Tahun ini, Tenggara Street Art Festival 2020, menyiapkan 4 kategori award (penghargaan). Penghargaan ini adalah salah satu bentuk apresiasi untuk kawan-kawan muda yang terlibat dalam Jam Session. Kami mengundang 3 orang juri untuk menemukan karya potensial pada 4 kategori award, yakni Andang Kelana (Visual Jalanan, Jakarta), Bujangan Urban (Jakarta), Verdian Rayner (Solok).
Tenggara Award untuk karakter visual yang orisinil, sadar akan capaian estetika dalam konteks seni jalanan. Dalam hal ini juri juga akan mempertimbangkan koherensi antara bentuk dan narasi yang tengah direspon. Gubuak Kopi Kopi Award untuk karya yang mewakili semangat otokritik dan optimis. Memahami permasalahan di sekitar kita, menertawakannya, sebagai cara mawas diri dan berbenah. Solok Milik Warga Award untuk karya yang memiliki semangat dan keberpihakan terhadap warga berdaya. Menyoroti, serta menjadi bagian dari sistem pendukung untuk warga yang mengatasi persoalannya, serta menjawab kebutuhannya sendiri. Cadas Award untuk seniman yang bertindak eksploratif terhadap media karyanya dan menawarkan kebaharuan terhadap gagasan mengenai seni jalanan.
Juri dipilih oleh Tenggara Street Art Festival untuk bebas menentukan penilainnya berdasarkan kategori award. Pengalaman, wawasan, serta keberpihakannya terhadap kebaharuan dan tujuan dari festival ini, menjadi dasar kami memilih para juri. Untuk itu keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.
Malam itu, pada acara penutupan, 28 November 2020, anak muda terpilih menerima awardnya. Award ini dipersembahkan oleh Rumah Tamera, Komunitas Gubuak Kopi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan merchandise spesial dari Gardu House.
Taman Bidadari, lokasi mural yang satu ini berjarak sekitar 200 meter saja dari Rumah Tamera. Jarak yang cukup dekat. Selain tempat duduk, wc, instalasi permaianan, pohon, dan properti pendukung lainnya, tangki air PDAM juga ikut membentuk konstruksi taman. Tangki air berwarna biru itu terlihat menonjol dari pinggir jalan.
Blesmokie atau yang biasa kami sapa Cak Amie ini kami undang merespon bidang tangki air untuk media grafitinya. Tangki ini kurang lebih memiliki panjang sisi melingkar sekitar 18 meter 3 meter. Hari pertama berada di lokasi ia sudah bekenalan dengan hujan. Permukaan tangki ini terbuat dari besi, memiliki kelembaban yang membutuhkan waktu lama untuk kering. Untuk ini ia menambahkan kain lap (kanebo) sebegai alat tempurnya untuk mengeringkan permukaan tangka dalam waktu cepat. Selain basah terkena hujan, pun permukan ini sudah lembab boleh air di dalamnya.
Cak Amie ini sudah memulai grafitinya semenjak 2003. Di tahun yang sama ia membentuk tim grafiti pertamanya bernama NAWCRU, dan masih berjalan sampai sekarang. Pada 2012 ia pindah ke Jakarta dan menjadi bagian dari keluarga baru Artcoholic, dan ia bergabung bersama Gardu House. Selain itu, ia juga biasa membuat ilustrasi, desain grafis, dan juga membuat tatto. Selain itu, ia juga biasa membuat ilustrasi, desain grafis, dan juga membuat tatto.
Pada malam berikutnya saya datang melihat proses grafiti Cak Amie bersama Bujangan Urban, grafiti artist lainnya yang juga diundang ke Tenggara Street Art Festival.
“Aku nggak pernah lihat karya Amie jelek, ia jago gambar udah dari dulu” Bisik Bujangan Urban pada saya.
Cak Amie membutuhkan cukup banyak kaleng cat untuk menyelesaikan tengki ini. Garis yang detail dan warna yang berlapis-lapis sudah terlihat sejak hari ke-dua. Meski harus bolak balik ke Rumah Tamera karena hujan dan makan siang, Cak Amie mengerjakan grafitinya di sela hujan berhenti. Pengerjaan yang cukup lama pada tengki ini.
Sama seperti hari-hari biasanya, taman ini cukup sepi dari pengunjung. Biasanya akan dikunjungi oleh anak sekolah, orang yang lewat, dan warga sekitar. Sepertinya taman ini belum jadi tujuan awal orang-orang.
Street art dan ruang publik bagi saya seperti pasangan hidup. Ia seakan menghidupkan kembali Ruang publik yang sudah lesu dari pandangan mata. Setidaknya ‘mengganggu’ mata pasangan yang lewat dengan warna-warnanya. Mengaktivasi ruang publik.
Di sini Cak Amie ditemani Badik, salah satu seniman tuan rumah yang tergabung dalam ekosistem Rumah Tamera. Tidak hanya menemani, ia juga ikut mewarnai dinding bangunan di sebelah tangki ini dengan muralnya. Mural Badik ini juga akan direspon oleh Cak Amie setelah ia menyelesakan tengkinya.
Hari berikutnya hujan semakin sering turun, permukaan baru saja diselesaikannya setengah. Benar,seperti yang saya sebutkan sebelumnya hujan turun hingga 5 kali sehari, yang mempersempit waktu penyelesaian. Namun hari-hari terakhir menyusul dengan siang yang cukup cerah, meskipun tetap basah di malam harinya. Cak Amie memenuhi lingkaran tangki air dengan grafitinya.
