Membaca Kembali Bakureh

*Pengantar kumpulan tulisan Bakureh Project #1

Kamis, 7 Juni 2018 lalu, telah selesai dilaksanakannya lokakarya Daur Subur sebagai tahapan awal dari rangkaian Bakureh Project. Pada dasarnya proyek seni ini merupakan proyek seni ke #4 dari Program Daur Subur yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2017. Proyek kali ini dipimpin oleh Delva Rahman, salah seorang pegiat media di Gubuak Kopi. Dalam proyek ini Delva melanjutkan temuan Elfa Kiki Ramadhani yang belum sempat dibahas mendalam pada Lokakarya Daur Subur #2 – Lapuak-lapuak Dikajangi, yang digelar September-Oktober 2017 lalu. Delva melihat sejumlah poin menarik dari isu ini, yang kemudian ia usulkan untuk dibahas lebih lanjut dalam bersama Program Daur Subur. Presentasinya kemudian diperkaya dengan masukan teman-teman lainnya di Gubuak Kopi, dan kemudian kita putuskan untuk merancang proyek ini semaksimal mungkin, dan Delva pun juga berhasil menggalang dukungan dari Cipta Media Ekspresi.

Sejumlah poin-poin yang menarik ini, antara lain berkaitan dengan isu gotong-royong, posisi perempuan dalam kehidupan sosial, dan sistem sosial yang dibangun sebagai kekuatan kolektif masyarakatnya. Bakureh secara harfiah, atau secara umum bagi masyarakat Minang mendekati istilah berusaha, bekerja, atau berkuli dalam konteks tertentu ia memiliki makna yang sedikit kasar. Namun di Solok, bakureh merujuk pada tradisi gotong-royong memasak, dan tidak sesederhana masak bersama saja, ada beberapa adab dan nilai-nilai yang dilanggengkan. Perbedaan istilah tadi kemudian menjadi tantangan tersendiri, semacam pemantik untuk publik Minangkabau mengidentifikasi makna dan pergeserannya, ataupun istilah serupa di kampung halamannya. Kita pun memutuskan untuk mengundang sejumlah partisipan dari berbagai daerah dan disiplin.

Lapuak-lapuak Dikajangi

Pada proyek Lapuak-lapuak Dikajangi, pembahasan difokuskan pada pengembangan praktek bermedia dalam pelestarian (pengembangan) nilai-nilai kebudayaan lokal dan tradisi. Waktu itu para partisipan kita undang untuk mengksplorasi teknologi media sebagai upaya pengarsipan dan jembatan pelestarian nilai-nilai, yang kemudian dipresentasikan dengan peristiwa kesenian, seperti pameran dan pertunjukan, guna menarik atensi publik. Dalam eksplorasi yang melibatkan 7 orang partisipan tersebut, Gubuak Kopi menangkap empat kasus menarik untuk dihadirkan mewakili kuratorial pelestarian nilai-nilai tradisi melalui platform multimedia, kasus tersebut antara lain dipantik melalui isu yang terdapat dalam tubuh tradisi manggaro, silek, bakaua, dan bakureh. (lihat juga: Pengantar Lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi, 2017)

Manggaro, adalah aktivitas yang biasa dilakukan petani di sawahnya untuk mengusir burung pemakan padi. Aktivitas ini mengandalkan beberapa peralatan sederhana seperti ‘orang-orangan sawah’, tiang-tiang yang diatasnya bergayut kantong kresek, kaos partai, dan ada pula yang bertuas, terinstalasi dan terhubung pada satu pondok. Di sana petani mengontrol semua instalasi itu, sementara di sampingnya siaga ketapel yang siap mengagetkan burung-burung. Tradisi ini sangat teknologis, bersamanya turut hadir potensi musikal dan visual. Sembari memainkan peralatan itu, tidak jarang petani meneriakan “auuukkkk…” dalam nada yang minor dan tinggi. Dalam open lab (pameran) yang ditata sebagai gambaran proses lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi ini, manggaro menjadi icon utama. Di halaman galeri, peralatan yang teknologis ini kita tata sebagai instalasi dengan sedikit pembenahan akan potensi visual dan musikalnya. Secara performatif para pengunjung pameran memainkan instaliasi ini dengan sensibilitas masing-masing. Selain itu beberapa bunyi-bunyian tekait aktivitas manggaro di sejumlah titik di Solok, dikomposisi dalam teknik soundscape dan elektroakustik. Di dalam galeri ia menggema. (Lihat juga: Kuratorial Open Lab Lapuak-lapuak Dikajangi, 2017)

