Kelekatan: Merindu, Melekat, Menghancurkan 

Teks ini merupakan bagian dari Pengantar Pameran Tamera Showcase #5 – Kamarkost.ch di Rumah Tamera, salah satu presentasi proyek regular yang dikelola oleh Rumah Tamera Hub, dalam menyoroti inisiastif dan proyek-proyek anak muda di Sumatera Barat. Pada seri ke-5 ini, Tamera Showcase menghadirkan Kamarkost.ch salah satu kolektif asal Kota Padang. Pengantar ini ditulis oleh Anggraeni Widhiasih, untuk memperkaya pembacaan mengenai praktik artistik teman-teman Kamarkost.ch dalam konteks kehadirannya di showcase ini.

I

Jika ada salah satu hal yang benar-benar saya pahami betul saat melewati periode awal pandemi covid19, tentu ialah pelajaran tentang bagaimana menambal-sulam kerinduan lewat piksel-piksel yang berpendar di layar gawai. Janggalnya, kegiatan serupa sebetulnya bisa saja diterapkan sejak sebelum pandemi sebab toh fitur-fitur internet sebelum dan saat pandemi tak banyak berubah. Teknologinya sama, hanya kemudian manusia yang mulai menatapnya dengan cara yang beda akibat perubahan konteks.

Pada situasi inilah, kolektif Kamarkost.ch memproduksi karya-karya kolase fotografi dalam seri “Kelekatan”. Berjumlah 29 gambar kolase fotografi, seri karya “Kelekatan” dipamerkan secara daring di platform Instagram akun @kamartkost.ch pada periode waktu 25 – 31 Desember 2021. Jika pada umumnya karya kolase hari ini memilih medium cetak sebagai basis berkaryanya, Kamarkost.ch memilih menggunakan tubuh-tubuh para senimannya beserta benda-benda domestik sebagai komponen kolasenya. Selain itu, alih-alih menempel menggunakan lem, Kamarkost.ch melekatkan elemen-elemen visual dengan stilasi gerakan tubuh yang lalu dibekukan lewat bidikan kamera fotografi.

Aksi-aksi ini menjadi bentuk upaya penerjemahan dan pengutaraan Kamarkost.ch mengenai tema kerinduan, terutama tentang kegiatan-kegiatan bersama di dalam rumah. Dengan meninjau waktu dan konteks pembuatan karya, dapat pula kita baca bahwa seri karya “Kelekatan” ini merupakan bentuk tinjauan ulang pengalaman pada masa-masa penjarakkan fisik yang memaksa manusia berlama-lama di rumah dan menjadi lekat dengan objek-objek yang ada di dalam dan sekitar rumah. Kerinduan inilah yang diterjemahkan lewat upaya melekatkan diri pada benda, ruang, dan imajinasi gerak tertentu. Penerjemahan kerinduan itu sekurangnya terbagi dalam beberapa segmen yaitu segmen berlatar putih, segmen berlatar dinding bata, segmen berlatar moda transportasi, dan segmen berlatar kasur. Masing-masingnya berisi gambar yang secara jumlah sangat variatif. Di dalam gambar, kita bisa melihat tubuh Anisa Nabilla Khairo, Mardi Al Anhar, dan Xabat Puti Ameh melekat dengan benda-benda rumah tangga seperti kasur, jemuran putar, tas, keranjang bayi, tutup keranjang cucian, aneka pakaian, dan berbagai benda rumah tangga lainnya. Ditumpuk, dibolak-balik, diangkat, dikemukakan hingga diselubungkan, benda-benda ini diatur sedemikian rupa agar tidak menjadi asing dengan tubuh-tubuh para seniman. Mereka menjadi seakan satu kesatuan elemen rupa saat penyusunannya menjadikan benda melekat kepada tubuh dan ruang.