Ada beberapa kolom yang ia munculkan di grafiti ini. Kolom tersebut berbentuk seperti tetesan air. Salah satunya adalah siluet Rumah Gadang dan beberapa bentuk bangunan di sebelahnya.
Di pintu gerbang taman ini juga ada sebuah tabung seperti tengki kecil yang berbidang potret, Cak Amie berkolaborasi dengan Masoki membuat teks bertuliskan Tenggara Street Art Festival di bagian depan tengki. Dapur Rumah Tamera juga mendapatkan graffiti Cak Amie beberapa hari sebelum ia balik ke Jakarta.
Sabtu, 6 Desember 2020 lalu, salah seorang seniman Sanggar Galatiak Solok mengirim beberapa gambar para remaja yang berlatih di lapangan basket Kodim 0309 Solok. Lapangan itu menjadi salah satu titik kolaborasi seniman residensi yang terlibat dalam Tenggara Street Art Festival. Gambar-gambar itu monyoroti lantai lapangan basket yang telah selesai dimural sejak 28 November 2020 lalu.
Apa yang kita bayangkan ketika mendengar Pos Ronda? Jika kamu tinggal di Sumatera Barat kamu mungkin mempunyai citraan visual yang sama dengan saya: sebuah bangunan dengan ukuran yang tidak lebih besar dari 4×4 meter? Di dindingnya terpampang sebuah papan tulis berisikan jadwal ronda dan kertas iklan atau informasi. Tapi kamu harus lihat dulu pos ronda yang satu ini, ia adalah Pos Induk milik pemuda Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Bangunan dua lantai, memiliki WC, dapur, dan kantor, juga struktur organisasinya yang rapi.
Imutisme, sesuatu yang menurutnya imut, adalah sebutan Nica pada caranya berkarya, berjejaring, dan untuk menebar kegembiraan. Keimutan ini digambarkan dengan garis/karakter yang ia gunakan dalam karyanya, berupa sketsa seperti kartun dan komik. Garis itu menjadi karakter setiap kalinya ia berkarya dalam berbagai media dan skena yang ia temui sebelumnya. Ia tetap sebagai imuter.
Tahun 2020 ini, Tenggara Street Art Festival membuka peluang untuk para street artist untuk terlibat dalam festival ini. Para seniman dari berbagai kota diundang untuk mengisi sesi ini melalui skema panggilan terbuka dan kurasi. Pendaftaran terbuka untuk setiap street artsit, baik itu mural, stensil, bom benang, wheatpaste, dan medium baru yang relevan dalam konteks street art sekalipun. Dari 85 peserta yang mendaftar panyelenggara menerima 47 peserta untuk terlibat dalam sesi ini. Tim kurasi berfokus untuk menemukan street artist muda yang potensial dan memiliki cara pandang yang menarik dalam merespon konteks ruang dan waktu. Para peserta yang lolos merupakan kelompok dan individu, mendapatkan fasilitas dinding, cat, akses area kemah, makan, dan kebutuhan protokol kesehatan Covid-19.
Saya tidak mau lagi menceritakan hujan, mendung sudah datang sedari pagi. Akhirnya saya memutuskan untuk mandi pagi agar badan terasa lebih segar, daripada cuaca yang kelihatan murung. Kali ini saya mau sekali melihat lokasi mural yang lainnya. Ini adalah kali pertama kali saya mengunjungi Lapas Kelas IIB Laing Kota Solok.
Seperti tahun sebelumnya Taman Pramuka menjadi pilihan kami sebagai pusat kegiatan. Dalam rangkaian Tenggara Street Art Festival, lokasi ini menjadi lokasi puncak untuk program publik, sesi gambar bersama. Beberapa waktu lalu, saya menemui Uda Rio, salah seorang pemuda yang cukup aktif mengelola ruang ini untuk berbagai kegiatan. Da Rio menyambut kegiatan kami dan tentu mengingatkan tentang pentingnya menjaga protokol kesehatan serta menghormati aturan lokal.
Setelah para seniman residensi datang dari berbagai kota, pada tanggal 20 November 2020, kami beranjak ke lokasi-lokasi yang akan kita soroti dalam rangkaian Tenggara Street Art Festival. Dari Rumah Tamera (pusat kegiatan) saya dan beberapa kawan berangkat menuju Lapas Klas IIB Kota Solok. Mereka adalah Andang Kelana, Autonica, Dhigel, Verdyan Reyner, Masoki, Teguh, dan Vero. Ini bukan kunjungan pertama saya. Beberapa bulan sebelumnya, saya ke sini bersama kawan-kawan Rumah Tamera untuk mendengar kemungkinan untuk bekerjasama. Ketertarikan ini muncul mengingat agenda Tenggara Festival tahun ini adalah menyoroti ruang-ruang publik atau instansi yang selama ini sulit dijangkau, dalam konteks publik Solok. Beruntung kami punya salah satu teman bekerja di sini.
Masoki, seniman graffiti asal Kota Padang meninggalkan beberapa karyanya saat residensi di Solok. Mulai dari ruang privat seperti kamar warga, dinding rumah warga, tangki penampungan air, hingga mobil bank sampah. Sama dengan seniman lainnya ini juga pertemuan pertama saya dengan Masoki.