Memaknai Ulang Kekuatan Masa Lampau

Catatan Editorial Buku Kumpulan Tulisan: Bakureh Project

Masih terus terngiang di ingatan kita, seorang dokter dipersekusi karena cuitannya di media sosial. Lalu, tak lama, postingan itu tersebar–baik itu berupa hasil screenshoot ataupun di-share ulang–dengan tambahan kalimat oleh sejumlah akun, yang kemudian menggerakan beberapa orang ikut menghujat si dokter. Sejumlah kelompok yang mengaku organisasi Islam mendatangi si dokter. Memaksa si dokter meminta maaf, dengan segala teror yang tidak mereka akui. Intervensi sampai ke tempat kerjanya, bahkan menurut si dokter, teror juga menimpa anaknya yang masih duduk di sekolah dasar.

Dampaknya, Kapolres Solok Kota harus dicopot karena dianggap tidak mampu menjamin keamanan salah seorang warganya. Dampak berikutnya, muncul sejumlah demonstrasi yang bahkan diikuti oleh organisasi berbasis adat, mahasiswa, dan lainnya, untuk memaki si dokter yang menyebut dirinya tidak lagi merasa aman di Solok. Tetangga dan orang-orang sekitar tidak ada yang membantunya. Dalam demonstrasi ini beberapa oknum muncul ambil bagian, mengelola massa yang banyak. Tahun 2019 akan segera datang. Tahun-tahun politik harus dipersiapkan dari sekarang. Demonstrasi ini malah memaki si dokter dengan orasi dan hashtag #solokaman. Aman?

Sebelumnya di Ibu Kota, Jakarta, media nasional dipenuhi berita-berita yang berkaitan dengan penistaan agama oleh gubernurnya kala itu. Isu ini, atau setidaknya bingkaian di media arus utama nasional, menampilkan banyaknya tindak persekusi atas nama agama dan kasus-kasus penistaan muncul di mana-mana. Yang brutal semakin brutal, beberapa geram. Saya harap ini tidak terlalu berlebihan, tapi belakangan membayangkan ini kedepan, rasanya hari-hari akan mengerikan di kampung sendiri. Sensitivitas beragama, dengan ‘keseriusan’ mereka mengelola media, akhirnya jadi alat kepentingan-kepentingan politik elit, yang kemudian mengubah interaksi sosial kita.

Di komplek rumah saya, dulunya tidak pernah ada ceramah masjid ataupun orasi keagamaan yang mau menyebut kafir pada non-muslim, apa lagi dengan intonasi negatif, tidak ada yang menghujat agama lain. Bahkan kita selalu menyempatkan hadir di hari raya tetangga kita yang berbeda agama. Tidak ada yang berani mengganggu tetangga kita. Tidak ada yang berani meneror tetangga kita. Tidak hanya si dokter yang barangkali kurang bergaul, kita pun melakukan pembiaran atas aksi yang semena-mena. Beruntung ketakutan ini tidak di semua titik, tidak sedikit pula yang menyuarakan kebijaksanaan atas asas saling menghormati dan merayakan keberagaman.

***

Di Gubuak Kopi, kami percaya literasi media dapat menjadi pilihan utama untuk dikembangkan dalam aktivitas pemberdayaan. Hal itu kemudian kami warnai dengan ragam kegiatan kreatif ataupun kegiatan kesenian untuk membuatnya semakin cair guna membicarakan persoalan-persoalan yang di sekitar kita. Sejak 2017 lalu, kami secara bertahap meramu itu dalam sebuah program yang kami namai Daur Subur. Program ini merupakan strategi dari visi kami dalam  memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan kebudayaan masyarakat pertanian di Sumatera Barat. Pendistribusian ini dikerjakan melalui pendekatan jurnalisme warga. Seiring berjalan, kami berupaya menemukan metode yang tepat. Metode-metode yang membantu kami untuk merealisasikan cita-cita: masyarakat yang melek media, sadar akan kesalingkaitan peristiwa yang berdampak pada situasi sosial dan kebudayaan kita hari ini.

