Tag Archives: Komunitas

Gerak Ganda

Mengkaji Fenomena Keislaman dan Budaya di Surau Tuo AMR

Rabu, 22 Mei 2019, pada hari ketiga ini masih dalam agenda yang sama saya bersama kawan –kawan Surau Tuo dan  Komunitas Gubuak Kopi melakukan aktivitas seperti dua hari sebelumnya, bercerita dan diskusi. Dan pada hari ini cuaca lagi tidak bersahabat, hujan dan petir begitu awet sampai waktu berbuka tiba. Rencana yang sebelumnya, sore ini kami akan berjalan-jalan mengelilingi kampung Parak Kopi, tempat Surau Tuo berdiam sejak 18 hari lalu. Jalan-jalan ini selain mengenali lingkungan sekitar, juga ingin mengambil beberapa dokomentasi tentang Parak Kopi. Tapi karena cuaca, agenda ini tidak terlaksana seperti yang kami harapkan.

Continue reading

Becermin pada Karim Dikisahkan

Selasa, 21 Mei 2019, hari kedua rangakaian silaturahmi antara Komunitas Gubuak Kopi dengan Surau Tuo Asosiasi Mahasiswa Ar-rasuli (AMR). Kegiatan diawali dengan berbuka bersama dilanjutkan pemaparan materi tentang cara kerja komunitas oleh pendiri Gubuak Kopi Albert Rahman Putra serta diakhiri nanti dengan pemuatan film The Song of Sparrows (Majid Majidi, 2008).

Continue reading

Menuju AMR

Senin, 20 Mei 2019 saya dan teman saya Biahlil Badri atau yang biasa saya panggil Adri, memulai perjalanan dari Gantuang Ciri sekitar pukul 14.30 WIB menuju bypass – tempat bus jurusan Solok – Padang ngetem. Kami diantar oleh ayah saya, bonceng tiga naik motor bebek. Kebutulan badan kami kecil – kecil, jadi cukup muat. Di perjalanan menuju bypass kami sempat diguyur hujan. Di kenagarian Salayo, tepatnya di daerah yang bernama Kubua Harimau, hujan yang sangat deras mengakibatkan kami menghentikan sejenak perjalanan dan berteduh di sebuah warung, atau dalam bahasa Solok disebut lapau.

Continue reading

Bertemu Inyiak Surau

Sore (20 Mei 2019) sekitar jam tiga, dari rumah saya dan Biki berangkat menuju Surau Tuo AMR. Sebuah perkumpulan alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang yang berbasis di Kota Padang. Tapi tempat ini biasanya kami sebut ‘Surau Tuo’ saja. Kami berangkat menggunakan angkutan umum, dan disusul oleh dua anggota Gubuak Kopi lainnya, yakni Albert dan Volta menggunakan sepeda motor. Mereka sempat terhenti separuh jalan karena hujan yang belum juga berhenti.

Continue reading

Ruang Alternatif Sinema

Teks ini merupakan tulisan pengantar dalam simposium yang bertajuk Ruang Apresiasi Alternatif dan Penontonnnya dalam rangkaian Andalas Film Exhibition – Denyut Baru yang digagas oleh Relair.

Untuk memberikan pandangan terkait ruang apresiasi alternatif, saya akan menjabarkannya melalui apa yang saya dan kawan-kawan di Komunitas Gubuak Kopi lakukan di bidang itu. Sejak tahun 2015, Komunitas Gubuak Kopi mengusung sebuah program studi kebudayaan melalui film dan studi film itu sendiri, yakni: Sinema Pojok.   Continue reading

Literasi Komunitas Filem

Perkembangan aktivisme dan aktivitas seputar sinema di daerah-daerah tidak lepas dari peran komunitas yang ada di dalam dan sekitarnya. Adalah tugas komunitas untuk membaca dan memahami persoalan yang ada di sekitar mereka: menemukan referensi sinema yang berkualitas, dan menggiring diskusi yang produktif di antara masyarakat, baik itu dalam melihat persoalan sosial politik, ekonomi, dan sebagainya. Entah itu akan bermuara pada produksi-distribusi atau dalam bentuk aksi-aksi publik lainnya. Sebelum itu, tentu setiap pelaku komunitas harus memiliki bekal pengetahuan sinema itu terlebih dahulu. Hingga saat ini, umumnya produksi dan distribusi pengetahauan sinema, secara dominan, masih terpusat di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Jogja. Tapi kita tidak boleh lupa, ia nyatanya juga dapat tumbuh dan hidup di kawasan yang sangat kecil, contohnya adalah kawan-kawan di Purbalingga yang telah melakukanya dengan sangat baik (Festival Film Purbalingga). Di tangan pegiat filem Purbalingga, aktivitas dan aktivisme sinema tumbuh menyatu dalam kehidupan masyarakatnya. Continue reading

