Membayangkan Perayaan Berikutnya

Belakangan, di media muncul kembali banyak pernyataan yang tidak menyukai permainan seperti panjang pinang, pacu karung, pukul bantal, dan berbagai jenis permainan yang biasa kita mainkan para perayaan kemerdekaan. Biasanya muncul dengan kalimat, bahwa itu tradisi yang dibangun penjajah untuk merendahkan kita. Terutama sejak berita mengenai pemerintah kota di Aceh melarang permainan ini. Konteks yang hampir mirip pernah saya temui di Jujuhan, Muaro Bungo, kala pengusaha tambang batu bara menyelenggarakan pesta untuk para buruhnya, berupa panjang pinang dan nonton orgen. Tapi saya kira mereka tidak melakukannya dengan terpaksa, barang kali memang menginginkan hadiah, unjuk kebolehan, bersenang-senang, dan lainnya. (Baca juga: Bagai Pinang Dipanjat Pemuda, 2014; Pesta Pemuda, 2014; dan Nonton Orgen, 2014)

Pandangan-pandangan di atas, —mengenai pengaitannya dengan konteks zaman jajahan, memang perlu kita sadari, tapi mungkin kita juga harus sadar, bahwa kehadiran kita di lapangan perlombaan kala ini tidak lagi dalam konteks untuk ‘menghibur’ penjajah atau pun konglomerat yang tengah menguras kekayaan alam kita, lalu membodoh-bodohi kita atau memanjakan kita dengan hadiah.

Pada alek nagari Bakajang (pesta rakyat yang merepresentasikan nagari) di Gunuang Malintang, Pangkalan, lebaran kemarin, setiap jorong menggelar panjat pinang. Hujan-hujan pun mereka tetap memanjang, dan kita semua hadir menyaksikan kecerian itu. Penyelenggaraan dikelola oleh pemuda, hadiah-hadiah dikelola oleh pemuda. (Baca juga: Lebaran Bakajang, 2018)

Begitu pula di banyak panjat pinang yang saya lihat di Solok. Sebagian besar diagendakan dikelola oleh pemuda itu sendiri. Mereka mencari sumber-sumber hadiah sendiri,mulai dari iuran warga, khas pemuda, ataupun mencari sponsor. Menariknya, yang saya lihat adalah sebagian besar warga secara sadar hadir di sana untuk berkumpul, melakukan hal-hal ‘remeh’. Demikian barang kali cara kita memaknai kemerdekaan, –yang defenisi dan perwujudannya sangat beragam. ‘Remeh’ tetapi memberi kita peluangan memaknai kerja bersama, mengelola semangat gotong royong warga, mencari alasan berkumpul, bernostalgia, dan menghadiahi diri kita sendiri, yang dengan sendirinya merawat kekuatan sosial dan keberdayaan. (Baca juga: Untuk Yang Tak Ternilai, 2014)

Memaknai perkembangan sosial-ekonomi-politik di Solok hari ini, ada bebarapa hal menarik yang mungkin perlu kita lihat kedepan. Bayangkan kalau agenda ini hanya dikelola untuk kepentingan pariwisata? menjadikannya sadar sebagai tontonan wisatawan? menjadi objek lomba foto yang mengedepankan ‘keeksotisan’ (mengedepankan sudut pandang keunikan dan kelangkaan ketimbang pengarsipan, atau konteks kehadirannya/konteks sosio-cultural)? Seperti wisata ‘tradisi’ yang kita pisahkan dengan budaya yang tengah berlansung? Bayangkan kalau perayaan ini tidak lagi dikelola oleh pemuda? semua menjadi agenda dinas pariwisata atau pemerintah, dan kita hanya peserta? dihadiahi uang? nilai-nilai apa yang akan hilang? berubah atau bertambah? Bagaimana kalau perayaan-perayaan ini tidak lagi kita pahami sebagai apapun, hanya meneruskan kebiasaan?

Merespon momen perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke 74, tim @solokmilikwarga merangkum beberapa foto dokumentasi warga mengabadikan perayaannya. Berikut beberapa di antaranya:

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.