Manggaro

Pertanian sebenarnya bukanlah istilah yang asing lagi bagi kita. Seperti yang digambarkan di Wikipedia, pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.[1] Sederhananya, kegiatan ini dipahami masyarakat sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam, walaupun dalam pengertian luasnya, termasuk juga kegiatan pembesaran hewan ternak (rising).

Sektor pertanian mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Indonesia, merupakan negara yang sejak dahulu dikenal sebagai negara agraris, bahkan jauh sebelum negara ini berdiri, sebagian besar masyarakatnya telah bergiat di bidang pertanian.  Hasil-hasil pertanian kita, jauh sebelum masa kolonial Belanda sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Seperti yang telah dibahas dalam program Daur Subur (Gubuak Kopi, 2017) sebelumnya, pertanian dan potensi alam yang baik pula, yang kemudian memancing kehadiran bangsa asing untuk menguasai beberapa daerah kita, yang kini kita sebut sebagai bagian dari Indonesia. Namun, dalam perkembangannya hingga kini, terjadi ‘naik-turun’ kualitas pertanian kita di beberapa daerah, baik itu karena kecanggungan berhadapan dengan era modern ataupun kita yang dibuat lupa dengan pengetahuan masa lalu, demi peningkatan produksi semata, dan petani kita seakan ‘alat produksi’ yang bergantung pada pupuk pabrik di kota-kota besar. Tentunya menarik mengingat kita yang dikenal sebagai negara agraris, tapi petani-petaninya belum juga sejahtera. (Daur Subur, Gubuak Kopi, 2017)[2]

Hafiz dan Buk Sanyiam saat manggaro di sawahnya, di Kampuang Jao, Solok. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2017)

Saat ini, kita masih dikenal sebagai negara agraris. Barang kali dikarenakan, potensi hasil pertanian dan perkebunan dikenal sangat melimpah, hingga bisa diekspor ke beberapa negara. Sehingga hal itu bisa meningkatkan ekspor dan pendapatan ekonomi negara. Sejak negara mencanangkan untuk meningkat produksi beras terdapat beberapa daerah yang dikembangkan sebagai lumbung padi nasional. Potensi produksi padi yang besar terdapat di pulau Jawa, Sulawesi, dan Sumatera. Termasuk daerah Solok.

Negeri Solok, yang kini telah dimekarkan menjadi tiga wilayah tingkat dua, menjadi salah satu penghasil beras terbaik. Setidaknya demikian kita mengklaimnya dengan lagu Bareh Solok, yang dipopulerkan oleh Elly Kasim, “bareh Solok, bareh tanamo…” (beras Solok, beras ternama…) demikian penggalan liriknya. Daerah Solok, seperti umumnya di Sumatera Barat, memiliki tanah yang  bagus untuk bercocok tanam dan pasokan air yang berlimpah, termasuk di Kel. Kampung Jawa, Kota Solok, atau yang biasa disebut “Kampuang Jao”.

Sebagian besar penduduk Kampuang Jao adalah pendatang  yang berasal dari luar Sumatera Barat,  yakni,  Jawa, Batak, dan Kaliang (keturunan India). Walaupun penduduknya rarta-rata bukan orang Minang, tapi sebagian besar masyarakatnya juga bekerja sebagai petani. Pertanian di sini cukup beragam seperti sawah, perkebunan coklat, buah naga, durian, singkong, jagung, cabe,  dan lainnya.

Solok atau negeri Minangkabau secara umum, sebagai negeri yang akrab dengan pertanian, tercermin pula pada tradisi dan kebudayaanya. Saya ingin mengajak kita untuk menyoroti beberapa kebiasaan yang menarik untuk kita simak. Terutama kebiasaan yang sudah mulai sukar ditemukan oleh generasi saya ataupun sesudah saya.

Kemajuan zaman tak serta menggerus kearifan lokal. Di Kota Solok sendiri, tradisi “bapupuik jo basaluang  di gaduang sawah” sempat  terdengar. Tradisi ini dulunya lazim digelar anak nagari saat padi mulai menguning. Tradisi ini dilangsungkan oleh sekelompok anak nagari guna menyemarakkan kegiatan manggaro (menghalau burung) di pondok sawah. Uniknya pupuik (puput) yang dimainkan terbuat dari batang padi. Di bagian ujungnya diberi cerobong hingga menyerupai corong yang terbuat dari daun kelapa.

