Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media yang berbasis di Kota Solok, sejak tahun 2011. Kelompok ini berfokus pada pengembangan seni sebagai metode riset. Serta menjembatani kolaborasi profesional (seniman, peneliti, dan penulis) dan warga dalam mendedah persoalan-persoalan budaya lokal di Solok secara khusus dan Sumatera Barat secara umum.
Senin, 21 September 2020 lalu, Veronica Putri Kirana berbincang-bincang dengan Robby Ocktavian seputar proses berkaryanya dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3. Sebuah proyek seni berbasis media yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam studi mengenai nilai-nilai tradisi di Sumatera Barat. Proyek ini melibatkan seniman muda dari dalam atau luar Sumatera Barat, untuk menemukan pandangan kritis dari generasi kini mengenai isu-isu tradisi dan modernitas yang terus berkembang. Artikel ini merupakan transkrip perbincangan Vero dan Robby di fitur siaran langsung instagram, teman-teman juga bisa menonton ulang obrolan di instagram @gubuakkopi. Beberapa kalimat diselaraskan sesuai kebutuhan bahasa teks, tanpa mengurangi esensi dari isi perbincangan.
Transkrip Live Talk LLD#3 – Tahufiqurrahman “Kifu”
Jumat, 18 September 2020 lalu, Veronica Putri Kirana berbincang-bincang dengan Tahufiqurrahman “Kifu” seputar proses berkaryanya dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3. Sebuah proyek seni berbasis media yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam studi mengenai nilai-nilai tradisi di Sumatera Barat. Proyek ini melibatkan seniman muda dari dalam atau luar Sumatera Barat, untuk menemukan pandangan kritis dari generasi kini mengenai isu-isu tradisi dan modernitas yang terus berkembang. Artikel ini merupakan transkrip perbincangan Vero dan Kifu di fitur siaran langsung instagram, teman-teman juga bisa menonton ulang obrolan di instagram @gubuakkopi. Beberapa kalimat diselaraskan sesuai kebutuhan bahasa teks, tanpa mengurangi esensi dari isi perbincangan.
Basuo jo babagi adalah bahasa Minangkabau yang berarti “bertemu lalu berbagi”. Project ini dikerjakan oleh Taufiqurrahman atau yang biasa disapa Kifu, dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3. Sebuah perlehatan dari studi nilai-nilai tradisi yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi melalui proyek seni berbasis media. Pada tahun ini kuratorial LLD #3 mengundang para seniman merespon fenomena “silaturahmi” baik dalam konteks tradisional maupun di situasi normal baru. Para seniman melakukan riset dan residensi singkat secara daring, diskusi terarah, kolaborasi, dan presentasi karya.
Avant Garde Dewa Gugat a.k.a AGDG atau yang biasa disapa Dewa, menjadi seniman kedua yang mempresentasikan hasil “residensi daring”nya dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3. Sebuah perayaan dari studi pelestarian nilai-nilai tradisi melalui proyek seni berbasis media, yang digagas Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2017. Tahun ini, Komunitas Gubuak Kopi mengangkat tema kuratorial “Merayakan Silaturahmi di Normal Baru”.
Transkrip Live Talk LLD #3 bersama Avant Garde Dewa Gugat
Pada Senin, 11 September 2020 lalu, Biki Wabihamdika berbincang-bincang bersama Avant Garde Dewa Gugat a.k.a AGDG atau yang biasa kita sapa Dewa, seputar proses berkarya dalam rangkaian Lapuak Lapuak Dikajangi (LLD) #3. Sebuah proyek seni berbasis media yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam studi mengenai nilai-nilai tradisi di Sumatera Barat. Proyek ini melibatkan seniman muda dari dalam atau luar Sumatera Barat, untuk menemukan pandangan kritis dari generasi kini mengenai isu-isu tradisi dan modernitas yang terus berkembang. Berikut ini adalah transkip obrolan Biki bersama Dewa di Live Instagram @gubuakkopi dan @avantgarde.dewagugat bagi teman-teman yang belum sempat menyaksikan Live Talk ini bisa disaksikan ulang di IGTV @gubuakkopi. Beberapa bagian yang diseleraskan sesuai kebutuhan bahasa teks, tanpa mengurangi esensi dari isi perbincangan.
Mandanga Ota Urang adalah bahasa Minangkabau yang berarti “mendengar obrolan orang-orang”. Karya ini merupakan proyek bunyi hasil residensi daring Theo Nugraha dan 10 kolaborator anaik muda Solok yang difasilitasi komunitas Gubuak Kopi dalam rangkaian proyek sni Lapuak-Lapuak Dikajangi #3. Sebuah studi tentang nilai-nilai tradisi melalui proyek seni media yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi, sejak tahun 2017. Proyek ini dikuratori oleh Albert Rahman Putra, dan sudah dimulai sejak 5 September 2020 lalu, dengan tema kuratorial “Merayakan Silaturahmi di Normal Baru”.
Dalam prosesnya para partisipan bermain-main dengan perangkat media sosialnya, membuat pemetaan bunyi di sekitarnya, dan berbagi melalui fitur voice note pada chat group media sosial Instagram. Dalam chat group tersebut, data audio muncul sebagai grafik-grafik. Fenomena grafik dan audio ini dikembangkan oleh Theo untuk dikomposisi ulang sebagai karya video musik baru.