Di tengah-tengah galeri, di atas sebuah meja putih, bergerak berulang-ulang sketsa minimalis langkah tigo jo langkah ampek, dari riset para partisipan, diyakini gerak ini sebagai gerak dasar silek tuo yang berkembang di Solok. Selain itu menarik juga melihat ini sebagai studi cikal bakal gerak-gerak dasar dan koreografi tari yang berkembang di Solok itu sendiri. Sedangkan Bakaua, pada dasarnya berlaku sebagai tradisi berdoa bersama sebelum memulai sesuatu yang baik dengan sangat hikmat. Bakaua biasa dilakukan dalam mendirikian rumah, dan lainnya. Namun, dalam hal ini istilah bakaua lebih identik sebagai bagian dari tradisi mendoakan sawah sebelum ditanam kembali. Bakaua biasanya muncul sebagai bagian dari tradisi Tulak Bala[1] dan Alek Kapalo Banda[2]. Tradisi ini pernah tidak dilangsungkan lagi, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, atau dianggap syirik. Tapi ini tentu juga perlu dikaji lebih dalam. Memang tradisi ini dekat dengan yang dinarasikan sebagai kebudayaan sebelum Islam. Namun, mengingat sebuah priode budaya yang cukup panjang, ketika Syech Burhanudin dan jaringannya berhasil meng-islamkan sebagian besar Minangkabau, melalui metode tarekat Sattariah, tradisi-tradisi dapat dimediasi atau digeser maknanya sebagai adab dan turunan dari ajaran Islam. Ia telah melekat dalam kehidupan, sehari-hari sebagai kebudayaan. Kembali pada esensi, agama akhirnya adalah persoalan iman setiap individu dengan tuhannya, adab yang di dalamnya sudah kait-berkait nilai-nilai kearifan lokal, akhirnya berkembang sebagai turunan dari esensi ajaran agama yang berkembang dinamis. Kemudian bakaua kembali dihadirkan di Solok dalam beberapa agenda pariwisata, doa-doa sekilas jadi pertunjukan.

Bakureh dalam hal ini, kita lihat mewakili sistem sosial mengikat kita dalam wujud gotong royong. Bakureh sekilas memang sebuah perkerjaan dapur atau pekerjaan di balik layar, yang jarang kita sadari juga merupakan pupuk penting menumbuh-kembangkan kekuatan sosial kita sebagai masyarakat komunal nan egeliter. Seperti yang dibahas Kiki dalam riset sebelumnya, Bakureh dalam segala kegiatan membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan sosial masyarakat. Bakureh mengajak kita peduli terhadap tetangga kita, sadar bahwa saling kita membutuhkan, sadar akan saling menghargai, dan yang paling penting, bakureh akan mempertemukan kita dengan tetangga dan saudara jauh. Bercanda gurau, gosip-gosip kecil, dan saling meng-update informasi tetangga-tetangga kita. Di sana dapat kita lihat betapa kuat nilai sosial yang ada di lingkungan tersebut. (Elfa Kiki Ramadhani, Gubuak Kopi, 2017)

Kiki sebagai generasi kini mengutip ingatan Dautak Tan Ali, Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Solok, menurutnya, warga yang datang untuk ikut serta menyumbangkan tenaga dalam semua kegiatan kampung, melakukannya dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan berupa materi. Mereka memikirkan atau tidak terlalu mementingkan hukum sosial ini: di saat kita membantu orang sekitar dengan ikhlas, suatu saat jika ia butuh bantuan, ia pun akan dibantu dengan ikhlas oleh orang kampung. Kebersamaan dan rasa peduli terhadap sesama lebih berharga dari pada uang.