Cara memainkannyapun tidak begitu sulit, ketika puput ditiup biasanya bagian corong sesekali ditutup dengan telapak tangan sehingga menghasilkan suara yang bertingkat dan berirama. Tradisi ini membuat suasana kegiatan manggarao padi menjadi lebih hidup penuh keakraban antar sesama penggarap sawah.

Instalasi manggaro dan jaring untuk mencegah burung memakan padi, di Laiang, Solok. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2017)

Instalasi manggaro dan jaring untuk mencegah burung memakan padi, di Laiang, Solok. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2017)

Manggaro adalah salah satu kegiatan para petani untuk menjaga padinya pada saat stadia padi matang susu (tabik) hingga pemasakan bulir (menjelang panen), atau satu bulan menjelang waktunya panen. Manggaro dilakukan dengan cara menghalau burung dengan bunyi-bunyian atau orang – orangan sawah.

Buk Sanyiam, salah seorang pemilik sawah di Kelurahan Kampuang Jao, yang letak sawahnya tak jauh dari rumahnya. Beliau berasal dari Guguak yang sekarang tinggal di Ampang Kualo. Sampai saat ini beliau menjaga sawah dari burung pemakan padi dengan cara manggaro. Setiap harinya Buk Sanyiam menghabiskan waktunya di sawah, mulai dari jam enam pagi hingga mejelang magrib, kecuali pada saat malam hari.

Sejak dulu Buk Sanyiam sudah memakai cara ini untuk manghalau hama burung yang memakan padinya. Ia membuat sendiri benda-benda yang dibutuhkannya untuk keperluan manggaro. Seperti, tali oyak-oyak, orang-orangan sawah, katapel, umbul-umbul, dan yang lainnya.

Fungsi alat tersebut untuk menghalau gerombolan burung  yang mendekati sawahnya. Alatnya pun begitu sederhana, dan bentuknya pun juga menarik. Karena sawah itu seperti dihiasi instalasi-instalasi unik, yang memiliki nilai seni tersendiri. Bentuk alatnya sangat beragam, dan setiap alat memiliki fungsi yang hampir sama, dengan bentuk yang berbeda.

Ketapel salah satu alat yang digunakan petani untuk menghalau burung memakan padinya. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2017)

Biji buah yang menjadi peluru ketapel, salah satu alat yang digunakan petani untuk menghalau burung memakan padinya. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2017)

Kata Buk Sanyiam, untuk membuat  alat-alat manggaro tidaklah begitu sulit juga tidak mengeluarkan banyak biaya, hanya bermodalkan tali. Bahan-bahannya pun cukup mudah di dapat, hanya memanfaatkan benda-benda yang tidak terpakai. Antara lain seperti, kayu atau bambu yang panjangnya kurang lebih 2 sampai 3 meter, kaleng-kaleng yang telah diisi batu kerikil, baju yang sudah usang / karung, potongan seng, sampah plastik dan tak lupa tali yang cukup panjang.

Merakitnya pun terbilang cukup mudah, kata Buk Sanyiam, hanya menggantungkan kaleng-kaleng yang telah diisi kerikil digantungkan di ujung kayu/bambu, lalu diikat dengan tali. Sebelumnya tali telah digantungkan bermacam-macam warna kantong plastik yang diberi jarak sekitar 30 cm, lalu kayu atau bambu tersebut di tancapkan ke tiap – tiap kotak sawah atau di tempat yang tertentu, hingga tali tersebut terhubung sampai ke pondok. Benda ini biasa disebut Buk Sanyiam dengan marawa (umbul-umbul).

Cara kerjanya sederhana saja, tali yang tadinya telah dihubungkan sampai ke pondok, apabila tali ditarik, maka benda-benda tersebut akan berguncang sehingga menimbulkan bunyi yang menakuti hama burung hingga gerombolan burung akan terbang meninggalkan area persawahan.

Selain menggantung kaleng atau seng, Buk Sanyiam juga menambahkan baju/karung yang juga digantung bersamaan dengan kaleng tersebut agar kesannya terlihat lebih ramai. Bukan itu saja yang saya lihat di tengah sawahnya, ia juga membuat benda menyerupai cara kerja crane yang bergerak dari kiri ke kanan dan diujungnya yang panjang dipasangkan karung, apabila talinya ditarik, alat ini akan bergerak melayang, seperti tangan yang hendak menghalau.

