Memaknai Ingatan Berproses

Cerita pasca residensi-Bakureh Project

Seminggu sudah berselang sejak penutupan Pameran Bakureh Project, namun euforia pameran itu masih terasa. Wajar saja, sebab itu adalah pameran pertama saya. Hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Saya ingat, bagaimana malam pertama saya kembali ke Solok untuk mempersiapkan pameran membuat saya melankolis. Saya masih tidak menyangka, saya dan keenam teman Pendekarwati Daur Subur, bisa bertahan hingga detik-detik terakhir itu. Padahal, ada banyak dilema yang harus kami hadapi, yang tak jarang membuat kami lelah dan ingin menyerah. Menilik ke hari-hari saya berjuang meriset tradisi bararak di Solok, menyadarkan saya bahwa meneliti yang sebenar-benarnya meneliti, ternyata tidak “segampang” menulis skripsi. Percayalah! Ada beragam cobaan dan hambatan, yang datang dari mana-mana, tak terkecuali dari dalam diri sendiri.

Padahal kalau dipikir-pikir lagi, kami tidak diikat aturan-aturan kaku seperti mahasiswa tingkat akhir; kami tidak dianjurkan memakai bahasa baku yang teoretis, apalagi menyematkan terlalu banyak pendapat para ahli. Kami hanya dituntut untuk membongkar “peti harta karun” lalu menunjukkannya kepada warga. Menunjukkan apa yang pernah ada, tersebar lalu berusaha dilestarikan semua orang, di lingkungan mereka, melalui tulisan lugas dan luwes. Kami hanya diminta untuk tidak bosan merekam dan membaca visual-visual tak kasat mata, yang menjadikan hal-hal yang disebut tradisi itu bak harta karun suatu kelompok masyarakat itu sendiri. Tidak sulit kan? Kasarnya, kami bisa menceritakan apa yang kami dapatkan di lapangan, berdasar pada apa yang ingin kami ketahui tentang suatu tradisi. Namun kenyataannya, saya akui, ternyata terjun bebas itu lebih sulit.

Tidak mudah menuliskan jejak-jejak kabur, yang kita harapkan mungkin masih tersisa di ingatan warga. Bukan hal yang mudah juga mengorek-orek isi kepala orang yang tidak kenal; dan proses untuk menjadi dikenal dan dipercayai mereka pun ternyata bukan hal serupa membalikkan telapak tangan.

Lalu apa yang membuat kami bertahan? Kalau saya boleh berspekulasi, mungkin kami bertahan karena tekad dan janji? Saya pribadi memang bertekad untuk mengalahkan diri sendiri dalam hal riset-meriset ini. Saya tahu, ada banyak jurnal dan penelitian tentang tradisi Minangkabau, tapi itu belum semuanya yang tertulis. Dan lagi, sebagian besar jurnal dan penelitian itu berkecimpung di bahasa yang kaku. Tawaran untuk menuliskan “cerita” tentang tradisi A, B, C atau D, memang sempat membuat saya ciut, karena saya tidak pernah benar-benar terjun ke dunia ini sebelumnya; dunia tradisi budaya, meski saya bersekolah di jurusan sastra yang pada dasarnya tidak terlepas dari hal-hal tradisi budaya. Ditambah lagi, saya memiliki “masalah pribadi”; tidak percaya diri. Harus berhadapan dengan banyak orang baru dan asing, ditambah sebagian besar mereka berusia lebih tua belasan bahkan puluhan tahun dari saya, semakin-semakin membuat saya takut. Tapi, sisi lain diri saya meminta untuk mencoba. Dari situlah tekadnya. Saya ingin tahu, seberapa pengecut saya sebenarnya.

Apakah saya berhasil mengetahui bahwa saya pengecut atau tidak? Ya! Saya akhirnya tahu bahwa saya memang pengecut. Saya bahkan sempat minta pulang. Saya merasa benar-benar tidak sanggup harus bolak-balik ke lokasi riset, mencari-cari orang yang bisa kami “bongkar bagasi”-nya. Saya merasa gagal memenuhi kuota, yang pada dasarnya saya sendirilah yang menentukan kuota itu.

Lalu, mengapa saya bisa menuliskan ini sekarang? Karena hal kedua; janji.

