jalur kereta api yang mengunakan jalur bergerigi di Indonesia. Salah satunya pulau Jawa, pada jalur rel Ambarawa-Bedono yang merupakan bagian dari jalur kereta api Kedungjati ke Yogyakarta, dan Sumatera Barat yaitu Kandang Ampat-Padangpanjang dengan tanjakan 12,7 km dari 15,4 km. Selanjutnnya dari Padangpanjang – Batu Taba mendaki tanjakan 7,6 km dari 18,7 km. Sedangkan dari Padangpanjang – Payakumbuh melalui Bukitinggi 12,9 km dari 52,7 km.

Setelah rel-rel dan stasiun kereta api memberikan dampak terhadap lahirnya pemukiman baru di sekitarnya, hingga kini bisa kita jumpai seperti di tepian Danau Singkarak contohnya. Terhitung 230 Kilometer merupakan panjang rel kereta api di tanah Minangkabau ini.

Solok, Agustus 2019

Ilham Arrusulian, biasa disapa Caam, lahir di Bukittinggi, 1999, kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Iman Bonjol, Padang dengan studi hukum keluarga. Saat ini ia juga aktif di Suara Kampus, sebuah media yang dikelola oleh UKM Lembaga Pers Mahasiswa kampusnya. Selain itu ia juga anggota Surau Tuo AMR, sebuah paguyuban alumni Madrasa Tarbiyah Islamiyan Canduang. Partisipan program Daur Subur di Parak Kopi, bersama Gubuak Kopi dan Surau Tuo AMR (2019). Beberapa tulisan Caam juga bisa kita temukan di media-media cetak lokal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.