II

Sebagai sebuah karya kolase, pilihan membuat kolase dari material 3D yang ditangkap oleh lensa kamera pada karya “Kelekatan” memang cukup tak lazim. Bermula di tahun 1910an dari praktik seniman Kubisme, Georges Braque dan Pablo Picasso, proses membuat kolase memang sejak awal telah melibatkan berbagai medium. Secara bahasa, kata “kolase” merupakan penerjemahan dari kata Bahasa Inggris “collage”, yang berakar dari kata ”coller” dari Bahasa Perancis, yang artinya adalah “melekatkan/menempelkan”. [1] Praktik kolase ini kemudian berkembang merambah melibatkan medium-medium yang berkaitan erat dengan objek-objek yang biasa diproduksi untuk konsumsi massal dan penggunaan komersil. [2] Hal ini membuat kolase relatif identik dengan upaya kritik terhadap budaya konsumsi massal, meski ia tidak harus selalu berlaku demikian. Seiring dengan perkembangan media massa cetak, praktik kolase pun kerap menggunakan material media massa cetak, baik sebagai upaya kritik maupun bentuk kesadaran perkembangan media. Selain itu, tak jarang praktik kolase muncul dalam bentuk photomontage dimana realitas yang diproduksi oleh kamera bukan lagi hanya imitasi atau salinan dari kenyataan, namun juga adalah hasil kerja produksi kenyataan yang terkonstruksi.

Pada “Kelekatan”, ketimbang memotret realitas sebagaimana adanya, kamera justru dioptimalkan potensinya oleh praktik kolase ketubuhan untuk memungkinkan seniman menghadirkan realitas dalam bentuk yang diimajinasikannya; realitas tentang kerinduan. Fotografer Mia Aulia dengan kamera-nya pun memainkan peran penting sebab bidikannyalah yang melekatkan elemen-elemen visual karya ”Kelekatan”, mentransformasikan kolase 3D ke dalam bentuk 2D. Benda-benda keseharian yang biasa kita lihat pun ditarik keluar dari keseharian untuk diletakkan dalam bingkai kamera dan dilekatkan secara visual dengan tubuh para seniman. Baik benda, tubuh, maupun ruang kemudian sama-sama terlepas dari esensi fungsional yang selama ini kita kenal. Mereka sama-sama berubah menjadi gambar, menjadi visual; garis, bentuk, tekstur, warna.

Karya-karya “Kelekatan” dalam segmen berlatar putih. Karya ini dapat disaksikan di akun @kamartkost.ch

Pada segmen yang berlatar putih, lengan-lengan dan tubuh yang dibalut kaus hitam berubah menjadi garis saat mereka melekuk dalam pose yang menggarisbawahi keberadaan warna hitam di atas latar putih. Tas merah muda, jemuran putar merah terang, dan tutup keranjang cucian disebar di dalam gambar dengan intensi yang tak hanya memperkaya warna dan tekstur gambar, namun juga merusak tampilan tubuh manusia yang utuh. Pada titik ini, kekontrasan warna dan garis objel-objek tersebut terasa sangat menarik pandangan mata. Dari pilihan benda yang rata-rata terkait dengan cucian, tahulah kita bahwa terangnya warna-warni ini adalah sebuah pengutaraan tentang rindu yang domestik. 

Karya-karya “Kelekatan” dalam segmen berlatar kasur dan objek transportasi. Karya ini dapat disaksikan di akun @kamartkost.ch

Sedangkan pada ketiga seri lainnya, tubuh dibiarkan terlihat berbalut warna aslinya, baik dengan cara dibiarkan terbuka atau dibalut kain coklat. Meski tak lagi dibalut kain hitam, pose tubuh manusia tetap melekuk, memanjang, dikelitkan dan dibangun untuk menciptakan garis tertentu. Garis-garis ini kemudian ditumpuk dan ditabrakkan dengan garis-garis hitam dari ban, garis-garis perak dari troli belanja, serta garis-garis halus dari kasur yang dijemur. Garis-garis visual yang bertabrakan bertempelan satu sama lain ini membangun kesatuan dan bahasa visualnya sendiri, dalam hal ini adalah pembahasaan tentang rindu yang domestik.

