Bakureh, Tradisi, dan Perempuan Minangkabau

Juni 2018 menjadi awal perjalanan kami bertujuh sebagai pendekarwati Daur Subur, sebuah platform yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam usaha mengarsipkan dan memetakan kultur pertanian di Sumatera Barat. Program ini memberi kesempatan pada kami untuk memperlajari kultur pertanian dari sudut pandang media berbasis komunitas. Program Daur Subur periode Juni-Agustus 2018 ini mengangkat tema “Bakureh” yang dikonsep dalam “Bakureh Project”, sebuah proyek memetakan aktivitas bakureh di lingkungan masyarakat Sumatera Barat. Pada awalnya, kami akan difokuskan pada bakureh sebagai kegiatan memasak kaum ibu dalam acara-acara besar seperti pernikahan, aqiqah, khatam, pengangkatan penghulu (batagak panghulu) atau bahkan upacara kematian. Namun, seiring berjalannya waktu, isu yang kami angkat berkembang, yakni mengupas bakureh lebih mendalam secara keseluruhan, baik itu dalam konteks memasak kaum ibu, maupun dalam konteks bekerja “berkuras tenaga”. Tujuh orang yang dimaksud adalah Sefniwati (Sefni), Nahlia Amarullah (Nahal), Olva Yosnita (Olva), Dyah Roro Puspita Amarani (Roro), Annisa Nabila Khairo (Ica), Nurul Haqiqi (Qiqi) dan saya sendiri. (Lihat juga: Profil Partisipan Bakureh Project)

Rangkaian pembekalan dimulai sejak tangal 1 Juni 2018. Pembekalan yang kami dapatkan berupa materi Literasi Media dari Albert Rahman Putra dan Delva Rahman di hari pertama. Dilanjutkan dengan materi Adat Istiadat Minangkabau dari Mak Katik dan Kultur Bakureh dari Bundo Kanduang Suarna di hari kedua. Pada hari ketiga, kami kembali medapat pembekalan dari Albert, yakni materi Metode Riset. Di hari terakhir pembekalan, yakni hari keempat, kami mendapat materi Kultur Bakureh sebagai Adat Istiadat Minangkabau dari Buya Khairani. Setelah rangkaian pembekalan tersebut, barulah kami memulai observasi awal pada sore hari di hari keempat, 4 Juni 2018 tersebut. Obeservasi awal dilakukan untuk mengumpulkan informasi awal mengenai bakureh, tradisi dan perempuan Minangkabau. Hasil observasi awal inilah yang nantinya akan menentukan fokus riset masing-masing pendekarwati. Observasi awal dilakukan secara terpisah namun tetap berkelompok. Diiringi oleh satu sampai dua fasilitator. Saya mendapat kesempatan bekerja sama dengan Nahal, dan diiringi  Riski dan Volta sebagai fasilitator.

Kelas Metode Penelitian bersama Albert Rahman Putra di Pandopo Taman Bidadari, Kota Solok, 3 Juni 2018. (Foto: Arsip Gubuak Kopi)

Mencari Isu

Riski, Volta, Nahal dan saya berangkat dari markas Gubuak Kopi ke Koto Baru dengan mengendarai dua motor. Perjalanan dimulai sekitar pukul 3 sore. Di sepanjang perjalanan, saya tidak begitu memperhatikan keadaan lingkungan sekitar. Tapi, sekilas saya melihat bahwa Kota Solok sudah mengalami modernisasi. Kami sempat terjebak macet karena ada beberapa truk yang berjalan berpapasan di jalan yang tidak begitu besar, dan terdapat pohon besar yang cukup rendah di pinggirnya. Truk-truk tersebut sedikit kesulitan untuk melintas karena ranting-ranting pohon yang menjuntai ke tengah jalan dan tersangkut ke bagian atas salah satu truk. Truk terpaksa jalan perlahan sambil dibantu knetnya, agar pohon tidak tertarik dan rubuh. Dalam keadaan macet tersebut, tampaklah kendaraan bermotor yang mulai memadati jalanan, yang menurut saya, merepresentasikan  modernisasi yang dialami masyarakat Solok. Truk-truk yang membuat macet jalanan pun menunjukkan indikasi adanya “pembangunan” di sekitar Solok. Begitu pula dengan rumah-rumah yang berdiri di sepanjang jalan yang sudah berdinding batu dan tampak masih baru. Beberapa tanah lapang bekas persawahan juga mulai dibangun gedung, yang menurut perkiraan saya adalah rumah penduduk. Tidak banyak sawah luas yang terbentang. Tidak ada lagi rumah penduduk yang bergonjong, hanya beberapa gedung pemerintahan saja. Hal ini, menurut asumsi awal saya, juga dapat merepresentasikan keadaan sosial masyarakat Solok yang sudah mulai berjarak dengan adat budayanya.

Perhatian saya sempat terpaku pada bentangan sawah luas yang hijau di sisi kanan jalan, sebelum kejadian macet.  Di tengah-tengah sawah, terpasang nama “SAWAH SOLOK” . Ada  tiga  landmark yang terpasang. Saya, yang waktu itu berboncengan dengan Riski, menanyakan hal tersebut. Riski menjelaskan bahwa sawah tersebut milik masyarakat setempat yang juga dikelola oleh pemerintah sebagai destinasi wisata. Saya berasumsi bahwa “Bareh Solok” yang sering disebut-sebut itu barasal dari sini. Dan Riski mengamini asumsi saya tersebut sambil terus melajukan motor ke arah Koto Baru.