Peran Komunitas dalam Pengembangan Pengetahuan Sinema

Perkembangan sinema sampai sekarang tak luput dari pihak-pihak yang berkontribusi untuk mengembangkan pengetahuannya, salah satu pihak yang memegang peran penting dalam hal ini adalah komunitas. Meskipun bukan organisasi resmi, komunitas kerap dijadikan wadah untuk melakukan aktivitas di bidang perfileman sebagai sarana apresiasi, eksibisi, forum diskusi, dan lain-lain. Dalam realitanya, program yang dijalankan oleh komunitas sering kali memiliki tantangan tersendiri baik dalam konteks eksternal maupun internalnya.
Bertempat di GoetheHaus, Jakarta, pada tanggal 20 Agustus 2016 ARKIPEL social/kapital – 4th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival menggelar program Forum Festival, Panel ke-5 yang bertajuk “Komunitas dan Pengembangan Pengetahuan Sinema”. Pada bagian terakhir dari forum festival ini hadir deretan panelis penggiat filem dalam komunitasnya, yaitu Albert Rahmat Putra, Dimas Jayasrana, Fauzi Rahmadani, dan Yuli Lestari, dan dimoderatori oleh Hafiz Rancajale, salah satu pendiri Forum Lenteng dan ruangrupa.

Dimas yang pernah mendirikan filmalternatif.org dan menjadi programer di IFI Jakarta, dan kini adalah pegiat Festival Film Purbalingga menyebutkan kegiatan utama komunitas adalah berdiskusi dan berdialog untuk menyebarkan pengetahuan mengenai sinema. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat masyarakat Indonesia masih minim exsposure kepada sinema karena terbatasnya jangkauan kepada media tersebut. Sebagai alternatifnya, perlu diadakan festival filem, lokakarya, dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat menyebarkan pengetahuan mengenai sinema, seperti sejarah dan wacana estetika. Dimas juga merasa terbantu oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sehingga arus pertukaran informasi terkait filem menjadi cepat dan mudah.

Kemudian, Fauzi yang pernah menjabat menjadi Direktur Program Layar Kamisan Jember, Koordinator JAFF Community Forum, serta Ketua Divisi Litbang UKM Dewan Kesenian Kampus, menceritakan keadaan komunitas produksi filem di Jember yang menjamur, namun masih sulit ditemui komunitas yang menyediakan ruang putar filem bagi masyarakat. Sedangkan di Banyuwangi, pemutaran filem dijadikan sebuah sarana untuk diskusi suatu isu yang sensitif bagi kalangan tertentu. Tak jarang, kegiatan ini ditekan oleh pihak-pihak yang merasa terancam. Fauzi  berpendapat bahwa perlu adanya diskusi terarah dan struktur untuk membahas suatu isu tersebut.

Albert, yang merupakan pendiri dan penggiat komunitas Gubuak Kopi dan aktif berkegiatan di Solok, Sumatera Barat, menyebutkan bahwa tugas utama komunitas adalah memahami persoalan yang ada dan menemukan referensi sinema yang cocok untuk dijadikan umpan dalam diskusi. Komunitas harus pintar dalam menggiring perhatian publik untuk sadar akan kebudayaan sinema, tak terkecuali di daerah. Pengalaman Albert sendiri adalah membuat layar tancap di daerah-daerah dan melakukan diskusi ringan pasca menonton untuk menyalurkan pengetahuan sinema kepada masyarakat setempat. Namun, hal ini bukanlah mudah karena sebagian penonton akan enggan untuk berdiskusi. Adalah tugas besar dari komunitas sinema untuk menyadarkan bahwa filem bukanlah sekadar hiburan, tetapi juga sebagai teks yang perlu diuraikan.