Buk Sanyiam tidak bergantung pada manggaro semata untuk mengusir burung – burung  yang nakal. Ia juga memakai ketapel dan batu sebagai peluru-nya yang diambil tak jauh dari belakang pondoknya. Di situ saya melihat ada yang cukup janggal, Buk Sanyiam ternyata memanfaatkan baju sekolah anaknya yang sudah tidak terpakai, dan ada juga baju-baju partai, dan celana-celana panjang yang juga digantungnya.

Buk Sanyiam juga menggantungkan baju, dan celana yang sudah tak terpakai, hanya saja baju ini memakai ranting kayu sebagai tulangnya, seperti halnya membuat layang-layang, tulang-tulang ini ada juga ditambahi jerami sebagai daging, sehingga ia tetap terlihat sebagai tubuh manusia. Tubuh-tubuh dari jerami itu sebenarnya cukup ringan, benda itu akan melayang-layang jika terkena angin, dan di atasnya juga di gantungkan kaleng-kaleng yang sudah diisi krikil. Kata Buk Sanyiman sambil melambai-lambaikan kayu yang ujungnya juga diberi rumbai-rumbai. Beliau bilang, selain menggunakan tali oyak-oyak, benda ini juga ampuh mengusir burung, dan hama yang lainya seperti tikus, itik, dan ayam warga yang berkeliaran di sawahnya.

***

Seperti biasanya, kalau padi sudah berisi, selain duduk dan menggoyang-goyangkan tali manggaro di pondoknya, ia juga berjalan-jalan mengelilingi sawah sambil melihat dan menghalau apa pun yang berpotensi merusak padinya.

Hama burung terbilang cukup banyak di kawasan pesawahan Buk Sanyiam, apalagi letak sawahnya dikelilingi oleh pepohonan yang cukup lebat, tempat burung – burung beristirahat.

Sebenanrya, selain instalasi manggaro seperti yang dibuat oleh Buk Sanyiam, di Sumatera Barat juga ramai mengantisipasi hama burung ini dengan menggunakan jaring. Sawah-sawah di sekitaran Solok pun banyak yang menggunakannya. Selain lebih simpel, kita juga tidak perlu menunggui sawah setiap saat.

ibuk ndk punyo jariang do, kalau di bali hargo saguluang tu haragonyo tujuah puluah lapan ribu lo ciek, sawah nan ka dilampok sagadang ko a, ma ka tabali dek buk sabanyak tu” …(ibuk tidak memiliki jaring, kalau dibeli harga satu gulungnya tujuh puluh delapan ribu, sawah yang akan ditutupi sebesar ini, dan ibuk tidak punya uang untuk membelinya sebanyak itu)”, kata Buk Sanyiam sambil memantau sawahnya yang cukup luas.

Beberapa spesies burung yang meresahkan petani ini antara lain seperti burung pipit, burung gelatik, burung dan burung gereja. Spesies burung yang paling sering menimbulkan kerugian serius pada tanaman padi adalah burung pipit yang biasanya menyerang secara berkelompok dari puluhan hingga ribuan jumlahnya.

Burung ini lebih suka tinggal di kawasan banyak pepohonan yang tak jauh dari tanaman padi. Puncak aktivitas harian burung hama padi adalah pagi dan sore hari. Ketika musim kawin burung ini akan lebih ganas menyerang tanaman padi pada saat musim hujan.

Salah satu alat manggaro, yang digunakan petani untuk menghalau burung memakan padinya. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2017)

Seng manggaro, salah satu alat yang bisa menimbulkan bunyi-bunyian, digunakan petani mengusir burung yang akan memakan padinya. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2017)

Selain manggaro dengan menggunakan tali oyak-oyak, petani di Kampuang Jao yang sebagian besar penduduknya yang bekerja sebagai pegawai dan pedagang, beralasan untuk tidak manggaro ke sawah, karena sibuk dengan pekerjaanya, dan tidak sempat untuk merawat sawah, apalagi setiap hari harus ke sawah.