Tak jauh setelah kami masuk ke gang yang menuju rumah Riski, saya melihat sekilas aktivitas menjemur padi (maampai padi). Ada beberapa orang laki-laki yang sedang bekerja dan ada sekitar tiga-empat gundukan padi yang belum dikaka.  Pengamatan saya hanya sampai di situ karena Riski melaju cukup kencang sehingga saya tidak sempat mengajaknya berhenti sebentar. Saat di perjalanan pulang pun, saya sudah lupa dengan aktivitas tersebut. Padahal, pemandangan tersebut memunculkan asumsi baru di kepala saya bahwa mungkin saja tradisi dan adat istiadat Minangkabau di daerah sini belum seutuhnya luntur. Dan mungkin saja dalam aktivitas tersebut ada “bakureh” –nya.

Kiri-kanan: Volta, Ama, Risky (Belakang), dan Nahal di kediaman Ama

Rumah Riski berada di pertigaan antara jalan utama gang dan gang yang lebih kecil. Karena saya masih baru di Solok ini, saya tidak tahu ada apa di ujung jalan utama gang, dan ada apa di gang kecil tersebut. Saya dan Nahal hanya mengekor Riski dan Volta yang setibanya di rumah langsung saja masuk ke dalam. Ibu Riski (kami memanggilnya Ama), yang kemudian saya ketahui bernama Hermita, sedang memantau kerja tukang. Rumah Riski sedang dicat ulang, dan sore itu tukang sedang mengecat bagian atap ruang tamu.  Setelah dipersilakan duduk oleh Ama, Riski pun menjelaskan maksud kedatangan kami, yakni sedang mencari narasumber yang bisa ditanyai tentang bakureh. Ama menawarkan beberapa nama yang sekiranya paham perihal ini. Namun, Nahal langsung berinisiatif menanyakan pengalaman Ama. Ama dengan begitu saja menjadi narasumber pertama kami.

Menurut Ama, bakureh  merupakan tradisi yang sudah pasti selalu ada dalam acara-acara besar seperti pernikahan atau aqiqah. Sampai sekarang pun, aktivitas bakureh masih tetap ada meski di beberapa kasus, pemilik acara memilih memakai catering.

Tapi di siko, alun ado yang saratus persen pakai catering sen. Pasti ado agak saketek bakureh juo (Tapi di sini (Koto Baru), belum ada yang memakai catering saja seratus persen. Pasti tetap ada yang bakureh untuk memasak makanan barang sedikit).”

Ama juga menjelaskan bahwa kesepakatan akan diadakannya bakureh, misalnya dalam suatu pesta pernikahan atau alek, sudah dibahas oleh keluarga sebelum mengundang para tetangga. Ada tiga tahap perencanaan alek secara umum. Pertama mendiskusikan rencana alek dan bakureh bersama keluarga inti atau disebut juga dengan Sipangka, sebagai orang yang menyelenggarakan alek. Tahap ini disebut baiyo-iyo sakaluarga, yakni tahap perencanaan. Kemudian, memberitahukan kabar tersebut kepada niniak-mamak. Tahap ini lebih dikenal dalam istilah lokal sebagai baimbau mamak. Tujuannya adalah meminta penilaian dan persetujuan dari niniak-mamak tentang perencanaan sebelumnya. Barulah setelah rencana disetujui, berita pernikahan disebarluaskan ke keluarga besar dan keluarga sasuku[1] dengan cara mengumpulkan keluarga besar, atau disebut dengan tahap babaua mamak. Rentang waktu yang dibutuhkan untuk melewati proses ini kurang lebih sebulan. Barulah setelah itu, Sipangka mengundang para tetangga untuk bakureh. Umumnya undangan ini disebarkan secara lisan dari rumah ke rumah oleh pihak Sipangka sekitar tiga hari sebelum acara. Namun, apabila pestanya cukup besar, yang akan dimasak juga biasanya akan lebih banyak, sehingga semakin banyak pula waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan makanan. Maka, biasanya tujuh hari sebelumnya para pelaku bakureh sudah mulai mengangsur mempersiapkan bumbu dan menggulai.

Sebelum kaum ibu memulai aktivitas bakureh dalam artian “memasak bersama”, kaum bapak biasanya bakureh dalam artian bergotong royong mendirikan tenda atau dapur dadakan untuk memasak, yang kalau di daerah Koto Baru disebut “Rumah Kajang”. Oleh sebab itu, istilah bakureh di Koto Baru pada zaman dahulu juga disebut “mandirian tenda”. Namun, pada zaman dahulu, tidak sebatas mendirikan Rumah Kajang, tetapi juga mendirikan tenda pelaminan, yang pada zaman sekarang tanggung jawab tersebut sudah diambil sepenuhnya oleh orang pelaminan. Setelah kaum bapak mendirikan Rumah Kajang, barulah kaum ibu mulai mempersiapkan bumbu dan memasak. Sehari sebelum alek, di saat makanan sudah selesai dimasak semuanya, makanan dimasukkan ke dalam sebuah ruangan yang disebut “Biliak Samba”. Malam harinya, secara alamiah akan berlangsung malam batanggang, yaitu malam makan dan minum bagi para muda-mudi sambil menjaga sambal atau lauk-pauk atau makanan yang sudah dimasukkan ke Biliak Samba. Malam batanggang disebut juga malam bajago samba (malam menjaga lauk-pauk).