Para kolaborator diberi kebebasan untuk memilih bunyi dalam kerangka kerja soundmap untuk mendata, dan mengindentifikasi soundscape sekitar mereka. Kemudian para partisipan menggunakan pendekatan field recording untuk metode perekamannya. Dalam pengoalahan bunyi, mereka mencoba kemungkinan dan temuan eksperimentasi bunyi di media sosial sehari-hari dalam mengalami bunyi di kota mereka berasal.
Hasil proyek bertajuk “Mandanga Ota Urang” ini dibagi menjadi 3 bagian dalam satu halaman website: gubuakkopi.id/theonugraha. Halaman ini disajikan sebagai presentasi publik project dan aktif pada Sabtu, 12 September 2020, pukul 20.00 WIB. Tiga bagian tersebut adalah: 1) audiovisual komposisi soundscape “Mandanga Ota Urang”; 2) Peta grafik bunyi sosial media dalam bentuk tangkapan layar instagram; 3) field recording para partisipan selama proses pengumpulan data yang dirangkum sebagai album di platform bandcamp.
screen capture halaman karya “Mandanga Ota Urang” (Theo Nugraha, 2020)screen capture halaman karya “Mandanga Ota Urang” (Theo Nugraha, 2020)
Menurut Albert, selaku Kurator Project, dalam konteks kita di Sumatera Barat, komunikasi Theo dengan 10 anak muda Solok –menularkan ide dan konsepnya, serta melihat bunyi-bunyi sebagai media komunikasi, adalah sebuah proses pertukaran pengetahuan yang menarik. Ia memicu kita untuk merekam dan lebih sensitif dengan bunyi-bunyi disekitar kita; memilih dan memutuskannya sebagai musik. Dalam konteks musik tradisi pun kita tahu bahwa musik-musik tradisi adalah representasi konteks lokalnya: perayaan dari dialeg, logat, intonasi, geografis, teknologi, tempo kota dan kebisingannya, serta bunyi-bunyi lainnya yang menggoda. Seperti generasi pendahulu merayakan dan meramu penawarannya, anak-anak muda kini pun mendapat pemikiran kritis untuk menyadari hal serupa. Instagram dan media sosial lainnya adalah teknologi yang telah menjadi sehari-hari yang perlu diajak bermain-main guna mengasah pengalaman estetis kita.
Selain Theo Nugraha dalam proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #3 terdapat 5 seniman lainnya yang juga segera mempresentasikan karyanya, antara lain: Taufiqurrahman, yang biasa disapa Kifu, designer dan seniman visual asal Palu; Siska Aprisia, penari, koregrafer, dan pegiat budaya asal Pariaman dan kini berdomisili di Yogyakarta; Avant Garde Dewa Gugat a.k.a AGDG, komposer dan sound artist asal Padangpanjang; Robby Ocktavian, pegiat budaya dan seniman performans asal Samarinda; dan Utara Irenza, penari dan aktor asal Agam.* (rel)
Jumat, 11 September 2020 lalu, Veronica Putri Kirana berbincang-bincang dengan Theo Nugraha seputar proses berkaryanya dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3. Sebuah proyek seni berbasis media yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam studi mengenai nilai-nilai tradisi di Sumatera Barat. Proyek ini melibatkan seniman muda dari dalam atau luar Sumatera Barat, untuk menemukan pandangan kritis dari generasi kini mengenai isu-isu tradisi dan modernitas yang terus berkembang. Artikel ini merupakan transkrip perbincangan Vero dan Theo di fitur siaran langsung instagram, teman-teman juga bisa menonton ulang obrolan di instagram @gubuakkopi. Beberapa kalimat diselaraskan sesuai kebutuhan bahasa teks, tanpa mengurangi esensi dari isi perbincangan.
Sabtu, 05 September 2020, proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3 dimulai. Proyek ini digagas oleh Gubuak Kopi pada tahun 2017, berawal dari bagian program studi tradisi dan pengetahuan masyarakat pertanian: Daur Subur. Namun, karena isu mengenai tarik ulur antara nilai-nilai tradisi dan bentuk perayaannya selalu berkembang, Gubuak Kopi menilai proyek ini perlu dilanjutkan setiap tahunnya dengan tema-tema yang lebih spesifik.
Sejak awal Juli 2020, Komunitas Gubuak Kopi berkolaborasi bersama 8 komunitas lainnya dari berbagai kota di Indonesia yang difasilitasi Akademi Arkipel. Sebuah program khusus yang diselenggarakan setiap tahunnya oleh Forum Lenteng sebagai bagian dari ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Program ini bertujuan untuk meluaskan fungsi festival sebagai institusi pendidikan sinema.
Dialog Garis Kilometer merupakan showcase project-project Verdian Rayner, yang difasilitasi oleh Rumah Tamera bersama Komunitas Gubuak Kopi dalam program Tamera Showcase yang kedua. Showcase dalam format pameran daring ini, dibingkai menyoroti proses dan kecenderungan Dian dalam berkarya sejak tahun 2013 hingga 2020. Beberapa karya dihadirkan seperti karya-karya drawing di berbagai medium kertas, lukis baju, helm, sepatu, mural, dan lainnya. Pameran showcase ini disajikan di halaman khusus di web Gubuak Kopi: gubuakkopi.id/tamerashowcase2 pada 15-20 Mei 2020.