Gotong Royong Enam Jam di Jogja

Catatan Penayangan Sinema Pojok: Enam Djam di Djogja (Usmar Ismail, 1951)

Sabtu, 28 Juli 2018, Komunitas Gubuak Kopi melalui program Sinema Pojok memutarkan filem Enam Djam di Djogja karya sutradara Usmar Ismail yang diproduksi tahun 1951. Filem Enam Djam di Djogja memang dihadirkan dengan cara fiktif. Alasannya dibuat dengan cara fiktif karena merasa dokumen-dokumen yang ada masih belum lengkap dan takut akan berpotensi menyinggung berbagai pihak nantinya, akan tetapi keberadaannya saat itu sangat diterima oleh masyarakat Indonesia dengan masih ditayangkannya filem ini hingga era tahun 1980-an di TVRI. Filem ini dikatakan sebagai filem perjuangan Indonesia kedua, setelah filem perjuangan pertama yang juga disutradarai oleh Usmar Ismail dengan judul Darah dan Doa diproduksi satu tahun sebelumnya (1950).

Filem Enam Djam di Djogja hadir berbeda dari kehadiran filem-filem pada umumnya. Tidak ada narasi yang menonjolkan kisah tokoh utama, yang tersaji hanya narasi-narasi yang menggambarkan bagaimana situasi negara Indonesia beberapa tahun setelah proklamasi. Sesuai dengan judulnya, filem ini menarasikan kisah masyarakat Indonesia yang berada di Yogyakarta dengan latar kisah nyata perjuangan saat melangsungkan Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949. Meski hanya berlangsung selama enam jam, namun mampu menunjukan kepada dunia Internasional bahwa bangsa Indonesia belum hancur sebagaimana yang dipropagandakan oleh Belanda kala itu.

Dalam diskusi setelah penayangan filem, Volta salah seorang penonton mengatakan bahwa filem ini lebih didominasi oleh narasi kisah percintaan meskipun pembuatan filem ditujukan untuk melihatkan kerjasama antara masyarakat, tentara dan pemerintah Indonesia. Filem ini memang memiliki tujuan untuk menjadi sarana propaganda Indonesia terhadap dunia Internasional. Bahkan di awal sebelum adegan awal file mini muncul, dihadirkan tulisan-tulisan yang menerangkan latar belakang, tujuan dan penjelasan-penjelasan lainnya mengapa filem ini diproduksi.

Setelah menonton filem ini, beberapa sudut pandang lain tentang kisah perjuangan rakyat Indonesia yang hadir dalam filem Enam Djam di Djogja. Peran golongan wanita misalnya, meskipun tidak menggunakan senjata, wanita tak kalah penting mengambil andil untuk memepertahankan Indonesia. Selain Endang dan Wiwiak, ada pula tokoh wanita lainnya yang sejatinya juga turut mendukung penuh perjuangan rakyat Indonesia kala itu. Ibu Hadi dan Wiwik menjadi salah satu contoh, ia ikut membantu dalam menyiapkan konsumsi dan tempat berlindung bagi para pejuang. Sementara, satu contoh lainnya adalah ibu kos yang rela rumah kosnya dijadikan markas oleh para pejuang yang dipimpin oleh Mochtar meski banyak resiko yang musti siap dia hadapi. Seperti kehilangan suaminya yang ditembak mati saat rumahnya digeledah oleh pasukan Belanda. Meskipun demikian, sekalipun Enam Djam di Djogja mengangkat memainkan narasi tentang semangat perjuangan bangsa, Usmar Ismail juga berusaha menggambarkan pahlawan atau para pejuang bukan berarti tanpa kekurangan. Misalnya yang digambarkan pada saat adegan para kelompok gerilyawan memeras barang-barang milik rakyat. Situasi itu sepertinya memang sulit untuk dapat dihindari.

Kemudian Ade salah seorang penonton berpendapat bahwa produksi filem ini seperti terburu-buru sehingga sedikit sulit untuk dinikmati. Sutradara memang menarasikan kisah tokoh yang hadir dalam filem secara sepotong-sepotong. Ini membuat kita akan sedikit sulit untuk menikmati tayangan filem. Namun, jika kita perhatikan lagi dan mungkin dengan sedikit renungan, cara sepotong-sepotong dalam menarasikan cerita yang dilakukan oleh sutradara yang akhirnya justru merangkum bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia kala itu.

Meskipun demikian, keberadaan sinema kala itu banyak terpengaruh oleh munculnya sinema di era neorealisme. Pada masa ini sinema banyak dimanfaatkan sebagai ajang propaganda pasca perang dunia ke II. Enam Djam di Djogja bisa disebut sudah memainkan perannya sebagai sarana propaganda dari Indonesia terhadap dunia Internasional untuk menunjukan situasi negara Indonesia saat itu.

Mohammad Irvan atau biasa disapa Ipan lahir di Payakumbuh, 20 Januari 1995. Saat ini sedang menjalankan program studi Ilmu Komunikasi di Universitas Riau. Selain itu, sekarang juga aktif sebagai koordinator program alternatif pemutaran film yang digagas oleh Komunitas Sinema Melayu (Sinelayu) di Kota Pekanbaru. Tahun 2017 pernah mengikuti workshop Seni Media “programmer dan kurator gambar bergerak” di Jatiwangi Art Factory, Jawa Barat. Partisipan Lokakarya Daur Subur dalam rangkaian Bakureh Project di Gubuak Kopi, 2018. Ia juga merupakan partisipan Program Magang Gubuak Kopi 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.