Apa yang dijelaskan oleh Ama, sama dengan yang dijelaskan Bundo Kanduang Koto Baru, Tek Erih, yang menjadi narasumber kedua kami. Kami mengunjungi Tek Erih berdasarkan saran dari Ama, karena beliau dianggap sebagai orang yang paham dengan adat dan tradisi bakureh ini. Sekitar pukul 4 sore, setelah mengobrol dengan Ama, kami berempat beriringan ke tempat Bundo Kanduang. Sebelumnya, Riski memberitahu bahwa bangunan terbengkalai di sebelah rumahnya adalah contoh nyata “Rumah Kajang” yang dimaksud Ama. Bangunan tersebut terbuat dari bambu, mulai dari tiang-tiang penyangganya atau pondasi semi permanen, sampai ke kerangka atap. Kemudian, bagian atapnya ditutup dengan seng. Bagian kiri, kanan, depan dan belakang dibiarkan terbuka. Di tengah-tengah Rumah Kajang memang terlihat bekas api tungku. Sayangnya, Rumah Kajang tersebut sudah mulai tertutup semak belukar, dan menjadi tempat menaruh gerobak motor.

“Berarti Rumah Kajang tu emang dipadiaan tagak se yo, Ski? (Berarti, Rumah Kajang memang dibiarkan berdiri begitu saja, ya, Ski?)” tanya saya kepada Riski di perjalanan menuju rumah Bundo Kanduang.

“Ndak juo do, Kak. Biasanyo, babarapo hari setelah alek, Rumah Kajang tu dirubuahan. Tapi nan iko emang dipadiaan se jo Ibuk yang punyo alek, dek tanah tu tanah kosong. Jadi ndak ado yang tagaduah. (Tidak juga, sih, Kak. Biasanya, beberapa hari setelah pesta, Rumah Kajang akan dirubuhkan. Tapi yang ini memang dibiarkan saja oleh Ibu yang berpesta waktu itu, karena tanah itu tanah kosong. Tidak akan ada orang yang terganggu).”

Sesampainya di rumah Bundo Kanduang, kami tidak langsung bertemu Tek Erih, karena beliau sedang solat Asar. Kami menunggu di depan rumahnya sambil mengamati tanaman di depan rumah Tek Erih yang tumbuh subur. Saya juga terkejut saat melihat seekor Jawi atau sapi di samping rumah Tek Erih. Jawi tersebut menurut saya berbadan lebih besar dari yang pernah saya lihat. Cukup menarik bagi saya yang tinggal di kota Pekanbaru, yang jauh dari pemandangan seperti ini. Bagi saya keberadaan jawi ini atau ternak lainnya, serta banyaknya tanaman di pekarang rumah seseorang, menunjukkan kedekatan orang tersebut pada tradisi budaya dan adat istiadat. Artinya, asumsi awal saya tadi mulai dipatahkan, atau mulai berubah. Lingkungan kota Solok bisa saja sudah terkontaminasi modernisasi, namun sepertinya, di daerah kampong seperti Koto Baru ini, belum seutuhnya tercemar lajunya modernisasi atau perkembagan zaman, meski mobil dan motor sudah mulai banyak berlalu lalang di gang rumah Riski tersebut.[2]

Tek Erih muncul tidak lama kemudian dan mempersilakan kami masuk dan duduk. Riski langsung saja menjelaskan maksud kedatangan kami. Tek Erih lalu menjelaskan apa yang dimaksud tradisi bakureh di Koto Baru. Kata beliau, Bakureh dalam tradisi Koto Baru lebih dikenal dengan sebutan “Manolong memasak ka dapua” (menolong memasak ke dapur) atau “mangalamai” (membuat galamai). Disebut mangalamai sebab salah satu makanan wajib dalam alek Koto Baru adalah galamai. Makanan wajib lainnya adalah salamak (nasi ketan), samba randang dan gulai. Galamai merupakan makanan ringan yang berbahan dasar tepung beras ketan, gula saka, dan santan, yang dalam pembuatannya membutuhkan tenaga yang banyak untuk mengaduk adonan dalam jumlah banyak.[3] Galamai hampir mirip dengan dodol. Akan tetapi, galamai lebih kenyal dan lembut dibandingkan dengan dodol. Galamai berwarna hitam pekat dan umumnya dicampur dengan potongan kacang tanah, sehingga menjadi lebih renyah. Rasanya manis dan gurih. Selain dalam alek, galamai juga dapat ditemukan di toko oleh-oleh makanan khas Minangkabau.

Tek Erih juga menjelaskan bahwa dalam tradisi bakureh di Koto Baru, pihak yang memasak adalah kaum ibu. Sementara kaum bapak mendirikan Rumah Kajang yang lokasinya di pekarangan rumah tempat pesta berlangsung, membantu mengangkat yang berat-berat, seperti mengangkat tungku, kuali atau mencari kayu. Kaum bapak juga bertugas menjadi janang, yang dalam konteks Koto Baru merupakan orang yang bertugas sebagai penghidang makanan untuk niniak-mamak.

