Grafik Kesepakatan

Transkrip Live Talk LLD #3 – Bersama Theo Nugraha

Jumat, 11 September 2020 lalu, Veronica Putri Kirana berbincang-bincang dengan Theo Nugraha seputar proses berkaryanya dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3. Sebuah proyek seni berbasis media yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam studi mengenai nilai-nilai tradisi di Sumatera Barat. Proyek ini melibatkan seniman muda dari dalam atau luar Sumatera Barat, untuk menemukan pandangan kritis dari generasi kini mengenai isu-isu tradisi dan modernitas yang terus berkembang. Artikel ini merupakan transkrip perbincangan Vero dan Theo di fitur siaran langsung instagram, teman-teman juga bisa menonton ulang obrolan di instagram @gubuakkopi. Beberapa kalimat diselaraskan sesuai kebutuhan bahasa teks, tanpa mengurangi esensi dari isi perbincangan.

Vero      : Bagaimana awalnya bisa terlibat kolaborasi di Lapuak-Lapuak Dikajangi #3? Bisa diceritakan sedikit ngga Theo?

Theo      : Jadi begini, awalnya aku ditelepon Albert Rahman Putra (kurator LLD #3), sekitar dua minggu yang lalu, sebelum kuratorialnya dituliskan dan residensinya dimulai. Awalnya Albert juga baru mengajak sih buat terlibat Lapuak-lapuak Dikajangi yang ketiga. Dijelaskan juga, nanti residensinya bakalan online. Kita bakal ngomongin “silaturahmi”, dan berbagai kemungkinan eksplorasi berkarya dalam virtual. Terus katanya,Theo kalau mau terlibat kita akan coba lebih intens ngobrolnya, mau bikin apa, terus bertukar pikiran, ide, dan konsepnya bagaimana dan bakalan online. Begitu kata Albert. Kebetulan aku memang mau, dan waktuku juga memumpuni.

Karena sebelumnya aku juga pernah lihat Aural Archipelago (Palmer Keen) yang di LLD 2 dan temanku Asti (Prashasti Wilujeng Putri) juga pernah ke sana (di LLD 2) terus juga ada Ragil (Ragil Dwi Putra). Jadi sebelumnya aku juga mengikuti perkembangan LLD.

Vero      : Kenapa menggambil judul karya “Mandanga Ota Urang”?

Theo      : Sebenarnya kita mau membuat “peta” atau mengalami bebunyian. Sebelum menjelaskan itu, aku jelaskan dulu konsepnya. Awalnya kita pengen bikin pemetaan bunyi. Cuma ngobrol sama Albert, aku butuh sembilan sampai sepuluh teman-teman dari Solok untuk terlibat di proses karya ini. Soalnya aku pengen eksplorasi tentang kerja voice note di social media. Menariknya di voice note atau pesan suara yang kita rekam di media sosial itu, sebagai chat, ia menjadi grafik (setelah kita kirim via DM instagram). Grafik-grafik itu kita sepakati untuk mengumpulkannya menjadi pemetaan visual. Dari bebunyian yang terekam di grafik itu. Jadi kesannya itu kayak … jadi gini, aku pernah lihat “story instagram” teman, dia bilang “gibah malam ini”, terus isinya cuma grafik dong. “Wah apaan, sih” … jadi pengen tahu, tapi, ya, apa, ngga tahu. Tapi kita tahu dia lagi ngobrolin sesuatu. Dia kayak ngasih tahu ruang privatnya dia, tapi masih tetap privat.

Jadi aku sama teman-teman sepakat untuk bermain dari eksplorasi kerja voice note. Dimana dia bisa merekam secara audio, dan merekam secara grafik. sehabis itu kita kumpulin, kita petakan, kita lihat kelanjutannya akan seperti apa.

Akhirnya, besok, kan kita ada presentasi karya juga, kebetulan itu kan kroyokan performnya dalam sebuah grup DM instagram, jadi kenapa judulnya seperti yang kamu (Vero) bilang tadi, karena memang kita seperti lagi mendengar obrolan orang. Tapi ngga tahu, apaan sih itu, cuma grafik doang. Dan itu fleksibel bangetkan, bisa didengar kapan aja, bisa kamu download juga.

Vero      : Kenapa memilih media sosial Instagram, kenapa tidak media yang lainnya seperti, whatsapp, line, twitter, dan sebagainya?

Theo      : Sebenarnya aku selalu punya metode berkarya: ketika aku memetakan bunyi, aku menyimbolkannya menjadi grafic score (notasi grafis) atau peta bunyi yang punya simbol dari kesepakatan. Cuma aku pikir kalau di-voice note, aku ngga perlu simbol lagi, karena di situ sudah ada grafiknya. Kita bermain kesepakatan di grafik tersebut. Kebetulan dari semua media sosial yang aku ikuti, hanya Instagram yang mempunyai grafik tersebut. Kalau Whatsapp cuma ada tombol “play” doang, ngga bisa di-capture secara grafik.