Di Malang, realita kegiatan produksi filem kebanyakan dilakukan oleh pelajar untuk melengkapi tugas sekolah. Oleh karena itu, Yuli beserta komunitasnaya, Kine Klub UMM, membuat acara yang bertujuan untuk menanamkan kecintaan dan apresiasi terhadap filem, salah satunya eksibisi filem. Namun, kegiatan-kegiatan seperti ini ditanggapi kurang baik oleh pihak eksternal. Sekolah-sekolah, misalnya, menentang siswanya untuk mengikuti karena dirasa tidak akan memberikan manfaat baik kepada siswa maupun sekolah. Padahal, dengan mengadakan screening dan apresiasi, ada umpan balik yang diberikan oleh penonton yang bisa membantu membangun karya di masa depan.

Forum Festival ARKIPEL social/kapital, Panel 5 kala itu, dikunjungi oleh 50 peserta yang mempunyai antusiasme dan keingintahuan tinggi. Itu ditandai dengan total 8 pertanyaan yang diajukan. Topik modal materiil untuk keberlangsungan komunitas disinggung dalam pertanyaan, dan kemudian ditanggapi oleh penanya selanjutnya dengan menanyakan bagaimana menjaga keberlangsungan komunitas itu sendiri. Dimas memberikan strategi seperti donasi, sinema berbayar, program sekolah sinema jangka pendek bertarif. Yuli menambahkan bahwa perlu mendekati birokrat dan menyisihkan uang pribadi. Sementara itu, untuk masalah keberlansungan, Albert menyatakan perlu bagi komunitas untuk melakukan penelitian dan evaluasi, dan Dimas lebih menekankan kepada inisiatif dan intensitas kegiatan yang dijalankan. Moderator kemudian menambahkan bahwa modal materiil bisa dilakukan dengan metode alternatif. Bagian terpentingnya adalah bagaimana membangun kepercayaan di tingkat lokal dan masyarkat.

Masalah regenerasi juga disinggung dalam pertanyaan, karena regenerasi juga menjadi faktor utama untuk keberlanjutan komunitas itu sendiri. Fauzi menyebutkan bahwa belum ada jawaban yang tepat untuk mengatasi masalah regenerasi. Poin menarik dari Dimas adalah komunitas mempunyai hak untuk mempertahankan status quo karena komunitas bukanlah badan resmi. Semua hal diserahkan kepada kesadaran dari komunitas itu sendiri. Forum ini kemudian ditutup dengan kesimpulan dari Hafiz bahwa yang menentukan identitas komunitas adalah kepublikannya, yang bisa dihitung secara kuantitatif dengan jumlah orang yang berpartisipasi dalam kegiatan yang ada, ataupun kualitatif dari isu-isu yang ditawarkan dan dianggap penting. Banyak cara alternatif untuk menjaga komunitas sekaligus menyebarluaskan pengetahuan mengenai sinema, seperti lokakarya, dan proyek bersama dengan pihak-pihak eksternal. Saat Forum Festival Panel 5 ini ditutup oleh moderator, tampak beberapa peserta masih ingin bertanya dan berdiskusi, namun urung karena waktu yang telah usai.

 


Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di arkipel.org dengan judul Festival Panel 5 oleh Nadia AdilinaNadia Adilina(lahir di Jakarta, 18 Maret 1996), mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi. Menaruh perhatian pada bidang seni visual

Silaturahmi Musisi Solok

Sabtu, 21 Mei 2016 lalu, di Galeri Gubuakkopi berlangsung forum silaturami musisi Solok. Forum ini bertajuk “Music Jamming”. Kegiatan ini awalnya diinisiasi oleh QD, salah seorang pegiat musik di Solok. Kegiatan yang canangkan QD direspon positif oleh Albert Rahman Putra, ketua Komunitas Gubuak Kopi. Dalam hal ini, Albert melihat memang selama ini aktivitas bermusik di Solok sudah mulai menurun. Pada forum yang disebut sebagai pertemuan awal ini, kita mencoba menampilkan konsep penampilan musik sederhana, sekaligus menjaring persoalan yang ada di kalangan pegiat musik di Solok. Continue reading