Kiri-kanan: Volta, saya, Tek Erih, dan Nahal

Dalam konteks Koto Baru, tidak dikenal pembagian tugas dalam bakureh. Para tetangga yang menolong memasak biasanya sudah paham apa yang harus dikerjakan, sehingga pembagian tugas terjadi secara alami. Para tetangga datang dengan membawa pisau sendiri agar pekerjaan mempersiapkan bumbu bisa diselesaikan dengan mudah dan cepat. Sementara alat masak lainnya seperti kuali, disediakan oleh Sipangka. Namun, ada satu orang yang mendapat tugas penting, yang dikenal dengan istilah Rubiah, yakni juru kunci Biliak Samba (pemengang kunci bilak). Biasanya, Rubiah adalah orang yang dipercaya keluarga Sipangka, yang bisa saja tetangga yang dipercaya atau memang anggota keluarga. Rubiah bertanggung jawab dalam mengeluarkan makanan yang dibutuhkan saat acara, berhak menyuruh seseorang untuk menyendok lauk-pauk ke piring, untuk kemudian dihidangkan.

Di Koto baru juga tidak ada istilah baupah (diupah atau dibayar). Artinya, bakureh dilakukan secara sukarela dan bergotong royong, sebagai bentuk bantuan dari para tetangga untuk keluarga Sipangka. Meskipun begitu, secara adat, keluarga Sipangka tetap wajib mengundang tetangga secara langsung, untuk membantunya memasak di dapur. Undangan ini sebagai perpanjangan hubungan silaturrahmi antara Sipangka dan tetangga. Saling mengundang ini menunjukkan kuat-lemahnya rasa kekerabatan kita dalam bertetangga. Selain itu, kata Tek Erih, kewajiban mengundang dan datang bakureh sudah tradisi dari nenek moyang, sehingga apabila misalnya salah satu tetangga lupa atau tidak diundang bakureh, tetangga tersebut tidak akan datang. Umumnya, kejadian seperti ini memang tidak dipermasalahkan atau dimasukkan ke dalam hati. Sebab, masing-masing orang sudah paham bahwa dalam keadaan baralek, kita bisa saja tidak fokus dan melupakan beberapa hal, seperti mengundang salah satu tetangga, misalnya.

“A, makan se lah gulai cubadak tu sorang (makan saja gulai nangka itu sendiri),” kata Tek Erih mencontohkan salah satu gurauan yang biasa diucapkan tetangga yang tidak diundang bakureh. Sipangka cukup menjelaskan alasannya, dan pihak yang tidak diundang akan mengerti dengan sendirinya.

Alun pernah ado yang sampai bacakak dek iko lai do (Belum pernah ada yang sampai bertengkar karena itu).” Tek Erih menekankan.

Tek Erih juga menjelaskan bagaimana hubungan timbal balik berlaku dalam tradisi bakureh. Perlakuan kita kepada tetangga bisa berbalik ke diri kita sendiri. Ini seperti bermain julo-julo atau arisan, dimana kita akan mendapatkan apa yang kita berikan kepada orang. Jika hubungan bertetangga kita jaga dengan baik, serta rajin menolong orang memasak atau bakureh, maka akan banyak pula orang yang datang menolong kita nantinya. Di Koto Baru, tradisi ini masih dipegang, demi keamanan dan kenyamanan masyarakat sendiri. Ada kesadaran dari masing-masing orang untuk saling menjaga hubungan baik. Karenanya, di Koto Baru, tradisi gotong royong bakureh ini masih terus terjaga dan berlangsung secara sukarela.

Bundo Kanduang Koto Baru ini juga menyinggung sedikit tradisi bararak (arak-arakan) dalam alek di Koto Baru. Kemudian, karena rasa penasarannya, Volta memancing Tek Erih untuk menjelaskan lebih lanjut. Tek Erih menerangkan bahwa biasanya, bararak di Koto Baru terdiri dari 6 macam bararak, yang ditentukan oleh banyaknya rombongan bararak. Enam macam bararak tersebut adalah arak 7, arak 9,  arak 12, arak 16, arak 24 dan arak 32. Arak 12 dan arak 16 biasanya menunjukkan bahwa alek disertai dengan membantai atau memotong kambing. Sementara arak 24, berarti membantai jawi atau sapi. Arak 32, mengindikasikan alek yang disertai membantai kerbau. Yang ikut dalam bararak adalah mempelai wanita dan kaum ibu yang menjunjung makanan di atas kepalanya menggunakan cawan dan dulang. Misalnya, dalam arak 12, rombongan dibagi ke dalam dua kelompok; delapan orang menjunjung masakan seperti galamai, salamak, samba randang, gulai, kukuh, paniaran pisang[4], siriah (sirih) dan nasi; lalu empat orang lainnya yang berpakaian putih-putih, yang terdiri dari anak daro (mempelai wanita) kakak rarak atau adiak rarak (pendamping anak daro) dan dua orang pembawa cawan yang berisi lauk-pauk dan gulai.

Informasi ini kemudian menarik perhatian saya. Sebab, saat pemberian materi dua hari sebelumnya bersama Bundo Kanduang Tembok, Ibu Suarna, dijelaskan bahwa bararak di Kota Solok sudah mengalami perubahan, yakni tidak lagi berjalan kaki. Orang-orang Solok zaman sekarang, khususnya di Tembok, mulai berarak menggunakan bendi[5], akibat terpengaruh oleh pesta pernikahan anak Presiden Jokowi yang ditayangkan di media arus utama beberapa waktu lalu. Hal berbeda, berdasarkan penjelasan Tek Erih, terjadi di Koto Baru. Orang-orang di Nagari Koto Baru masih berarak secara tradisional.