Dalam konteks sekarang, bakureh dinarasikan sebagai sebuah aktivitas kolektif zaman yang berbeda dengan hari ini. Di beberapa perkumpulan ibu-ibu kita kembali menggali narasi tersebut, sebagian besar larut dalam nostalgianya, dan setengah diantaranya pesimis ia dapat hidup kembali.

“kini kok ndag baupahan, payah, diak” (sekarang kalau tidak diupah, susah, dik) kata sekelompok ibu-ibu sepakat di sebuah kedai, di Tembok Raya.

Dalam hal ini, kita pun tidak ingin memaksa untuk menghidupkan ini kembali, karena memang situasi sosial dalam garis besar atau pun hal-hal di luarnya telah berubah dan menjadi situasi sosial baru. Pada masa dahulu, memang kalau hendak bergotong-royong setiap warga dapat menggunakan otoritasnya, menghentikan pekerjaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial. Sekarang semuanya serba patron-klien. Dalam hal ini adalah pilihan masyarakat sendirilah untuk menolak ataupun melanjutkan itu, dan kita juga bagian dari masyarakat itu.

Tradisi Yang Terpisah

Di Buluh Kasok, Kabupaten Sijunjung, beberapa kali saya menyaksikan tradisi bararak (arak-arakan pengantin) yang menarik. Kalau biasanya, iringan musik dalam bararak adalah permainan talempong pacik, gandang, dan pupuik, serta detingan penari piring. Di Buluh Kasok, sala satu sanggar binaan Nagari, terdiri dari sekelompok ibu-ibu, membawakan talempong ini tidak hanya memainkan repertoar talempong pacik, tapi juga memainkan beberapa lagu pop yang identik dengan acara pernikahan. Satu oktaf talempong dipecah para beberapa pemain, ditambah pula beberapa ibu-ibu menjadi penyanyi, dan lainnya menjadi pemain ‘organ’, satu orang mendorong gerobak, yang di atasnya tersusun toa dan ampli pengeras suara bersama aki sebagai sumber energinya. Arak-arakan semakin meriah.

Sebagai sebuah kesenian tradisi, biasanya di sebagian besar nagari, arak-arakan berisikan barisan keluarga bako membawa jamba, di belakangan terdapat barisan musik talampong pacik diiringi oleh bapak-bapak. Memang ada pergeseran dari zaman dulu hingga sekarang, tapi saya kira ini menarik tanpa merobah esensi dari arak-arakan itu pada masa sekarang. Secara visual memang agak sedikit unik: gerobak, ampi, toa, organ, dan mic. Tapi sepertinya memang begitulah cara kita menyikapi perkembangan hari ini: teknologi boleh saja tidak diciptakan sesuai kebutuhan kita, tapi kita punya daya untuk mengakalinya. Fenomena ini, kemudian tidak hanya sebagai eksplorasi teknologi, tapi juga sebagai bagian dari pemberdayaan, pengembangan, maupun pendayagunaan teknologi di hari ini.

Oleh sebagaian besar institusi yang bertanggung jawab atas pelestarian tradisi, sering kali memposisikan ‘tradisi’ sebagai barang terpisah dari kebudayaan yang tengah berlangsung. Tidak sedikit yang memperlakukannya sebagai barang antik dari masa lampau, untuk dipajang pada masa sekarang. Praktik ini sering kali mengantarakan ‘tradisi’ pada pendangkalan makna yang tidak besua titik temunya dengan keadaan masa sekarang. Hal serupa juga muncul diberagam diskusi-diskusi mengenai tradisi. Nilai-nilai seolah tidak dapat diadaptasi pada kehidupan sekarang. Seolah-olah kebudayaan ini tidak boleh berkembang, dan generasi kini tidak boleh menentukan.

