Mengumpulkan Narasi-narasi Observasi

Catatan Proses Residensi Lapuak-lapuak Dikajangi #2

Malam itu (19/11/2018) hari kelima residensi, para partisipan Lapuak-lapuak Dikajangi #2 berkumpul untuk berdikusi dan saling meng-update temuan-temuan observasi selama beberapa hari ini. Berdasarkan lokasi, malam itu ada dua cerita perjalanan dari teman-teman partisipan. Cerita pertama itu dari rombongan yang berangkat ke Kinari. Sebuah kampung kecil di Kabupaten Solok, dengan durasi tempuh sekitar 30 menit dari markas Gubuak Kopi. Rombongan ini terdiri dari Asti, Dewi, Ragil, Jatul, Hafiz, dan dipandu oleh Volta.

Diskusi berjalan seperti biasanya, hangat, meskipun diluar cuaca di luar gerimis dan suhu dingin lumayan menusuk tulang. Hari ini perjalanan partisipan bersama Volta berangkat ke Kinari, di mana partisipan mengunjungi beberapa Rumah Gadang, tempat perguruan silek di Kinari, ke rumah Volta dan bertemu dengan Wali Nagari Kinari.

Jatul menjadi orang pertama yang menceritakan perjalannya menuju Kinari. Ia mengawalainya dengan kesannya mengunjungi rumah adat Minangkabau yang dalam istilah lokal kita menyebutnya Rumah Gadang.

“Tadi saya pergi ke Rumah Gadangnya Volta, katanya rumah gadang tersebut sudah berdiri sejak tahun 1955. Sampai hari ini cuma diganti atapnya saja yang dulu dari ijuk sekarang diganti menjadi seng, juga tadi ada Rangkiang (lumbung padi), itu rangkiang tinggi sekali ya, saya rasa kalau ada maling yang mau mencuri itu harus bawak tangga kayaknya,” ungkap Jatul.

“Dan tadi saya juga pergi ke tempat latihan silek, pak H. Nurdin namanya”, Jatul menambahkan. Sontak partisipan yang lain bilang “Bukan pak H. Nurdin, Jatul…” karena nama sebenarnya yang dimaksud jatuh adalah Mak Siren. Salah seorang tuo silek di Kinari.

Ia menjelaskan kalau mau melihat latihan silek, sebenarnya kita hanya bisa lihat “bunga-bunga”nya saja. Karena bagi masyarakat Kinari, silek yang sebenarnya tidaklah untuk dipertontonkan. Kalau memang ingin melihatnya, silahkan untuk ikut latihan. Demikian tuo silek (guru silek) menawarkan para partisipan untuk ikut berlatih.

“Dan tadi pas pulang kami pergi makan sate Pak Jainal Abidin katanya dengan tidak bersalah telah mengati nama orang pemilik tempat makan sate tersebut.”

Selanjutnya Ragil juga membagikan cerita perjalannya ke Kinari.

“tadi kami pergi ke rumah Volta, kami makan gulai daun singkong, apa tuh namanya?”, sambil bertanya, “gulai pucuak ubi” jawab Albert. Lalu makan dengan sambal balado dan jengkol tambah Ragil.

Ragil juga pergi mengunjungi rumah gadangnya Volta dan pergi ke tempat perguruan silek di Kinari. Di situ akhirnya ragil lebih mengerti dan paham kalau silek itu bukan hanya ilmu bela diri, seperti yang beberapa hari ini dipelajari dari beberapa narasumber yang dihadirkan Gubuak Kopi. Silek, terutama merupakan sebuah pendidikan untuk membentuk karakter seseorang menjadi lebih bijak.

“Dan pada akhirnya mereka lebih bisa bersikap, mereka juga harus tau apa yang harus mereka lakukan dan apa risikonya”, tutup Ragil.

“Kita dijelaskan beberapa step-stepnya”, tambah Ragil. mulai dari basilek di atas sejadah, dan kalau salah satunya keluar dari sana maka harus diulang besok, Jelasnya. Latihan silek seperti ini biasanya dilakukan menjelang adzan subuh. Juga ada silek di atas sehelai papan, dan di dalam kain sarung menggunakan kurambik, yakni pisau khas pesilat yang menyerupai kuku harimau. Dan menurut Mak Siren selaku guru silek, step yang terakhir latihan adalah di luar rumah, tampa lampu, dan matapun juga di tutup. Pesilat dituntut untuk mempertajam intuisi dan insting.