Selain itu, dalam proses bararak, dijelaskan oleh Tek Erih bahwa kaum ibu secara gotong royong menjunjung bawaannya, sambil mengiringi kedua mempelai berjalan dari rumah Induak Bako (saudara perempuan kandung dari pihak ayah) ke rumah Anak Daro (mempelai wanita). Meski Tek Erih sendiri menyebutkan bahwa aktivitas bararak ini bukan bakureh, saya menilai aktivitas ini tetap bisa disebut sebagai “bakureh” juga. Bakureh yang saya maksud masuk ke dalam konteks “gotong royong”, “bekerja sama” atau “bekerja keras”. Namun demikian, asumsi ini ada baiknya mendapat tinjauan ulang dan pertimbangan lebih lanjut, agar tidak membuat rancu makna “bakureh” itu sendiri.

Sebelum menutup pembicaraan kami, Tek Erih secara tersirat menggambarkan betapa tradisi di daerah Koto Baru mulai luntur. Salah satu contohnya adalah tradisi berbalas pantun dalam kegiatan bakureh. Salah satu penyebabnya adalah generasi terdahulu yang masih melestarikan berbalas pantun dan dendang tersebut sudah tidak aktif pergi bakureh, dan tidak sedikit pula yang sudah meninggal. Menurut Tek Erih, kemungkinan orang yang masih dekat dengan tradisi bapantun adalah mereka yang usianya 70 tahun ke atas. Penyebab lainnya adalah tradisi bapantun, yang menurut asumsi saya merupakan hiburan saat memasak dalam kegiatan bakureh tersebut, tidak pula diturunkan. Menurut saya pribadi, hal ini bisa saja disebabkan oleh kemunculan teknologi radio dan telepon genggam pintar. Teknologi ini memudahkan orang untuk mengakses lagu, seperti lagu-lagu daerah, lagu dangdut,  lagu pop atau lagu rohani, yang bisa dijadikan hiburan.

Tradisi Bararak, Istilah Khusus dan Situasi Sosial di Setiap Alek

Bararak dalam pesta pernikahan di Koto Baru. (Foto: Koleksi Arsip Gubuak Kopi, 2016)

Setelah berdiskusi bersama Ama dan Tek Erih, kami berempat kembali ke Markas Gubuak Kopi. Saya dan Nahal masing-masing sudah menggaris bawahi beberapa poin penting dalam kepala kami, yang kemudian akan kami persentasikan di malam harinya, di hadapan pendekarwati lainnya dan para fasilitator. Hasil persentasi yang saya lakukan mengarahkan saya pada riset lebih lanjut tentang beberapa poin. Yakni, isu berarak dalam konteks terdahulu dan masa kini; bagaimana perkembangan zaman bisa menggeser kebiasaan dalam tradisi bararak? Selain itu, menurut Delva, penting juga untuk melihat situasi sosial di setiap alek, sebab hal tersebut bisa merepresentasikan situasi dan kondisi suatu masyarakat serta kemungkinan besar juga memiliki keterkaitan dengan perkembangan zaman. Situasi sosial yang mulai berubah ini juga bisa terlihat dalam tradisi bararak.

Bararak merupakan rangkaian terakhir dari acara pernikahan, aqiqah, khatam alquran, pengangkatan penghulu (batagak panghulu) atau bahkan upacara kematian. Fungsinya adalah sebagai media pengumuman pada masyarakat luas. Misalnya, pada acara pernikahan, bararak menjadi indikasi bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi sepasang suami istri.[6] Umumnya, fungsi bararak di setiap daerah adalah sama, yakni sebagai media pengumuman. Namun, praktiknya berbeda-beda di setiap nagari.

Kata bararak memiliki makna yang sama dengan kata “berarak” dalam Bahasa Indonesia. Akar katanya adalah “arak”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarak didefinisikan sebagai “berjalan bersama-sama secara beriring.”[7] Arak dapat pula diartikan sebagai iringan barisan mengiring sesuatu  seperti tamu agung atau pengantin, sebagaimana yang sudah didefinisikan oleh Usman (2002:54).[8] Dengan demikian, bararak dalam tradisi Minangkabau merupakan aktifitas mengiringi pengantin yang dilakukan masyarakat Minangkabau, sesuai dengan adat istiadat dan budaya masing-masing nagari.

Untuk memahami tradisi bararak ini, saya mendapat kesempatan untuk mewawancarai orangtua Volta di hari kelima observasi, 5 juni 2018, dan beberapa ibu-ibu di Nagari Kinari pada 6 Juni 2018, setelah acara berbuka bersama di Masjid Nurul Hidayah, Sawah Sundi, Nagari Kinari. Pada hari kelima, Saya, Nahal, Volta dan Irvan (anak magang Gubuak Kopi) berangkat ke kampung halaman Volta di Sawah Baruah, Jorong Pamujan, Nagari Kinari, Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten Solok, seusai diskusi bebas di Markas Gubuak Kopi. Di rumahnya, ibu Volta sudah menunggu kedatangan kami karena sebelumnya Volta sudah menghubungi orangtuanya. Setelah dipersilakan masuk dan duduk, kami langsung mewawancari ibu Volta, yang juga kami panggil Ama.