Cukup kita maklumi, ‘tradisi’ masa lalu, sering kali dianggap telah melewati uji tahan yang membuatnya tidak bisa dipatahkan lagi. Kecemasan akan generasi muda memahami ini dengan gegabah, sering kali muncul dipikiran tetua adat kita, apa lagi hendak ‘memperbaharuinya’. Gubuak Kopi sebagai kelompok yang juga berupaya menggiatkan pelestarian sebagai pengembangan seni dan media, berupaya menggali dan mengkritisi kembali nilai-nilai kebudayaan lokal pada masa lampau untuk ditarik pada masa sekarang. Kita sebagai generasi yang tidak mendapat banyak pendidikan soal kebudayaan lokal, akhirnya harus mendalami itu sendiri dan menemukan narasumber yang memungkinkan untuk menghantarkan kita pada pengetahuan itu. Menelusuri tradisi, tidak pula untuk mengagungkan yang lampau, melainkan untuk memahami kembali nilai-nilai masa lalu yang menghantarkan kita pada hari ini, dan bagaimana kemudian kita harus menyikapinya, merespon persoalan-persoalan kolektif hari ini.

***

Bakureh bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau diidentikkan dengan berkuli, kadang bermakna kasar, kadang candaan. Bahkan di Solok, yang sebelumnya ia diidentikan dengan gotong royong pun mulai menggeser maknanya. Beberapa warga ibu-ibu yang saya temui, dengan kata kunci “tradisi bakureh” hampir semua menghubungkan ingatannya pada tradisi gotong royong memasak. Pada sebagain besar remaja, mereka mengidentiknya dengan bekerja. Kalau orang dari luar Solok, juga mengidentikannya dengan berkuli.

Pada Minggu, 3 Juni 2018 lalu, di Markas Gubuak Kopi, hadir Ibu Suarna untuk membagi ingatannya terkait tradisi bakureh di Solok. “besok kito bakureh di rumah si anu” (besok kita akan bakureh di rumah si anu), demikian ibu Suarna menggambarkannya waktu itu. Maka seperti biasa ibu-ibu ini akan meluangkan waktunya untuk memasak bersama. Tugas ini pun dipahami sebagai sebuah kesenangan, momen untuk meng-update informasi dan bercanda gurau, bertemu tetangga, dan mendalami cara memasak. Tidak jarang, perjodohan berlangsung di sini.

Sebelumnya, ketika topik bakureh kita lempar pada Mak Katik, yang dikenal sebagai tokoh adat dan budayawan Minangkabau, ia mengidentiknya dengan usaha. Sebagian besar contohnya ia gambarkan sebagai upaya individu untuk bertahan hidup dan mencapai citanya. Di hari lain Buya Khairani memperluas maknanya. Bakureh dalam konteks masyarakat Solok, ternyata tidak hanya arisan masak dalam konteks pesta perkawinan dan tidak pula sekedar berupaya dalam pengertian bertahan hidup secara personal. Bakureh dipakai dalam sebagaian besar kegiatan kolektif atau berbasis kemasyarakatan, baik itu alek kawin, kemalangan, dan alek kampuang. Sejalan dengan Buya Khairani, Datuak Tan Ali memunculkan kata bakureh sebuah istilah yang kompleks dan memang tidak bisa diharfiahkan sebagai persamaan kata saja. Defenisinya semakin kaya dan lebih spesifik dari pada sekedar gotong royong, di dalamnya terdapat sistem pengetahuan, adab, mediasi, pesebaran informasi, dan upaya mememperkuat modal sosial.

adat hiduik di dunie tolong-manolong,
adat mati janguak-manjanguak,
adat ado basaliang tenggang,
adat kayo mambantu yang miskin