Vero      : Sejauh ini bagaimana dengan proses karyanya, apakah sudah selesai atau masih dalam proses?

Theo      : Dari obrolan sama Albert, sama Zaekal, dan kamu juga sih, sama anak-anak Gubuak Kopi lainnya, dan partisipan yang kolaborasi sama saya, sudah sampai 95%. Outputnya lumayan banyak, ada yang jadi video, terus bisa diulang-ulang audionya, terus data-datanya juga diarsipkan di bandcamp. Ada pengantar teks tentang karyanya juga. Besok sih kesepakannya publish di satu halaman websitenya Gubuak Kopi (gubuakkopi.id/theonugraha). Jadi kaya launching digital.

Vero      : Karena berhubung Corona atau kenapa?

Theo      : Ya, ngga juga sih, karena ada kesepakatan untuk merilis di situ. Buat aku itu membuatnya jadi lebih terjangkau (di masa) sekarang. Walapun ngga harus begitu kan rilisan karya sekarang, cuman aku pikir kayaknya tepat aja. Dalam satu halaman website, terus kamu bisa meletakkan semua proses karya kamu, semua output dari hasil residensi ini. Aku pikir begitu. 

(Audience)         : Bagaimana rasanya atau pengalamannya residensi online ini atau di rumah sendiri?

Theo      : Sebenarnya pengalamannya jadi lebih ngga kemana-mana sih, hehee. Kemana-mananya itu lebih ke media sosial dan komunikasi di internet. Misalnya, kalau (pertemuan) secara fisik orangnya ngga ada kan ya sudah. “Oh orangnya ngga ada, nanti diberi tahu lagi, atau nanti ikut (pertemuan) malam”, kalau kita tidak sempat datang. Cuma kalau sekarang, kan kamu sudah disodori linknya (meeting room), terus kamu ditelpon-telpon, ya, emang ngga bisa mengelak. Rumahmu di whastap kamu dan di media sosial kamu. Jadi lebih siaga saja.

Harusnya lebih mudah, karena kebutuhan (medianya kita sudah) ada semua, tinggal punya kesepakatan dan fleksibelitas waktu bersama teman-teman yang lain. Jadi kita harus mengerti itu juga, karena belum tentu waktu yang kita tentukan itu teman-teman lain juga bisa, mereka juga punya kesibukan.

Vero      : Kan kamu dari Samarinda, jadi sekarang lagi stay dimana?

Theo      : Rahasia dong Hahaha stay di online, di dunia maya.

Vero      : Untuk Theo sendiri, ada kepikiran ngga pengen launching secara live? Karena kalau di LLD #3 ini kan launching melalui website. LLD Sebelumnya-sebelumnya kan live. Apa ada keinginan launching di Gubuak Kopi, di Solok?

Theo      : Yaa.. mau banget lah. Tapi, ya lihat waktu dulu dan kondisi. Kalau memang memungkinkan kenapa ngga. Untuk bisa pergi ke sana dan mampir ke sana. Apalagi saat sekarang lagi masa corona dan pandemi jadi ngga bisa ke mana-mana juga, ya kan. Kalau bisa live kenapa engga. Sebenarnya kalau mau launching live di Gubuak Kopi, malah lebih kepikiran memilih belajar dulu di Gubuak Kopi-nya, bersama teman-teman di sana. Nanti kan nyusul apakah ini menjadi live atau bagaimana.

Malah ingin belajar dulu saja, tentang kerja kalian di sana, apa yang bisa aku gali, dan mempelajarinya.

(Audience)         : Ceritain dong karya-karya Theo sebelumnya dan bedanya dengan karya yang sekarang?

Theo      : Bedanya, sebelumnya, metode ini pernah aku pakai di Forum Lenteng (Jakarta) pada tahun 2018 (Proyek: Sinyal Selatan). Di Sinyal Selatan memang sudah muncul metode-metode grafic score dari aku, memetakan bunyi. Cuma kalau di Sinyal Selatan lebih mengalami bunyi yang terabaikan, dan bunyi bisa berubah kapan saja dalam satu ruang. Jadi pengarsipan soundscape-nya fokus pada soundscape (lokasi) di sana. Dan soundscape itu seperti apa, sehingga akhirnya aku berani bilang itu sinyal. Dia adalah transmisi audio atau gelombang. Terus aku sama teman-teman Milisifilem pernah bikin Esion(2019). Dalam Esion, sebenarnya sama, ada pemetaan bunyi dan ada grafic score-nya juga. Cuma, waktu itu yang kita kritisi adalah noise itu sendiri. Apakah noise itu harus berisik? .., terus kitanya tidak terganggu, terus noise-nya dimana? Kita coba eksplorasi tentang kata kerja “noise”, kata itu dibalik menjadi “esion”.