Mereka mempunyai cara tersendiri untuk tidak membuang-buang banyak waktu untuk manggaro, yakni, dengan memasang jaring seperti yang saya tanyakan tadi. Jaring ini terbuat dari benang nilon. Dianyam seperti halnya jaring ikan atau jaring pada umunnya. Pori-porinya lebih rapat. Benda tersebut dibentangkan di atas permukaan tanaman padi, hingga seluruh tanaman padi terlindungi oleh jaring tersebut. Dan apabila burung memaksa masuk, tidak jarang kaki burung tersebut akan tersangkut, dan terperangkap. Dengan cara yang lebih praktis ini, bisa lebih banyak menghemat waktu dan tenaga untuk pekerjaan yang lain, dan hanya menunggu ketika waktunya panen tiba.

Burung bukanlah satu-satunya musuh bagi petani di sawah, selain itu seperti hama wareng, tikus, walang sangit dan keong sawah, ulat, dan masih banyak yang lainnya. Saya pernah berkunjung ke setiap hamparan sawah yang luas di berbagai daerah Solok  dan sekitarnya. Saya ditemani oleh rekan saya yang bernama Volta. Ia cukup tau banyak di mana area persawahan yang luas, dan ia juga memiliki sedikit pengalaman tentang bertani sebelumnya.

Ada beberapa diantaranya yaitu, di daerah Salayo, Sawah Solok, Panyangkalan, Kinari, Muaro Paneh, Tabek, Bukik Tandang, Pincuran Gadang, Taratak, dan  Payo. Dari sebanyak lahan persawahan, yang saya kunjungi pertama kali adalah daerah Sawah Solok di Sinapa Piliang. Di sana  saya tidak melihat satupun aktivitas manggaro. Jangankan manggaro, tali oyak-oyak pun tidak satupun yang tampak, dan tidak satu pun yang menggunakan jaring untuk melindungi padinya, walaupun padi-padi pun sudah mulai berisi.

Jaring pinggiran untuk mencegah itik, ayam, dan hewan lainnya yang mungkin memasuki sawah. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2017)

Di sana saya bertemu seorang petani bernama Pak Yon. Ia sedang memperbaiki pagar sawahnya menggunakan jaring. Beliau memasang jaring di sekeliling sawah supaya tidak ada ayam/itik yang masuk ke sawah miliknya. Dari mereka saya tahu, area Sawah Solok yang luas ini sangat jarang di serang hama burung. Kalau pun ada itu musiman, dan panen kali ini sepertinya tidak ada. Lalu di Muaro Paneh, Kinari, dan Panyangkalan, saya hanya melihat sekelompok kecil burung (pipit) yang berkeliaran di area persawahan, di situ saya juga tidak melihat aktivitas manggaro, tapi saya melihat ada sedikit tali oyak-oyak yang terpasang, tapi hanya dipinggirannya saja yang dipasangi.

Di lokasi yang berbeda saya melihat ada sawah yang sedang panen dan aktivitas petani yang sedang manyabik, (memotong batang padi dari pangkal dengan sabit) dan malambuik / manongkang (merontokkan padi dari batangnya) alat yang digunakan disebut tongkang. Saya langsung turun ke sawah dan melihat-lihat proses pemanenan, saya juga mengambil rekaman suara aktivitas saat malambuik/manongkang juga beberapa dokumentasi untuk proyek “Lapuak-lapuak Dikajangi” (Gubuak Kopi, 2017). Di sebelahnya ada juga yang sedang maangin (menyaring padi yang berisi bulir dari daun dan padi hampa yang ikut rontok setelah manongkang)

Maangin dilakukan setelah malambuik, biasanya saat malambuik tidak hanya butiran padi saja yang rontok, daunya juga ikut rontok, dan ada juga padi yang ampo (kosong) juga ikut rontok. Maangin memakai alat yang biasa disebut pompa padi, cara kerjanya adalah dengan memasukan padi kedalam bak yang dibawahnya terdapat kipas yang  apabila tuasnya di putar, maka padi yang turun akan jatuh kebawah dan lansung dikipas dan memisahkan padi yang berisi dengan daun atau padi hampa tersebut. Setelah itu, padi yang sudah dianginkan akan di masukkan ke karung dan di bawa ke huller untuk proses penumbukan/dikupas kulitnya hingga menjadi beras.