(adat hidup di dunia adalah tolong menolong, adat mati saling menjenguk, adat ada/berkepunyaan salaing bertenggang/membantu, adat kaya membantu yang miskin)

Bakureh kemudian kita pahami sebagai sebuah kekuatan sosial, yang dibangun dari sistem yang hidup di masyarakat matrilineal di Solok. Di tempat lain ia beragam namanya. Sebelum bakureh dan alek di mulai, kata Buya Khairani, ada proses bandoncek sebagai momen untuk menentukan pemberian bantuan atau patungan bisa berupa uang, tenaga, bahan masak, atau perlengkapan yang dibutuhkan oleh orang yang akan menikah. Setiap daerah memiliki istilah atau nama dan praktek yang berbeda, kalau di Koto Baru, biasanya pihak keluarga yang memberikan bantuan berupa perlengkapan nikah seperti, kain selimut, tempat tidur dan lain-lain, ada juga yang menawari bantuan tenaga, bisa menolong di dapur, mencarikan perlengkapan masak dan lain-lain, maka semuanya akan memiliki peranan masing-masing setelah badoncek dilakukan. Lalu, seperti yang pernah dibahas Kiki sebelumnya, barulah ditentukan bakureh secara teknis, jenis makanan berdasarkan besarnya pesta, memanggil orang bakureh, dan seterusnya.

***

Suasana ibu-ibu masak bersama di Nagari Kinari. (Foto: Ade/Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Istilah bakureh mengandung dua makna yang berseberangan, satu ia dianggap sebagai pekerjaan baupah (berdasarkan upah) dan lainnya ia dilihat sebagai kerja gotong-royong yang kompleks. Jika kita merujuk pada istilah bakureh yang dijabarkan Buya Khairani dan Datuak Tan Ali, ternyata, bakureh bisa kita liat sebagai bagunan sosial di dalamnya terdapat gotong royong, adab, dan sistem ikatan sosial, yang kemudian memberikan dampak sebagai modal sosial kita, masyarakat komunal nan egaliter.

Suatu hari saya mengikuti proses panjang sebuah alek pernikahan, ibu-ibu dan bapak-bapak ikut bakureh. Di dapur ibu-ibu meracik bumbu masak, bersama sejumlah bapak-bapak mengaduk kuali besar, lainnya memeras parutan kelapa menjadi santan dengan alat sederhana. Masakan menjadi hidangan makan alek adat, menarik sebenarnya menyimak aktivitas itu. Memang beberapa pemasak adalah orang bayaran atau diupah. Bakureh hanya sebatas meracik bumbu dan mepersiapkan bahan-bahan. Tidak banyak lagi yang memiliki kemampuan baik dalam memasak randang ataupun gulai cubadak, kalaupun ada mereka sibuk.

Tapi esok harinya, ibu-ibu ini bersama keorganisasian Bundo Kanduang melakukan bararak, lain halnya dengan sebagaian besar arak-arakan yang dikomandoi oleh keluarga bako. Di bakul yang diarak, kini adalah masakan yang telah dibeli, dan beberapa diantaranya ada membawa tadah berisikan amplop saja. Memang secara sosial mereka adalah para pendatang. Tapi juga menganggap ini kampung halamannya, dan menawarkan adab baru. Beberapa orang memang agak ‘pantang’ sekali melihat ini, namun menarik menyimak upaya “kegotong-royongan” itu, dan lagi-lagi upaya pemberdayaan.

 

Albert Rahman Putra
Solok, 11 Juni 2018


[1] Tulak Bala atau menolak bala adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh petani dengan melakukan beberapa kegiatan zikir dan doa untuk meminta pada tuhan agar pertanian mereka tidak terkena hama atau penyakit yang di luar kemampuan mereka mengatasi.

[2] Alek Kapalo Banda, tradisi ini biasanya dilakukan pada masa transisi antara panen dan hendak menanam kembali. Alek ini biasanya diselenggarakan sebagai ungkapan rasa sukur dan doa untuk memulai penanaman agar berkah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.