Cerita-cerita Delva, kata-kata penyemangat Bang Albert, dan curhatan teman-teman Pendekarwati mengingatkan saya pada sebuah janji yang kami ikrarkan saat undangan itu tiba ke tangan kami pertama kali. Janji bahwa kami akan mengikuti serangkaian kegiatan Bakureh Project; termasuk di dalamnya riset, menulis, merekam, diskusi, dan pameran—hal terakhir yang bisa saya pikirkan bahkan selama saya meriset di Solok. Janji itu, yang mungkin, kembali membulatkan tekad saya, yang membuat saya berbisik pada diri sendiri, “kita sudah sejauh ini, De!”. Janji itu, mungkin, yang mendorong saya maju untuk meneruskan langkah berburu harta karun, meski harus terseok-seok. Meski pun saya sendiri, sampai detik ini, merasa gagal menepati janji itu seratus persen; ada banyak hal yang terlewati, yang gagal saya cari tahu, yang saya biarkan terlupakan, yang saya maklumi tidak terlaksanakan dengan baik. Dan itu menimbulkan perasaan-perasaan tidak puas dan sedih. Merasa wakti hamper tiga bulan itu terbuang sia-sia.

Tapi bukan itu yang membuat saya melankolis, melainkan ingatan saat pertama kali bertemu dengan mereka semua; teman-teman Gubuak Kopi, fasilitator Bakureh Project, dan para Pendekarwati, di Markas Gubuak Kopi. Waktu itu sore terakhir di bulan Mei 2018. Menjelang berbuka, saya berhasil menginjakkan kaki pertama kali di Kota Solok. Disambut hangat oleh teman-teman Gubuak Kopi, fasilitator dan beberapa Pendekarwati yang sudah hadir. Saya ingat, Bang Albert meminta kami; para Pendekarwati itu, untuk saling berkenalan. Delva juga mempersilakan kami istirahat sebentar di kamar; kamar yang harus diisi 9 orang perempuan, yang entah kenapa bagi saya tidak terasa asing. Kami dengan sendirinya bisa berbaur satu sama lain, bahkan berhasil menciptakan gosip dalam waktu kurang dari satu malam.

Lalu, ingatan-ingatan tentang proses lokakarya; perjuangan bangun sahur yang tidak begitu sulit karena sebagian besar teman-teman Gubuak Kopi menjadi waker hidup alias begadang semalam suntuk, lalu bersama dengan kami yang sudah kenyang tidur, harus menahan kantuk di sela-sela materi. Saya juga diingatkan momen pertama kami keluar dari Markas Gubuak Kopi, yakni di hari ketiga, saat Bang Albert menyampaikan materi tentang kepenulisan. Ah iya! Tidak boleh dilupakan juga momen kami harus irit air bak mandi bahkan menumpang mandi di rumah orang dan masjid, karena ada perbaikan saluran PAM sehingga kran air di Markas Gubuak Kopi harus mati. Meski hanya empat hari, situasi kehabisan air itu menjadi hal yang “mistis” dengan caranya sendiri bagi kami.

Tidak terasa, bukan? Dalam waktu kurang dari tiga bulan, Gubuak Kopi dengan Bakureh Projectnya berhasil menambah bagasi kami masing-masing, berhasil menambah keluarga tanpa ikatan darah, berhasil mengajarkan kami, atau saya pribadi lebih tepatnya, bagaimana kita harus berjuang mengalahkan (ketakutan) diri sendiri.

***

Saya mengamati teman-teman Gubuak Kopi yang mondar mandir dan sangat sibuk. Sibuk sendiri-sendiri yang tidak sendiri, karena apa yang mereka kerjakan malam itu saling terintegrasi. Semuanya mendapat tugas, tak terkecuali saya yang baru datang. Bang Albert meminta saya untuk memvisualisasikan hasil riset saya. Yang dalam pikiran saya malam itu adalah membuat sketsa. Dan itu membuat saya terkejut sekaligus panik. Saya tidak bisa menggambar!

“Cukup bikin polanya aja. Nanti dibantu Hafiz untuk sketsanya,” jelas Bang Albert. Saya lega.

Dan begitulah malam pertama di sana, selain dilewati untuk bermelankolis-ria, juga dihabiskan untuk membongkar file pribadi maupun internet tentang susunan dan pola bararak di Solok khususnya dan Sumatera Barat umumnya.

***

Sehari sebelum pameran, lima dari Pendekarwati sudah menampakkan wujudnya. Bersama teman-teman Gubuak Kopi yang sebagian besar adalah fasilitator Gubuak Kopi, kami mendisplai galeri. Ini adalah pelajaran baru bagi saya. Sekaligus pengetahuan baru. Saya takjub ketika melihat foto-foto hasil riset kami sudah tercetak dan siap dipajang. Saat mendengar kata pameran, yang dalam pikiran saya adalah lukisan, atau sketsa, atau gambar, atau sesuatu yang dihasilkan oleh goresan tangan. Saya lupa bahwa pameran perdana saya dan teman-teman Bakureh Porject adalah pameran seni multimedia, sehingga foto termasuk di dalamnya. Bahkan baju tradisional bundo kanduang pun bisa menjadi instalasi seni.