Sejak 2017, yang terpikirkan di kepala kami adalah bagaimana merumuskan sekaligus mengembangkan siasat warga dalam merespon persoalan lokal melalui aktivitas literasi media. Dalam beberapa agenda yang telah berjalan, kami menelusuri (mengkritisi) masa lampau yang selalu dinarasikan sebagai masyarakat yang sangat berdaya, menyelidiki ‘keterputusan’ dan pola-pola perubahannya, sebagai studi menghadapi persoalan kontemporer kita di Sumatera Barat.

Bakureh Project adalah turunan dari program Daur Subur, sebuah studi tentang tradisi gotong royong yang berkembang di masyarakat Minangkabau. Bakureh sendiri adalah salah satu tradisi di Solok, yang dulunya (beberapa masih berlaku hingga saat ini) dikenal sebagai tradisi gotong royong memasak ketika hendak menyelenggarakan pesta adat. Ia tidak sekedar gotong royong, di dalamnya terdapat adab-adab, proses, distribusi pengetahuan, dan juga pendidikan karakter. Tapi dalam hal ini, kita tidak ingin terjebak bernostalgia pada tradisi masa lampau semata. Bakureh dalam hal ini ingin kami munculkan kembali sebagai pemantik untuk kita mengkritisi kembali sejauh mana kita telah membiarkan tradisi-tradisi ini mengalir, berubah, dan menjauh.

Pembacaan ini kami harapkan tidak terjebak pada pengeksotisasian tradisi ataupun upaya mengagung-agungkan masa lampau yang dianggap ideal, tidak pula untuk melawannya. Untuk itu, kami mengundang keterlibatan sejumlah pihak lintas generasi dan lintas disiplin untuk mengkritisi ini. Kami mengundang keterlibatan tujuh orang perempuan muda sebagai partisipan dan sejumlah narasumber untuk memperkaya pembacaan. Project ini dibuka dengan Lokakarya Daur Subur, berlanjut pada riset dan residensi selama dua bulan, serta Forum Group Discussion (FGD) mingguan untuk mempertajam bingkaian para partisipan.

Dalam Lokakarya Daur Subur, kita berfokus pada pembekalan dan strategi pembingkaian. Para narasumber, salah satunya adalah saya sendiri, berfokus pada materi yang berkaitan dengan sejarah perkembangan media, cara kerja dan dampak-dampaknya. Di kelas berikutnya saya mengajak kawan-kawan untuk menerapkan metode penelitian yang memungkinkan para partisipan mengalami peristiwa yang ia hendak bicarakan dan membawa bagasi pengetahuannya sebagai generasi sekarang untuk membaca tradisi itu sendiri, sebagai bagian dari warga yang mengkritik dirinya sendiri. Warga yang berdaya. Ada pula Mak Katik, tokoh adat atau budayawan lokal yang menjabarkan kekuatan-kekuatan tradisi membingkai persoalan lintas zaman.

Ada Buya Khairani, yang mengajak kita memperluas lagi makna tradisi bakureh ini sebagai inisiatif yang berkembang menjadi kekuatan sosial kita. Ada Ibu Suarna, salah seorang tokoh perempuan yang tergabung dalam organisasi Bundo Kanduang, yang memperkaya kita tentang garis kerja bakureh serta hal-hal intim yang juga menjadi bagian dari bangunan kekuatan sosial itu. Ada Hendra Nasution, dosen dan peneliti seni pertunjukan, yang mengajak kita melihat dan mengembangkan kesenian sebagai metode untuk membingkai dan mendokumentasikan nilai-nilai kearifan lokal. Ada Kharisma, komposer, yang menjabarkan model pengembangan tradisi serupa bakureh dalam medium seni pertunjukan. Ada Datuak Bandaro Hitam alias Syahrial Chan mengisi sebuah FGD untuk memperkaya lagi bagasi kita melihat tradisi masa lampau, sebagai strategi yang ideal pada zamannya dalam membangun kekuatan sosial.