Ama menjelaskan bahwa di Nagari Kinari, tradisi bararak dikenal pula dengan istilah “pai bajamu” (pergi menjamu). Biasanya, bararak ini ditemukan dalam alek, pai mambadak (dalam Bahasa lokal Solok, lebih dikenal dengan “turun mandi”) dan batagak panghulu (pengangkatan penghulu). Dari yang saya tangkap, bararak dalam alek Nagari Kinari adalah aktivitas arak-arakan dari rumah perempuan ke rumah laki-laki. Hal ini sedikit berbeda dari nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat. Beberapa pembandingnya adalah bararak di Nagari Tembok, Koto Baru, dan Padang. Ketiga nagari ini memiliki tradisi arak-arakan yang dilakukan dari rumah Induak Bako ke rumah orangtua Anak Daro[9]. Sementara di Nagari Salayo, tradisi bararak-nya sama dengan Nagari Kinari, diarak dari rumah Anak Daro (perempuan) ke rumah Marapulai (laki-laki).[10]

Banyaknya iringan bararak di Nagari Kinari tidak ditentukan dari bantai-membantai hewan ternak, berbeda dengan Nagari Koto Baru (sudah dijelaskan sebelumnya). Di Nagari Kinari, semakin banyak orang yang ikut berarak, semakin bagus arakannya. Sementara, bawaan para kaum ibu dalam bararak alek di Nagari Kinari umumnya terdiri dari kain, samba (lauk pauk; rending, goreng ayam, sambal telur, dll), kue, dan perkakas rumah tangga, seperti piring, kompor, gelas, dan lain sebagainya. Kaum ibu yang menjunjung makanan dan bawaan terdiri dari keluarga dan para tetangga, yang dipimpin oleh seorang ibu yang dituakan, yang disebut Urang Tuo Korong. Banyaknya rombongan arakan dan beragamnya bawaan kaum ibu saat bararak menunjukkan bagaimana pribadi Sipangka dalam hubungan sosialnya.

Apa juga menjelaskan bagaimana susunan rombongan bararak. Di Nagari Kinari, Anak Daro didampingi oleh Urang Tuo Korong dan kaum ibu pembawa baban[11]. Di belakangnya, Marapulai diiringi oleh pemain musik talempong. Semakin ramai yang mengiringi dan bermain musik, semakin meriah lah arak-arakan tersebut.

Dalam tradisi pai mambadak, bararak dilakukan dari rumah Sipangka ke batang aia (anak sungai). Tradisi pai mambadak merupakan tradisi memandikan anak bayi yang baru berusia satu bulan. Tradisi memandikan ini dilakukan oleh keluarga Induak Bako, turun dari rumah Sipangka diiringi Dukun Kampuang, keluarga dan para tetangga. Bayi digendong oleh Induak Bako, dimandikan oleh Dukun Kampuang di anak sungai. Setelah dimandikan, anak dibalut handuk, lalu diserahkan kembali ke Induak Bako untuk diarak kembali ke rumah. Sebelum memasuki rumah, ada tradisi berbalas pantun yang dilakukan oleh Dukun Kampuang dan Janang[12]. Setelah itu, barulah Induak Bako membawa si Anak masuk ke dalam rumah, dipakaikan pakaiannya oleh Dukun Kampuang dan diberi bedak. Oleh sebab itulah, tradisi memandikan anak ini dikenal dengan pai membadak (pergi membalurkan bedak di sekujur tubuh anak bayi agar wangi).

Saat observasi kedua ini, saya belum mendapatkan informasi terperinci mengenai bararak dalam  tradisi baralek maupun pai mambadak. Namun, sekilas saya menangkap bahwa dalam tradisi pai mambadak ini tidak ada yang dibawa oleh rombongan. Fungsi arak-arakan selain sebagai media pengumuman atas kelahiran anak, juga untuk meramaikan acara dan membahagiakan keluarga Sipangka. Lagi-lagi, Ama dan Apa (ayahnya Volta, yang saat itu baru pulang dari bekerja) menekankan, bahwa banyaknya rombongan bararak ini ditentukan oleh sikap dan hubungan keluarga Sipangka dalam berdunsanak bertetangga.

Pada kesempatan mewawancarai kaum ibu seusai buka bersama di Masjid Nurul Hidaya keesokan harinya, saya mendapat informasi tambahan bahwasanya istilah bakureh bagi masyarakat loka Nagari Kinari bersifat kasar. Orang lebih menggunakan kalimat “pai manolong mamasak” jika ada kegiatan memasak untu alek. Sementara, untuk mengupah orang pun, orang enggan menggunakan kata bakureh, sebab bagi masyarakat setempat, bakureh berarti bekerja dengan tujuan mendapat keuntungan atau “maambiak barang urang”.

Selain itu, saya juga mendapat informasi bahwa bararak umumnya dilakukan oleh kaum menengah ke atas. Sebab, umumnya bararak disertai dengan membantai kambing, sapi atau kerbau. Bararak juga sering diiringi permainan musik dan tari piring.

Dari observasi dua hari tersebut, saya menarik kesimpulan sementara bahwa tradisi bararak cukup beragam, tergantung nagarinya. Selain itu, bararak juga bisa merepresentasikan status sosial seseorang. Informasi terakhir yang saya dapatkan cukup menjelaskan, meskipun tradisi dan adat istiadat di Nagari Kinari masih cukup kuat, perkembangan zaman tetap berhasil masuk. Salah satu buktinya adalah sudah adanya orgen tunggal, serta pemanfaatan media musik sejenis mp3 untuk mendengarkan lagu, yang menurut asumsi saya menggantikan posisi bapantun dan badendang. Namun demikian, tetap diperlukan riset lanjutan mengenai tradisi-tradisi tersebut, serta saya rasa perlu juga mengamati tradisi di kanagarian lain, khususnya di Solok, sebagai usaha membaca lebih mendalam tradisi bakureh dan bararak. Serta untuk memahami kondisi sosial masyarakat Solok, yang mungkin saja bisa terepresentasikan dari keadaan masing-masing kanagarian.