Karena saya datang atas nama partisipan dari komunitas Sayurankita, yang bergerak di bidang studi agrikultur, kebun Gubuak Kopi diserahkan kepada saya. Di sini saya kembali mendapat pelajaran baru. Bang Albert meminta saya mendisplai kebun sedemikian rupa sehingga menciptakan narasi yang bisa dilihat, dibaca dan dirasakan para pengunjung nantinya. Saya sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya, dan saya pun menyusun secara naluriah saja. Hasilnya, saya harus membongkar susunan itu dan menyusunnya kembali dengan susunan berbeda sebanyak tiga kali. Anehnya, meski capek, saya senang. Saya merasakan semangat yang berlebih sampai-sampai rasanya saya tidak ingin tidur malam itu. Meski pada akhirnya, setengah dari pekerja display galeri malam itu tepar dan tergelatak tidak berdaya jauh menjelang subuh; dan satu di antaranya adalah saya sendiri.

Hari H peluncuran buku adalah hari yang paling membingungkan. Karena kami, para Pendekarwati sama sekali tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Apa yang akan dibedah dari buku pertama kami itu, bagaimana prosesnya, prosedurnya atau hal-hal sehubungan dengan pembedahan buku itu. Yang kami tahu, sebelum jam 1 siang, kami semua harus sudah siap dan bergerak ke UMMY, lokasi peluncurah dan pembedahan buku Bakureh Project. Sementara saya sendiri bingung saat melihat Delva menghilang (dan ternyata sudah di lokasi) di saat para fasilitator masih sibuk di Markas. Tapi ternyata, pembedahan buku tidak serumit pikiran saya. Kami duduk bersama para mahasiswa, mendengar ulasan beberapa pembicara mengenai buku kami itu. Dr. Irfani Basri, M. Pd (Dosen FBS UNP) dan Zulfikarni, S. Pd (Dosen UNP/Peneliti Sastra Minangkabau) adalah dua pembahas, dan dimoderatori oleh Dr. Zona Ridarahayu, M.Pd (Dosen UMMY Solok). Sekitar satu setengah jam kemudian, acara peluncuran dan bedah buku selesai, dengan ditutup dengan berfoto bersama. Selanjutnya, kami kembali ke Markas untuk meyelesaikan pekerjaan yang tertunda.

Justru, pamerannya yang harusnya saya khawatirkan. Jumat, 28 September 2018, setelah membersihkan jejak-jejak proses mendisplai, kami berbenah dan bersiap menerima tamu dan undangan. Pembukaaan pamerah akan dimulai pukul empat sore itu. Tidak disangka, ternyata ada orang-orang penting yang hadir, seperti H. Rusli, selaku ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau; Buya Khairani, selaku tokoh adat Solok; dan perwakilan Dinas Pariwisata Kota Solok. Ditambah lagi, Bang Albert menekankan bahwa di setiap pojok, harus ada Pendekarwati yang berdiri untuk memberi penjelasan. Meski saya ditempatkan di kebun; tempat yang seharusnya tidak perlu saya takutkan karena saya mengikuti setiap proses berkebunnya, saya tetap saja panic. Orang-orang tua, dalam pikiran saya, adalah orang yang lebih banyak tahu. Saya takut salah bicara!

Setelah pembukaan selesai, Bang Albert didampingi Delva sebagai pimpinan proyek dan para Pendekarwati lainnya, memasuki galeri. Langsung saja saya menyadari bahwa, pameran bukanlah akhir dari sebuah riset. Bisa jadi masih pertengahan sebuah riset, atau justru awal dari riset baru. Pemikiran ini muncul saat mendengar H. Rusli bercerita tentang kata bakureh itu sendiri, dilanjutkan dengan cerita-cerita dari ingatannya sendiri, setiap melihat foto-foto yang tersusun rapi di dinding galeri. Ternyata masih banyak narasi warga yang terlewatkan oleh kami. Tentunya masih banyak hal yang bisa kami gali dari tradisi bakureh dan tradisi-tradisi yang mengikutinya, termasuk tradisi dan budaya tani; yang pada dasarnya juga masuk dalam platform program Daur Subur dari Gubuak Kopi.

Hal lain yang tidak saya perkirakan adalah, begitu banyak pengunjung yang datang malam itu. Rekan Gubuak Kopi, maupun pendatang yang belum kenal dengan Gubuak Kopi. Ditambah lagi, malam itu ada pertunjukan dari beberapa rekanan Gubuak Kopi, yakni Kharisma dan kawan-kawannya yang menampilkan komposisi musik Manjuk Upah Kini Re, dan satu Pendekarwati, Qiuqiu, yang bermonolog “Yang Sejati telah Kehilangan Dirinya…”. Saya tidak menyangka publikasi kami akan menjangkau orang-orang sebanyak itu. Pameran kami yang perdana ini, dikunjungi oleh berbagai kalangan; tua, muda, laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan yang sudah tua-tua. Adalah sebuah kebahagian tersendiri ketika mendapat kritik dan komentar dari mereka. Bagi saya, kritik dan komentar itu adalah bentuk lain dari apresiasi.