***

Menggali kembali tradisi masa lalu sering kali membawa kita pada narasi lain. Narasi itu bisa jadi mengantarkan kita pada pandangan yang menyenangkan, yang menyeramkan, ataupun keduanya sekaligus. Ia bisa menjadi rindu ataupun kebencian. Tapi bagi kita di Gubuak Kopi, mundur sejenak adalah upaya untuk terus melakukan otokritik dan memaafkan ketidaktahuan kita yang sering menjadi bahan marah-marah orang tua kita.

Di sini, di Minangkabau, sering kita dengar tradisi selalu dinarasikan sebagai tatanan ideal dalam menjalani peradaban. Narasi yang tidak baik, tidak perlu dikenang.  Tapi di sisi lain, ketika nasehat selalu diawali dengan “dulu itu kami selalu begini…” dan lainnya, kita kembali terpisah dengan tradisi itu sendiri. Ia kita amini sebagai sesuatu yang jauh, dan hilang.

Salah kita kah, ketika tradisi itu akhirnya terlihat terpisah dengan kebudayaan yang sedang berlangsung? Lalu, salahkah generasi kini menentukan apa yang ideal sekarang–dan mungkin nanti–seperti orang tua kita merumuskan tradisi-tradisi itu untuk generasi setelahnya?

Tapi ini bukanlah pertempuran zaman. Sepanjang kita mempelajari sejarah, kita sangat sadar, ada yang berulang dengan konteks yang berbeda, ada yang baru, dan yang telah berubah. Kita pernah bertemu dengan narasi dimana tetangga yang saling mengenal, tidak ada tetangga yang akan membiarkan tetangganya memasak sendiri di pesta perkawinan atau kematian, apa lagi dipersekusi. Tapi narasi itu juga membangkitkan bayangan hidup yang kaku bagi beberapa orang.

Para partisipan ini hadir dari latar belakang yang berbeda dan memiliki pandangan-pandangan menarik. Ade Surya Tawalapi, seorang berdarah minang lulusan Sastra Rusia, dan pegiat di organisasi studi kebudayaan pertanian di Pekanbaru, berbeda dengan yang lainnya ia terlibat di sini dengan metode residensi. Ade pernah bertemu dengan tradisi bararak. Estafet lainnya dari prinsip-prinsip bakureh. Ia berjumpa dengan perumpamaan-perumpamaan yang kadang terkesan karangan masa lalu saja, namun, di sisi lain menarik bagaimana tokoh-tokoh adat meyakini ini sebagai sebuah prinsip-prinsip ideal masyarakatnya.

Bararak diposisikan semacam pawai semiotik karangan para pendahulu. Ade bersama narasumbernya mengupas kode-kode itu sebagai model penyelidikan untuk mengetahui posisi perempuan dalam prinsip sosial masyarakat matrilineal Minangkabau. Prinsip-prinsip egaliter dan kesetaraan yang sebenarnya tidak begitu tercermin dalam keseharian. Tapi, kemudian ia dan narasumbernya menutup sore dengan kenyataan bahwa keyakinan itu ternyata dianggap menyita waktu, mahal, yang kemudian terdengar sebagai pembenaran bagaimana kita memaknai posisi tradisi ini sebagai sia-sia, dalam pergulatan modern yang belum juga kita pahami dengan matang.

Di tempat lain, Sefniwati, lulusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis, dan sekarang sedang melanjutkan studi S2 Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam, mendeteksi tradisi julo-julo dalam memaknai bakureh. Julo-julo semacam arisan yang didalil oleh petuah,

adat hiduik di dunie tolong-manolong,
adat mati janguak-manjanguak, 
adat ado basaliang tenggang, 
adat kayo mambantu yang miskin

(adat hidup di dunia adalah tolong menolong, adat mati saling menjenguk, adat ada/berkepunyaan saling bertenggang/membantu, adat kaya membantu yang miskin)

Dek urang alah, dek awak ka tibo…

(pada orang lain sudah kejadian, pada kita akan datang…)

Nahlia Amarullah, salah seorang mahasiswa asal Jakarta yang tengah menempuh studi Ilmu Komunikasi di Padang, menarik hal-hal yang berkaitan prinsip komunikasi dalam penyelidikannya. Sebagai outsider yang baru saja mengalami, ia melihat proses komunikasi yang terbagun dalam tradisi bakureh adalah modal sosial yang penting untuk kita pertahankan. Kemudian, sebagai generasi kini ia mulai bereksperimen dengan media sosialnya, menanyai teman-teman segenerasi.