Pengalaman Bakureh bersama masyarakat Nagari Kinari

6 Juni 2018 menjadi hari terakhir observasi awal para pendekarwati. Hari itu, kami mendapat undangan berbuka bersama di Masjid Nurul Hidayah. Sehari sebelumnya, Apa menjelaskan bahwa di Nagari Kinari terdapat tradisi bakureh dalam rangka menyambut buka bersama yang diadakan di beberapa masjid di Kanagarian Kinari. Tradisi buka bersama ini menjadi tradisi tahunan, dan diadakan secara bergilir. Bisa digabungkan pula dengan aqiqah. Seperti yang kami alami sendiri pada hari keenam rangkaian lokakarya Bakureh Project ini.

Di acara buka bersama tersebut, ada tiga anak yang di-aqiqah, dengan diikuti membantai jawi dan kambing. Pagi harinya, seusai subuh, kaum bapak membantai jawi, lalu membersihkannya di batang aiai. Selanjutnya jawi tersebut dikuliti bersama-sama oleh kaum bapak. Sementara kaum ibu mempersiapkan bumbu masak, seperti mengupas dan mengiris bawang, membersihkan cabai merah, dan memetik pucuk bunga papaya, mengupas timun dan lain sebagainya. Pada pagi itu, saya, Nahal, Sefni dan Olva mendapat kesempatan bergabung bersama kaum ibu dan mengalami langsung persiapan memasak tersebut. Saat bumbu-bumbu sambal tersebut hampir selesai dipersiapkan, sebagian ibu akan mempersiapkan tungku, dibantu oleh beberapa orang bapak. Bapak-bapak tersebut membantu menyusun batu tungku yang cukup berat. Selanjutnya, kaum ibu mulai memasak. Pada acara buka bersama itu, ada empat makanan berat yang dibuat, yaitu dendeng, kalio, anyang[13], dan salada mantimun[14]. Sementara cemilannya, seperti Kolak Cukuik-cukuik[15]. Saya, Nahal, Sefni, Olva, Volta, Zekal dan Irvan memang tidak mengikuti kegiatan bakureh sampai selesai. Namun, pagi itu kami mendapatkan informasi yang cukup untuk “membuktikan langsung” bagaimana bakureh itu dalam praktiknya. Kami juga mendengar sendiri apa dan bagaimana para kaum ibu tersebut berbincang-bincang saat kegiatan bakureh.

Kegiatan pagi itu hanya kami ikuti sampai pukul setengah sembilan. Kami kemudian kembali ke Markas Gubuak Kopi untuk mengikuti materi tambahan mengenai bakureh dari sudut pandang praktik seni pertunjukkan. Sorenya, pukul 5 sore, saya, Nahal, Roro, Irvan, Volta dan Cugik berangkat menghadiri berbuka bersama. Kami kembali mendapat kesempatan melihat dan mengalami sendiri salah satu kegiatan “baralek” buka bersama di Nagari Kinari tersebut.

Suasana ibu-ibu masak bersama di Nagari Kinari. (Foto: Ade/Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Kegiatan bakureh yang lebih dikenal memasak basamo ini biasanya selesai menjelang Asar. Selanjutnya, ibu-ibu menyusun masakan di dalam masjid. Menjelang berbuka, cemilan disusun, lalu berbuka bersama berlangsung, dilanjutkan dengan solat Magrib berjamaah. Seusai solat, barulah kaum ibu secara “bakureh” menyendokkan nasi dan lauk-pauk ke dalam piring. Kaum bapak, secara “bakureh” pula berperan sebagai janang, menghidangkan berpiring-piring makanan ke niniak-mamak yang duduk di bagian depan Masjid. Setelah semua kalangan mendapat makanan, saya, Roro, Cugik dan Irvan ikut duduk menikmati makan bersama. Sambil makan, saya mengamati bagaimana kaum ibu tidak berhenti bekerja, merapikan dan menyusun piring-piring bekas makan para hadirin. Begitu pula sebagian kaum bapak, yang saya pikir mungkin panitia acara, turut sibuk membersihkan sisa-sisa makanan dan mengumpulkan sampah dan gelas bekas minum. Selanjutnya, saat saya mencuci tangan, saya melihat kaum ibu bakureh mencuci piring. Saat saya ingin membantu, saya dilarang dan “dimarahi”.

Ndak ado anak gadih nan mancuci piriang do! Bia induak-induak se. (Tidak ada anak gadis yang mencuci piring! Biarkan ibu-ibu saja),” kata salah seorang ibu yang kemudian menjadi narasumber kami.

Saya pun permisi dari ibu-ibu tersebut dan menunggu di dalam Masjid bersama teman-teman lainnya. Selanjutnya, kami mewawancarai sedikit beberapa ibu, yang antusias memberikan keterangan. Kesan yang kami dapatkan cukup baik dan informasi yang kami butuhkan akhirnya terkumpul. Seusai mewawancara, sekitar pukul delapan, kami berenam kembali ke Markas, untuk kemudian memulai menuliskan semua pelajaran yang kami dapat dari observasi tersebut.