Hari kedua, hampir sama ramainya dengan hari pertama. Meski sedari pagi kami tidak kedatangan pengunjung, tapi menjelang sore hingga malam hari, tidak berhenti kaki, tangan dan mulut ini bekerja. Mendampingi para pengunjung sekaligus memberikan penjelasan tentang apa yang kami dapatkan selama riset, tentang apa yang kami pajang di sepanjang dinding-dinding galeri. Proses mendampingi pengunjung ini, bagi saya sendiri, juga termasuk proses yang sayang dilewatkan. Sebabnya adalah di sini saya belajar bagaimana mengingat denga cepat dan tepat hal-hal yang sudah saya geluti beberapa bulan lamanya, karena saya termasuk orang yang mudah melupakan banyak hal, apalagi yang membutuhkan kekuatan otak. Maka, di sini saya belajar untuk bisa membaca dengan cepat arah pertanyaan para pengunjung agar bisa menjawab dengan benar dan tidak mengada-ada. Untunglah, saya selalu menyempatkan diri melihat, mengamati dan menyimak Bang Albert, atau Delva, atau para fasilitator saat mereka turun tangan mendampingi pengunjung. Paling tidak saya bisa meminjam kalimat-kalimat mereka.

This slideshow requires JavaScript.

Sayangnya, saya tidak bisa menyelesaikan pameran hingga akhir. Karena satu dan lain hal, di hari keempat tepatnya hari Senin, 1 Oktober 2018, saya harus pulang ke Pekanbaru. Padahal, hari itu adalah jadwal bakureh bersama ibu-ibu sekitaran Tembok. Sehari sebelumnya, saya ikut bersama Delva manjapuik dua orang ibu yang bersedia mengajarkan kami praktik bakureh langsung di pekarangan Markas Gubuak Kopi. Mereka adalah Bu Lis dan Amak. Saat itu, saya sudah membayangkan betapa akan asyik dan serunya kegiatan itu. Makanannya pun pasti enak-enak, meski sederhana. Sebab, kebersamaan dan ketulusan saat bergelut sambil memasak itu yang menjadi bumbu rahasianya. Saya merasa sedikit kesal dan kecewa, lebih kepada diri sendiri yang tidak bisa mengundur kepulangan. Namun tentunya kekesalan itu tidak menghapus rasa bahagia karena telah melewati semua proses dan tahapan Bakureh Project.

foto bersama Bakureh Project

Seperti yang saya katakan di awal tulisan, kami, atau saya sendiri mungkin, memang menghadapi banyak dilema saat menyelesaikan Bakureh Project ini. Yang jika tidak “dikuat-kuatkan” akan membuat saya mundur di tengah jalan lalu terjatuh. Untungnya, saya berada bersama orang-orang kuat dan hebat. Bertahan dan terus maju adalah satu-satunya pilihan yang seolah mereka berikan, yang boleh saya pilih. Demi hasil yang lebih untuk diri sendiri. Di saat mumet dan panik, tidak jarang saya menyesali pilihan mengikrarkan janji ikut Bakureh Project. Tapi kemudian saya sadar, lebih banyak pelajaran yang bisa saya kenang daripada tekanan mental yang saya ciptakan sendiri itu. Pada akhirnya, hal terakhir yang bisa saya pelajari dari keseluruhan proses Bakureh Project ini adalah, “bakureh” untuk berdamai dengan diri sendiri dan mensyukuri setiap waktu yang saya lalui bersama orang-orang penuh inspirasi seperti teman-teman Gubuak Kopi dan para Pendekarwati.

Pekanbaru, Oktober 2018

Ade Surya Tawalapi, biasa disapa Ade, pegiat sastra dan pertanian di Pekanbaru. Lulusan Sastra Rusia, Universitas Indonesia. Sekarang aktif di SAYURANKITA, sebuah platform yang digagas sebagai laboratorium berpikir dan praktik di ranah pertanian secara umum, yang dikombinasikan dengan sudut pandang sosiokultural dan pengelolaan media alternatif di Kota Pekanbaru. Ade merupakan partisipan Program Daur Subur - Bakureh Project yang diselenggarakan Komunitas Gubuak Kopi di Solok (2018). Selain itu, ia juga aktif menulis di blog personalnya www.adetawalapi.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.