Terakhir, di Komunitas Pasirputih (Lombok Utara) membuat pemetaan bersama juga. Di situ pemetaannya bukan dari audio yang ada, tapi dari obrolan-orbrolan teman-teman di sana, cerita-cerita dan dongeng di sana malah jadi peta soundscape aku. Jadi, bedanya sekarang sama teman-teman di sini, kita melihat bagaimana dampak distorsi dan dampak gangguan di rekaman audio media sosial ini, terutama di DM Instagram itu. Bagaimana dia menjadi distorsi dalam sinyal dan grafiknya. Dan bagaimana dia membangun kesepakatan baru dalam grafik. Seperti yang aku kasih contoh tadi. DM itu kan privat, ya. Terus di-capture. Tapi dia tetap privat karena kita tidak tahu, grafik itu isi bunyinya apa?

(Audience)         : Untuk karya yang sekarang, kan Theo melibatkan teman-teman (anak muda Solok yang difasilitasi Gubuak Kopi) untuk merekam audio. Bagaimana menurut Theo apakah sudah mencapai apa yang diharapkan untuk proses karya tersebut?

Theo      : Sesuai aja sih, karena rekaman itu sudah disepakati jadi satu menit. Bagaimana rekaman ini bisa menangkap audio…  yang dalam artian komposisi ajaib, lah. Ada tangkapan-tangkapan audio dan komposisi yang cukup ajaib di sekitar kita dan terekam, dan yang aku terima dari para partisipan Solok, kan satu orang rata-rata kirim tiga audio ke aku. Buat aku sih lucu-lucu dan bunyinya cukup menarik. Jadi aku mengkomposnya dari situ.

Ada percakapan, ada aktivitas, ada bahasa daerah yang bisa diidentifikasi bahwa itu bunyi bahasa itu dari daerah mana. Karena ada percakapan yang menggunakan kosa-kata bahasa daerah sana, kan?. Dari aktivitas-aktivitas tersebut kita juga bisa membaca di daerah itu kenapa terlalu dominan aktivitas ini dilakukan di siang hari, malam hari, dan seterusnya. Bisa membaca juga bagaimana lokasi mereka tinggal, di sekitar apa sih sebenarnya? Teridentifikasi dari bebunyian yang mereka rekam.

Tapi ngga sekaku itu juga ya. Ada yang ngirim ke aku suara Mobile Legends doang, ada suara kocok milkshake, engkol vespa…  lucu aja. Teman-teman tidak menjadi kaku, malah bermain-main bagaimana mereka fokus menyadari bunyi di sekitar mereka. Dan mereka.. “oh, oke, aku mau merekam yang ini!”

Dari sekian banyak bunyi yang bisa mereka rekam, kenapa harus engkol vespa. Mereka pasti punya alasan sendiri, mungkin itu yang menarik dari telinga para partisipan ini.

Audience (Ufik)               : Apa temuan yang menarik secara subjektif dari proyek ini?

Theo      : Ada ya.. mungkin dia (Ufik) karena tidak ikut obrolan kita dari awal. Haha.. macam-macam sih, bahwa simbol itu kesepakatan, kita bisa membangun kesepakatan dari yang sehari-hari, dari media sosial kita. Terus, temuannya, kita jadinya bisa menemukan konstruksi baru, dari rekomposisi bunyi katakanlah, karakteristik genre sondscape ini ya. Sebenarnya yang menariknya adalah dari obrolan, kosa-kata teman-teman di sana. Karena memakai bahasa daerah itu, buat aku jadi lebih menarik ya. Bagaimana kita mengidentifikasi bunyi. Nada, terus penekanan ucapanya berbeda-beda ya, maksudku aku jadi punya ide untuk mengeskplorasi ini lebih jauh lagi sih, di luar output residensi ini. Harapannya ini bisa berkepanjangan ya, ngga stop di sini.

(Audience)         : Bagaimana menurut Theo karya-karya yang muncul di Normal Baru?

Theo      : Waduhh.. gilaa pertanyaanya.. ya, kemaren juga sempat ditanya juga sih sama salah satu media, tentang ini. Kalau buat aku sih, bukan sebagai alternatif berkarya aja ya. Maksudnya, baik aku dan teman-teman yang lain memang harus explore lebih jauh, apa itu dunia digital dan apa itu virtual. Bagaimana kita sekarang menjadi representasi di dunia virtual ini. Bagaimana koding-koding (coding) itu bekerja, bagaimana tranformasi sumber dari aku yang akhirnya masuk ke dalam saluran-saluran dan sinyal dunia maya ini. Dan dia bekerja, menjadi sistem, maksudku mengeksplorasi lebih jauh, agar bisa menemukan temua-temuan baru. Jadi, aku ngga terlalu bisa bilang karya-karya new normal sekarang bagaimana. Cuma ini ngga berhenti sebagai alternatif berkarya saja. Misalnya, kita ngga bisa konser sekarang, tidak bisa membuat pameran secara fisik. Karena di berbagai daerah ada yang masih ngga bisa. Bukan berarti itu cuma dipindahkan doang, tapi jug harus dicari tahu, dipelajari dulu kerjanya bagaimana, kesedaran mediumnya yang berbeda juga bagaimana.