Bagi saya, yang lahir, besar dan tinggal di Pekanbaru, pengalaman bakureh ini sangat berkesan. Sebab, meskipun di Pekanbaru juga ada tradisi seperti ini, kedekatan akan budaya Minang lebih terasa saat mengikuti bakureh dan buka bersama di Nagari Kinari, yang bisa dikatakan masih sangat dekat dengan budaya Minang. Berbeda dengan Pekanbaru yang merupakan kota para perantau. Di tambah lagi, perjalanan yang harus ditempuh saat ke lokasi. Tidak henti-hentinya saya melihat bentangan sawah, diselingi rumah-rumah sederhana. Beberapa di antaranya merupakan bangunan tradisional Minangkabau, yang masih dipergunakan, yang menurut saya sepertinya masih dijadikan tempat tinggal. Hal ini sangat menarik dan menambah wawasan saya secara pribadi. Selain itu juga meningkatkan rasa penasaran tentang tradisi adat istiadat Nagari Kinari, khususnya, dan Solok pada umunya.***

Solok, 7 Juni 2018
Ade Surya Tawalapi


[1] Keluarga sasuku dalam konteks Minangkabau bisa diartikan sebagai keluarga satu klan. Atau bila dicontohkan ke suku Batak, maka “keluarga sasuku” berarti keluarga semarga. Dalam KBBI, kata “suku” yang dimaksud merujuk pada golongan orang sebagai bagian dari kaum yang seketurunan. (aplikasi luring KBBI V) Beberapa contoh suku di Minangkabau antara lain suku Koto, suku Bodi, suku Caniago, dan suku Piliang. Keempatnya adalah suku induk di Minangkabau (https://mozaikminang.wordpress.com/2011/11/15/suku-suku-di-minangkabau/, diakses pada 7 Juni 2018, 15.24 WIB)

[2] Motor dan mobil bisa menjadi indikasi kemajuan suatu daerah atau modernisasi. Sebab, mobil dan motor merupakan alat transportasi modern yang memanfaatkan teknologi mesin. Dalam teori Determinisme Teknologi disebutkan bahwa pada masa Revolusi Industri, kota besar dapat disebut suatu kota industry bisa di dalam kota tersebut terdapat manufaktur dan sistem produksi yang berbasis mesin, termasuk alat transpostasi yang mendukung proses suatu produksi. (Dr. Rod Burgess, Essay : Technological Determinism And Urban Fragmentation : A Critical Analysis, Oxford Brookes Univeristy, dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Determinisme_teknologi, diakses dari 7 Juni 2018, 16.20 WIB)

[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Galamai, diakses pada 7 Juni 2018, 08.38 WIB

[4] Paniaran pisang merupakan sebutan lokal untuk paniaram atau pinyaram, yaitu kue khas Minangkabau yang berbentuk bulat berwarna cokelat kehitaman. Tebuat dari tepung beras putih atau hitam, yang dicampur dengan gula aren (gula merah atau saka) atau gula pasir, dan santan kelapa. Rasanya sangat manis. Pinyaram juga disebut sebagai Kue Cucur Padang. (https://id.wikipedia.org/wiki/Pinyaram, diakses pada 7 Juni 2018, 16.36 WIB)

[5] Kereta beroda dua yang ditarik oleh seekor kuda dengan seorang pengemudi di depannya, dikenal juga dengan istilah dokar atau delman.

[6] Iriani, Zora. Jurnal. “Malam Bakuruang (Berkurung) dalam Perkawinan Alek Gadang di Kenagarian Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”. Vol. XI. No. 1 Th. 2012. Padang: Humanus. Hlm. 16.

[7] Aplikasi KBBI V (diakses pada 7 Juni 2018, 18.57 WIB).

[8] http://scholar.unand.ac.id/22275/2/2.BAB%20I_2.pdf, diakses pada 7 Juni 2018, 08.38 WIB

[9] Elia, Stephanie. Skripsi. “Pemaknaan Prosesi ‘Baralek’ Nagari Padang”. 2016. Tangerang: Universitas Multimedia Nusantara. Hlm. 138-155.

[10] Iriani, Zora. Jurnal. “Malam Bakuruang (Berkurung) dalam Perkawinan Alek Gadang di Kenagarian Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”. Vol. XI. No. 1 Th. 2012. Padang: Humanus. Hlm. 16.

[11] Istilah lokal untuk junjungan berisi makanan dan lain sebagainya, yang dibawa kaum ibu di atas kepalanya saat bararak.

[12] Janang di sini merujuk pada pengatur acara tradisi mambadak.

[13] Sejenis urap, terbuat dari pucuk dan bunga papaya dicampur dengan kelapa parut.

[14] Timun diiris tipis-tipis, lalu ditiriskan. Kemudian dicampur dengan bumbu garam, merica, cuka, dan bawang goreng. Salada mantimun juga memiliki keberagaman resep, seperti di rumah saya sendiri, isi salada mantimun terdiri dari mentimun iris, telur rebus dan kentang rebus yang juga diiris-iris, lalu diaduk bersama garam, merica, cuka dan bawang goring. Dilengkapi dengan kerupuk baguak (emping).

[15] Terdiri dari kacang hijau (kacang padi), agar-agar, cincau hitam, dan cendol merah.

Ade Surya Tawalapi, biasa disapa Ade, pegiat sastra dan pertanian di Pekanbaru. Lulusan Sastra Rusia, Universitas Indonesia. Sekarang aktif di SAYURANKITA, sebuah platform yang digagas sebagai laboratorium berpikir dan praktik di ranah pertanian secara umum, yang dikombinasikan dengan sudut pandang sosiokultural dan pengelolaan media alternatif di Kota Pekanbaru. Ade merupakan partisipan Program Daur Subur - Bakureh Project yang diselenggarakan Komunitas Gubuak Kopi di Solok (2018). Selain itu, ia juga aktif menulis di blog personalnya www.adetawalapi.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.