***

Instalasi manggaro di Galeri Gubuak Kopi, setiap pengunjung dapat memainkannya. Selain itu alat ini juga mainkan secara peformatif oleh parstipan Lapuak-lapuak Dikajangi, dengan memainkan pola-pola tertentu untuk memunculkan potensi musikal, visual, dan teknologis alat tersebut. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2017)

Hafiz (Penulis) mempresentasikan risetnya terkait manggaro di Galeri Gubuak Kopi, dalam rangkaian lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2017)

Beberapa hari sebelumnya, dalam rangkaian proyek Lapuak-lapuak Dikajangi yang digagas oleh Gubuak Kopi melalui program Daur Subur, antara lain Albert Rahman Putra (Penulis/Pegiat Budaya) dalam materinya menjambarkan sejumlah aktivitas kesenian di Minangkabau yang sangat berkaitan erat dengan kultur pertanian masyarakatnya. Sejumlah besar kesenian, yang kini kita kenal sebagai hiburan rakyat, hadir guna merayakan pertanian dan tradisi-tradisi lain yang mereka anggap penting. Merayakan itu tidak selalu dengan pesta adat yang besar. Kita bisa melihat kesenian seperti pupuik batang padi tadi, selain berfungsi di pesta, ia juga aksi iseng seorang petani menunggui padinya. Di Silungkang, Albert juga memaparkan kesenian Talempong Botuang, yang terbuat dari bambu, sangat sederhana, tetapi bunyinya syahdu. Ia semacam eksplorasi yang lebih sempurna pentungan bambu. Ia biasa dimainkan petani sambil menunggui padinya.

Menurut Albert, kesenian khas Minangkabau, ataupun alat musik tradisi di negeri lainnya, biasanya merupakan eksplorasi maksimal menggali potensi musikal ataupun visual dari bahan-bahan yang ada di sekitar mereka dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Saluang, pupuik, talempong botuang, dan lain sebagainya. Lain halnya dengan talempong logam, kemewahan tersendiri, tetapi ia memainkan lagu-lagu yang berangkat dari situasi sekitarnya.

Lalu, sebagai mahasiswa seni rupa, menggarap proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi ini, saya terkejut sejenak, Albert selaku kurator program tiba-tiba bertanya, “mungkin nggak manggaro untuk kita lihat sebagai seni rupa Sumatera Barat?”

Tentu saja mungkin, tapi yang mengagetkan adalah kita yang selama ini belajar seni rupa secara akademis, merunut estetika seni rupa dari pandangan sejarah seni rupa barat. Saya kira, rekan-rekan se-perkuliahan juga berfikiran sama, setiap diskusi kita selalu bicara “seni rupa yang dirujuk dari estetika “barat”, kalaupun membahas lokal tidak lain hanya sebagai “objek”, semisal membicarakan petani di atas kanvas. Kanvas?, kain itu tidak pernah ada dalam keseharian masyarakat kita. Memang dalam riset kala itu kita menemukan beberapa seniman yang senang memanfaatkan benda-benda sekitarnya untuk dirakit sebagai “poroduk” kesenian, tapi ia sering kali personal.


*Tulisan ini adalah bagian dari buklet publikasi post-kegiatan Lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi (Gubuak Kopi, 2017), dipublikasi kembali sebagai bagian dari distribusi arsip.


[1] Pertanian. Wikipedia Bahasa Indonesia (https://id.wikipedia.org/wiki/Pertanian)

[2] Kumpulan Tulisan Daur Subur, Gubuak Kopi, 2017 (versi digital: https://gubuakkopi.id/2017/07/31/kumpulan-tulisan-daur-subur/). Pembahasan terkait bisa dilihat pada artikel “Membaca Kembali Pertanian Dulu dan Kini” dan “Dinamika Kultur Tani”

Hafizan (Padang, 1995) biasa disapa Spis. Pernah kuliah di Pendidikan Seni Rupa di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Padang. Saat ini, ia aktif dalam berkesenian di bersama komunitas-komunitas seni di Sumatera Barat. Ia juga merupakan partisipan dari Lokakarya Daur Subur: Lapuak-lapuak Dikajangi #1 yang digelar Gubuak Kopi di Solok (2017), dan Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk, yang digelar oleh Gubuak Kopi berkolaborasi dengan PKAN Padang Sibusuk (2018). Pada tahun 2018, ia juga terlibat sebagai salah seorang seniman kolaborator dalam proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #2 di Solok.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.