Meskipun benda-benda yang digunakan di karya ini adalah objek yang familiar kita kenali, namun lantas mereka menjadi sedikit asing saat mereka seakan punya hakikat dan hidupnya sendiri, di luar definisi yang berpusat pada fungsionalitas sehari-hari. Keberadaannya bukan lagi soal guna tapi juga soal materialnya itu sendiri dan kesan visual yang mampu ia timbulkan. Pakem komposisi pun digeser dengan gambar-gambar konstruktif yang berupaya mengimajinasikan tentang rindu, rumah, dan lekat. Lekat sebagai metode kolase, lekat secara visual, lekat secara gestur ketubuhan, lekat sebagaimana yang dihasrati dalam sebuah kerinduan.

Memilih memamerkan karya di platform Instagram yang terkenal dengan dominasi citra-citra ideal, gambar-gambar dalam seri “Kelekatan” pun menawarkan gangguan pada citra tentang kehadiran tubuh, ruang, dan benda keseharian. Apa yang disebut dengan estetika Instagram pun diganggunya saat wajah dan tubuh manusia justru dihancurkan bentuknya hingga ia melekat dengan benda-benda keseharian, menjadikan benda dan manusia nilainya sama sebagai gambar. Pun pilihan bendanya tentu bukan benda yang termasuk dalam koridor estetika khas Instagram kekinian baik secara warna, tekstur, maupun bentuk. Namun kesederhanaan dan keumuman benda-benda inilah yang justru membuat gambar-gambar “Kelekatan” sangat terbuka pada berbagai interpretasi. Orang bisa saja dengan bebas menilainya sebagai representasi kehidupan domestik, kenangan masa kecil, hingga bahkan menyoal isu sosial ekonomi.

Kita bisa menganggap pula bahwa sebagaimana hidup sehari-hari yang disalin secara konstruktif ke dalam piksel-piksel berpendar di layar media sosial, gambar-gambar “Kelekatan” pun adalah hasil konstruksi atas kenyataan sebagaimana diimajinasikan oleh senimannya. Potensi gangguan atau bahkan dekonstruktif dalam seri “Kelekatan” pun ditujukan kepada kemapanan citra-citra yang tersebar pada ruang media sosial, sekurang-kurangnya pada linimasa pemirsa akun @kamartkost.ch. Tubuh manusia yang biasanya hadir mendominasi linimasa di Instagram dengan pose-pose tertentu yang terkesan template justru dihadirkan dalam pose-pose janggal sembari bertaut erat dengan benda-benda rumahan. Wajah yang umumnya hadir gamblang justru dileburkan dengan ditempeli secara visual oleh helm, tas, pakaian, atau bahkan tubuh manusia lainnya. Dalam hal ini, aksi melekatkan justru bertransformasi menjadi upaya menghancurkan sebuah pakem komposisi visual tertentu yang telah mapan. 

Menelusuri lebih jauh pemikiran mengenai media kontemporer dan fotografi, Vilém Flusser pernah memaparkan bahwa loop feedback atau lingkaran umpan balik antara gambar dan pemirsanya memungkinkan gambar-gambar berubah menjadi sebagaimana yang diinginkan sang pemirsa, sedangkan para pemirsa pun berubah menjadi sebagaimana yang diinginkan gambar-gambar .[3] Meski pendapat ini ditulis dalam rangka membayangkan fotografi di tengah penemuan teknologi komputer di tahun 1970an hingga 1980an, agaknya pemikiran ini masih cukup relevan untuk dihadapkan dengan situasi fotografi dan masyarakat media kini. Kita bisa meninjaunya terutama pada bagaimana platform seperti Instagram mampu menciptakan sejenis estetika visual tersendiri yang kemudian membentuk selera pemirsa/penggunanya. 

