Menuju AMR

Senin, 20 Mei 2019 saya dan teman saya Biahlil Badri atau yang biasa saya panggil Adri, memulai perjalanan dari Gantuang Ciri sekitar pukul 14.30 WIB menuju bypass – tempat bus jurusan Solok – Padang ngetem. Kami diantar oleh ayah saya, bonceng tiga naik motor bebek. Kebutulan badan kami kecil – kecil, jadi cukup muat. Di perjalanan menuju bypass kami sempat diguyur hujan. Di kenagarian Salayo, tepatnya di daerah yang bernama Kubua Harimau, hujan yang sangat deras mengakibatkan kami menghentikan sejenak perjalanan dan berteduh di sebuah warung, atau dalam bahasa Solok disebut lapau.

Di lapau tersebut, kami bertemu dengan penjaganya dan seorang wanita yang telah selesai belanja untuk persipan berbuka puasa, ia pun bersiap untuk pulang. Tapi, karena hujan deras beliau pun terpaksa menunda kepulangan. Dalam keadaan berteduh berbagai dialog hadir, yang jelas tentang politik. Hal yang menarik adalah ketika pelanggan tersebut bercerita tentang anak orang nomor satu Kabupaten Solok mendapat berlimpah-limpah “suara” pada Pileg bulan lalu. Sembari asik bercerita dan hujan pun tak kunjung reda, saya melihat sebuah pemandangan menarik. Di sebuah jalan yang kami lalui tadi, aspal jalanan berubah fungsi menjadi sebuah kali dadakan, dan membawa material seperti kerikil yang tidak kami tahu dari mana asalnya. Sampai hujan reda, sungai dadakan tersebut mulai surut, dan menyisakan kerikil-kerikil yang berserakan di aspal. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju bypass.

Sesampai di Bypass jam tangan saya sudah menunjukan pukul 17.00. Kami langsung naik bus Jasa Malindo. Salah satu tranportasi umum Solok – Padang, dan supir bus pun mulai menginjak gas tanda perjalanan dimulai. Di tengah perjalanan yang kami di sambut dengan cahaya senja, jalan yang curam, dan meliuk-liuk. Sitinjau Lauik begitulah orang-orang menyebut daerah ini. Jasa Malindo masuk kota padang pas dengan serine tanda berbuka puasa berbunyi, untuk daerah Kota Padang dan sekitarnya. Saya langsung menghubungi saudara Albert, Seorang pendiri Komunitas Gubuak Kopi. Ia mengajak saya untuk bergabung  pada kegiatan diskusi di sebuah komunitas yang bernama Surau Tuo AMR.

Ia ternyata lupa dimana tepatnya lokasi komunitas tersebut. Dan kami membuat kesepakatan bertemu di PO. Jaso Malindo, untuk sama – sama menunggu jemputan dari kawan-kawan Komunitas Surau Tuo.

Suasana diskusi di Surau Tuo AMR. (Foto: Dayu Azmi)

Bus berhenti kami pun turun. Tampak Albert dan Volta di pinggir jalan sudah senyum-senyum dengan sebatang rokok di jari mereka. Kami pun menghampiri mereka,  Volta yang memakai celana berwarna cream. Bagian bawah celananya terlihat agak gelab seperti lembab, alias belum kering. Sepertinya mereka kehujanan di jalan.

kawan wak buek kolam lele” (Kawan, saya bikin kolam lele), kata Volta sambil menunjuk sepatu yang masih basah, oleh siraman gerimis dari Solok ­­hingga Padang. Kemudian saya membeli sebotol teh untuk membatalkan puasa sembari menunggu jemputan dari kawan-kawan Surau Tuo AMR.

Duo motor pun datang menghampiri kami. Mereka pun langsung menyapa Albert. Ternyata mereka lah teman-teman dari Surau Tuo, yakni Ilham yang akrab di panggil  Caam, dan Fandi –belakangan saya tahu teman-temannya memanggil ia dengan sebutan Jambi, karena ia berasal dari Jambi, tepat Bangko.

***

Kiri ke kanan: Biki, Adri, dan Volta

Setibanya di basecamp komunitas Surau Tuo AMR. Beralamat di Jalan Rawang 2, Kelurahan Alai Parak Kopi, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Ternyata bangunan yang mereka tempati adalah sebuah rumah kayu klasik. Di luar perkiraan saya sebelumnya, dimana basecamp mereka ini adalah sebuah surau (tempat ibadah) yang sudah tua, seperti yang ada di film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Sunil Soraya (2013).

Di sana kami disambut dengan hidangan makan malam ala anak kos yang sudah disiapkan oleh Caam dan kawan-kawan sebelumnya. Sehabis makan dan beristirahat sejenak, kami saling berkenalan dengan anggota Komunitas Surau Tuo AMR. Ada Kitiang, Holil,  Riga, dan Fajri. Mereka semua adalah tamatan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang, sedangkan Surau Tuo AMR  adalah nama perkumpulan alumni Madrasah Tarbiah Islamiah yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. AMR adalah Asosiasi Mahasiswa Arrsuli. Dan untuk di Kota Padang, Surau Tuo AMR diwakili oleh Caam dan kawan-kawan.

Sambil ngobrol santai kami mempersiapkan peralatan untuk  diskusi. Sesuai dengan agenda yang telah disusun oleh teman-teman Surau Tuo AMR, malam ini adalah perkenalan, diskusi seputar komunitas, dan menjelaskan program – program yang pernah dilakukan oleh Komunitas Gubuak Kopi merespon persoalan di Solok secara khsusus, dan Sumatera Barat secara umum. Sebagai perbandingan program yang akan disusun oleh kawan-kawan Surau Tuo AMR, dan rencana kolaborasi antara Komunitas Gubuak Kopi dan Surau Tuo. Diskusi ini dimoderatori oleh Caam, dan materi dipresentasikan oleh ketua umum Komunitas Gubuak Kopi, yakni Albert.

Diskusi dimulai pukul 20.00 WIB, diskusi berlansung hangat sampai pukul 22.00 WIB. Adapun kesimpulan yang saya tangkap dari diskusi ini adalah “apapun program nya apapun kegiatannya yang dituntut adalah konsistensi dari program tersebut”. 

Biki Wabihamdika (Tanggerang, 1996). Biasa disapa Biki menetap di Gantuang Ciri, Solok. Ia adalah lulusan ISI Padangpanjang dengan studi Seni Karawitan. Selain proyek-proyek musik, ia juga sibuk berkegiatan bersama Gubuak Kopi. Sebelumnya, Biki juga aktif di beberapa kelompok musik seperti Ethnic Percussion Padangpanjang, Bangkang Baraka, dan Autotune Production. Selain itu ia juga pernah terlibat di ruang diskusi dwi-mingguan Otarabumalam. Ia juga merupakan kolaborator proyek seni Kurun Niaga (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.