Olva Yosnita, mahasiswa jurusan sosiologi, mendalami proses bakureh dan adab dalam memaknai kematian yang terlihat cukup rumit, dan berupaya membongkarnya dari sudut pandang observer maupun sebagai bagian dari masyarakat itu. Topik yang sama juga digali oleh Nurul Haqiqi dengan pendekatannya sendiri, dan bertemu dengan hal yang sederhana. Kesepakatan dan pertimbangan-pertimbangan yang kontekstual adalah potensi untuk berbenah.

Kalau bakureh juga dimaknai sebagai momen untuk berkumpulnya kerabat-kerabat dan tetangga, maka menarik menyimak bagaimana Dyah Roro, lulusan studi kearsipan, menikmati prosesnya menelusuri kembali kerabat-kerabatnya. Kerabat-kerabat yang juga merupakan tetangga-tetangganya, untuk mengetahui apa itu bakureh dan mengapa tradisi ini sampai harus dibicarakan. Kalau dulu bakureh berkumpul di satu titik, Dyah Roro mengalaminya dengan menemui orang-orang ini satu persatu.

Bakureh yang pada dasarnya masih kental di kampungnya, adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak selesai, ia menemukan banyak jawaban yang tidak terjelaskan. Semua dikenang sebagai tradisi semata dan dijalankan karena memang harus menjalankan tradisi.

Seperti halnya produk-produk modern, ia sampai ke negeri ini tidak berbarengan dengan pengetahuannya. Begitu pula tradisi yang datang dari dimensi lampau, tidak dengan pengetahuan yang komplit untuk kita generasi kini. Hanya kisah ‘tokoh-tokoh’ yang menginginkan kita sepakat dengan makna yang mereka yakini.

Memang ini tidak dapat dipukul rata, tidak semua tokoh adat gagap menerangkan tradisi itu, tidak semua yang menjalankannya karena perintah pendahulu semata. Tapi pencarian Roro tidak pula kasus khusus, hal serupa ditemui para partisipan lainnya. Tanya tak berjawab. Beberapa orang berupaya menemukan jawabannya sendiri dengan melihat dampak pola-pola yang terjadi. Yang paling penting yang menjalani, menikmatinya.

***

Konon, modern muncul dengan cita-cita kehadirannya yang mulia diharapkan mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Membebaskan manusia dari beban berat. Menjadi lebih beradab, dan lainnya. Namun ternyata harus kita pertanyakan ulang, model pengetahuan baru itu tidak benar-benar berangkat dari keinginan dan kebutuhan kita. Sebaliknya ia muncul sebagai model yang dikonstruksi pemilik modal besar, yang selalu muncul di layar kaca, sampai-sampai kita hafal.

Ilmu-ilmu modern tidak tertarik memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia sebagai pengetahuan yang turut menjaga tatanan sosial kelompok tertentu. Dengan latar belakang demikian, modernisme juga kehilangan landasan praksisnya untuk memenuhi janji-janji kesetaraan dan pembebasan yang dahulu lantang disuarakannya. Pembebasan manusia dari penindasan, beban fisik yang berat, belenggu mitos dan berhala kebudayaan, kini justru membelenggu beberapa dari kita dengan mitos-mitos dan berhala-berhala baru yang tak kalah menindas dan memperbudak demi citra ‘cantik’ universal.

Buku ini adalah catatan-catatan penelusuran yang mengajak kita untuk mengkritisi diri sendiri, yang kita harapkan dapat menjadi pemantik untuk merespon segala perubahan dengan sadar. Berliterasi-bermedia, adalah upaya memangkas semak belukar yang menyisakan sisi-sisi gelap modern maupun tradisi. Membiarkan yang lainnya tumbuh di tempat yang kita pilih.

Albert Rahman Putra
Bangko, 23 September 2018

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.