Foto: Salah satu arsip karya Kamarkost.ch di Tamera Showcase #5 (2022)

Media sosial sebagai ruang yang dinamis pun memang selalu memungkinkan adanya lingkaran umpan balik antara gambar dan pemirsanya yang berlangsung tanpa akhir, berkat gerak algoritme. Hal ini secara aktif mampu membentuk hasrat pemirsa, yakni orang-orang yang ada di balik layar gawai yang bergerak dalam jejaring media sosial. Gambar kian berubah menjadi citra ideal yang dihasrati pemirsa. Tubuh, pengalaman, berbagai emosi seperti cinta, kesedihan, kebahagiaan dibekukan sebagai gambar-gambar dengan kekhasan bentuk tertentu yang kemudian mengalami umpan balik hingga menjadi terjemahan ‘ideal’ tentang berbagai hal. Di saat yang sama, sang pemirsa justru semakin berhasrat menjadi apa yang gambar-gambar tersebut citrakan. Sebagaimana Flusser pun mengatakan bahwa aksi memotret dengan segala gerak dan teknik fotografi telah menjadi sejenis pemrograman tubuh bagi masyarakat, gambar-gambar di media sosial secara ritmis pun telah terus memprogram masyarakat; tubuhnya, konturnya, lanskapnya, naturnya, hasratnya, kerinduannya. Dan kita terus berada dalam lingkaran umpan balik antara gambar dan pemirsanya, sebuah proses konstruksi-dekonstruksi yang panjang dan mungkin tanpa akhir.

III

Menelisik ulang 29 gambar kolase fotografi pada seri karya “Kelekatan”, tubuh-tubuh yang berjibaku melekat dengan benda-benda keseharian ini bukanlah tubuh yang menghasrati komposisi indah purna Instagram-able. Tubuh-tubuh ini adalah tubuh yang menghasrati eksplorasi rupa untuk menyingkap gagasan tentang kelekatan, tentang yang lekat, dan mungkin tentang kolase itu sendiri jika meninjau muasal kata ‘kolase’ yang berarti ‘melekatkan’. Ia menyingkap kehidupan material benda-benda dalam gambar, ketimbang hanya mengomposisikannya. Ia melekatkan visual justru untuk merenggangkan sebuah konstruksi di kepala pemirsa tentang sebaran visual pada media Instagram. Ia melekatkan tubuh, benda, dan ruang untuk memaknai rindu pada dalam kondisi berjarak serta rindu pada sebuah kekayaan rupa di media. Dalam metode inilah, justru kesederhanaan benda-benda keseharian yang dihadirkan pada “Kelekatan” memunculkan daya gugah untuk membicarakan hal-hal yang mungkin tidak sederhana, sebagaimana rindu pun memang tak pernah sederhana.

Anggraeni Widhiasih
Jakarta, 2022


[1] “Collage Art – A History of Collage as an Artistic Medium”. ART IN CONTEXT. Diunggah pada 1 Maret 2022. Diakses pada 17 Agustus 2022. https://artincontext.org/collage-art/#:~:text=Collage%20within%20art%20was%20first,cutting-edge%20assemblages%20around%201910

[2] Ibid.

[3] Woodall Richard. Syllabus for the Internet Telematic Society: On Vilém Flusser‘s philosophy of what a camera wants, and what such a perspective misses. Diunggah pada 18 Juli 2022. Diakses pada 16 Agustus 2022. https://reallifemag.com/telematic-society/

Anggraeni Widhiasih terlibat aktif dalam ekosistem kolektif seni dan platform ekonomi eksperimental, praktik-praktik Anggraeni lebih dominan seputar upaya memfasilitasi dan mengelola ruang untuk praktik-praktik yang mengeksplorasi kemungkinan studi dan ekspresi di wilayah seni, sinema, maupun kajian ekonomi-sosial-budaya yang berkaitan dengan rezim dan sistem. Ketertarikannya secara isu relatif ragam seiring dengan ragam keterlibatannya pada berbagai kerja sejumlah kolektif dan jaringannya. Perhatian utamanya terletak pada upaya produksi dan distribusi pengetahuan yang senantiasa berupaya membaca konteks pada sebuah lokasi dengan menempatkan dan mengekspansikan 'care' sebagai prinsip dasar kerja mengelola ruang dan pengetahuan. Kini, ia tengah menjajaki kerja yang berhubungan dengan data dan media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.