Aduience            : Ada minat pindah aliran musik, kah?

Theo                      : Teman aku itu, teman kuliah. Belum ada kayaknya. Salam deh, buat dia. hahaha

Audience            : Kira-kira Theo bisa menebak apa reaksi dari kawan-kawan musik murni?

Theo      : Maksudnya itu bagaimana, ya? Reaksi apa? Ambigu nih. Oh dari karya yang sekarang. Ngga tahu juga ya, ngga berani nebak. Kalau suatu hari ada diskusi dengan teman-teman yang berkarya di wilayah musik, punya genre yang berbeda atau musik yang konvensional, aku pasti kasih tahu hasil diskusinya. Mungkin mereka juga punya perspektif yang berbeda, tapi ya selama ini sih teman-teman aku yang dari genre yang berbeda, sejauh ini ngga ada masalah sih. Masih diskusi yang baik-baik aja, malah saling berbagi pengetahuan itu sih.

Theo      : Vero masih kuliah?

Vero      : Udah engga lagi sih

Theo      : Ke depan ada rencana apa?

(*gangguan koneksi)

Vero      : Hallo.. check.. check.. oh ini ada pertanyaan, nanti karyanya bisa dilihat dimana, ya? Oke teman-teman, bisa dikunjungi website www.gubuakkopi.id, kalau karya Theo bisa check di www.gubuakkopi.id/thonugraha, benar ngga Theo?

Theo      : Yap.

Vero      : Apa rencana Theo ke depannya setelah LLD #3 ini? Apakah ada project baru yang akan digarap atau bagaimana?

Theo      : Ada.. ada.. kita besok ada performans dari 69 Performance Club. Infonya bisa dilihat di Instagramnya @69performancclub, dimana kita juga terlibat event yang bernama “SIPA International 2020”. Ada lagi sih, bulan-bulan ini dan bulan depan. Cuma mungkin karena masih sketsa, jadi aku belum bisa kasih tahu.

(Audience)         : Apakah metode LLD #3 ini efektif ?

Theo      : Efektif-efektif saja ya menurut aku. Sejauh ini sama teman-teman kolaborator dan teman-teman Gubuak Kopi, itu ngga ada gangguan dalam komunikasi. Terus berkaryanya juga… tetap bisa bikin karya, walaupun residensinya secara virtual. Ngga ada masalah. Tapi kata efektif ini bisa dibaca lebih jauh sih, mungkin nanti aku bisa sampaikan.

(Audience) : Setelah memetakan bunyi di Solok, bunyi-bunyi apa yang sejauh ini paling menarik?

Theo      : Kayak pertanyaan habis konser dimana-mana, ditanyain, kota mana yang paling berkesan. Aduh, next saja deh. Hahaha…

….

Theo      : Gantian aku yang nanya, kenapa temanya “silaturahmi”?

Vero      : Ini merespon situasi normal baru ini ya, kan silaturahmi cukup susah di saat sekarang ini. Contohnya mudik tidak memungkinkan orang-orang pulang untuk silaturahmi. Aduhh susah aku jelasinnya… intinya merespon keadaan new normal sekarang sih sebenarnya. Bisa check lebih lanjut di https://gubuakkopi.id/lapuak-lapuak-dikajangi-3/

Theo      : Kamu selaku penyelenggara di Gubuak Kopi, punya temuan apa nih dalam kerja-kerja seniman dalam residensi virtual ini? Impresinya…

Vero      : Aduh belum muncul nih…  

Theo     : Ya, nanti bisa check karyanya di website Gubuak Kopi (www.gubuakkopi.id/theonugraha) publis jam delapan malam ya?

Vero      : Nah.. ini ada (kesan) dari Badri (penyelenggara / anggota Gubuak Kopi) tentang pertanyaan Theo tadi: ada beragam karya yang merespon situasi normal baru, metodenya juga bermacam-macam, juga temuan-temuan baru dan beragam sudut pandang baru dari para seniman merespon situasi normal baru, dan silaturahmi. Oke, Bray, thank you…

Oke Theo, terima kasih atas waktunya, ditunggu karyanya, sukses ke depannya.

Theo      : Terima kasih juga buat teman-teman Gubuak Kopi, sehat selalu.


Portofolio prject: Lapuak-lapuak Dikajangi #3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.