“Jadi yang bisa saya pahami dari sana, bahwa silek itu mengajarkan agar kita untuk lebih peka dan penuh perhitungan dalam kehidupan dan lingkungan di sekitar kita”.

Melanjutkan jabaran Ragil, Asti menegaskan bahwasanya silek lebih mengutamakan soal kepekaan dalam kehidupan sehari hari. Kemudian menarik, bahwa salah satu syarat untuk belajar silek adalah dengan menyembelih satu ekor ayam untuk setiap murid. Untuk di Kanari, ayamanya sangat khusus, ia harus memliki kaki dan paruh kuning. Dan kalau bisa dilogikakan, kala si muridnya ini mencari ayam, di sana juga bisa dilihat ketekunannya di mana dia juga harus sabar dalam mencari dan merawat ayam yang nanti akan dipotong untuk latihan silek itu sendiri.

Dewi juga menambahkan ternyata di setiap daerah itu memiliki persyaratan yang berbeda, Kalau di Kinari itu hanya membawa ayam, dari ayam ini kata si gurunya bisa melihat bagaimana si murid yang ingin belajar silek ini. Dan Dewi juga menambahkan kalau silek ini tidak sama dengan bela diri lainya seperti karate dan taekwondo.

Dan diskusi perjalanan selanjutnya itu dari Palmer dan Albert. Di mana hari ini, Palmer didampingi Albert pergi mencari beberapa musik-musik tradisi yang berkaitan dengan silek. Seperti Bansi Solok, talempong, dan alat musik lainnya.

Palmer juga menjelaskan kalau musik di minang itu lebih bersifat menyatukan orang-orang dan lebih berbicara tentang silaturahmi.

“Tadi saya bersama Albert datang mengunjungi salah satu seniman yang ada di Solok, meskipun memang tidak secara langsung berkaitan dengan silek tapi saya juga menanyakan peran musik dalam silek itu sendiri”. Palmer pun bertemu dengan Pak Hazlan salah seorang seniman musik di Solok. Palmer juga memperlihatkan video pak Hazlan memainkan beberapa kesenian tradisi, seperti talempong pacik, dan palmer sendiri ikut berlatih memainkan kesenian itu.

Albert menambahkan, ada beberapa kaitan musik tradisi dengan silek. Satu tentang bagaimana musik itu mengiringi silek, dalam hal ini adalah pencak atau bunga-bunga silek, dua bunyi-bunyian yang muncul ketika orang basilek, yang kemudian juga dikembangkan dalam randai, dan tiga adalah bagaiman konsep “silek” itu sendiri diaplikasikan atau mungkin juga bisa kita lihat dalam permainan musik. Seperti talempong pacik yang tingkah-batingkah, saling mengisi, dan mengunci.

Perjalanan yang diceritakan oleh para partisipan dan rekan-rekan dari Gubuak Kopi bagi saya  sangat menarik dan menambah wawasan. Di penghujung perjalanan, partisipan yang datang ke Kinari juga bertemu dengan Wali Nagari Kinari. Beliau juga menawarkan para partisipan LLD #2 dan rekan-rekan dari Gubuak Kopi untuk melihat kesenian di Kinari, seperti silek, randai, tari, dan pertunjukan musik di Kinari. Akhirnya diskusi pun ditutup dengan rencana keberangkatan ke Kinari esok harinya, dan juga membicarakan syarat-syarat yang akan dibawa nantinya untuk latihan silek di Kinari.

Biasa disapa Dayu, lahir di Muaralabuh (1997). Penulis, lulusan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang. Sebelumnya ia aktif berkegiatan di LPM Suara Kampus, Taman Baca Mahasiswa, dan Jarang Comeback, sebuah komunitas baca di kampusnya. Ia memiliki ketertarikan di tulis-menulis. Sebelumnya ia adalah partisipan program Magang Gubuak Kopi 2018, dan kini juga aktif di Komunitas Gubuak Kopi selaku penulis. 2019 ia menjadi kolaborator untuk pameran OE dan Kampung bersama Ladang Rupa di Bukittinggi. Beberapa tulisannya juga dapat ditemui di beberapa media lokal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.