Buya Khairani: Bakureh adalah Kekuatan Sosial

Di hari ke empat, 4 Juni 2018 Lokakarya Bakureh Project, para mulai mendapat gambaran dan sudut pandang yang beragam dari tradisi Bakureh. Sebelumnya lokakarya ini telah menghadirkan narasumber dari budayawan maupun tokoh adat pelaku bakureh itu sendiri, antara lain, Mak Katik (Budayawan Sumatera Barat) dan Ibu Suarna (Tokoh Adat/Bundo Kanduang). Seperti biasanya, kita selalu mendatangkan narasumber untuk menambah wawasan tentang isu yang tengah diangkat dalam kerangka program pemetaan kultur masyarakat pertanian: Daur Subur, begitu pula dalam agenda bakureh. Pada hari keempat ini kita mendatangkan Buya Khairani, beliau adalah salah satu pemuka adat di Solok. Beliau sering diundang untuk memberi materi atau pandangan tentang adat Minangkabau, baik itu dalam forum-forum, maupun di beberapa radio swasta di Solok.

Hari menunjukkan pukul 11.20 wib, seperti yang telah kita janjikan kepada buya untuk memberikan sedikit informasi kepada kita dan didiskusikan di sekretariat Gubuak Kopi. Buya mengawali pembicaraan tentang pengertian adat yang dibawa oleh nenek moyang kita dahulu, adat berarti susunan atau tatatertib yang meliputi budi pekerti, tatakrama, dan perasaan yang saling berkaitan. Ada pemeo yang berkaitan dengan ini:

urang yang indak baparasaan,
                itu urang yang indak baradek”

Artinya, orang yang tidak memiliki perasaan tidak memiliki adat. Seperti kebudayaan lainnya orang Minangkabau sangat menjunjung tinggi adat sebagai jati diri dalam berperilaku. Sikap seseorang dapat dinilai dari pemahaman adat yang dianutnya.

Istilah Bakureh adalah menguras tenaga atau energi, ada yang mengartikan secara fisik, juga dengan solusi atau dapat dikatakan sebagai gotong-royong. Tradisi bakureh berangkat dari jiwa tolong-menolong. Sebagai makhluk sosial harusnya kita saling menolong antar sesama manusia, maka lahirlah petuah masyarakat Minangkabau yang menyebutkan:

                “adat hiduik di dunie tolong-manolong,
                adat mati janguak-manjanguak,
                adat ado basaliang tenggang,
                adat kayo mambantu yang miskin”

(Adat hidup di dunia tolong menolong, adat meninggal saling melayat, adat bercukupan saling tenggang rasa, adat kaya saling membantu yang kurang mampu)

Istilah ini menegaskan bahwa adat Minangkabau bisa membentuk karakter atau perilaku seseorang menjadi lebih baik, hal itu tergantung pada setiap individu dalam menjalankannya. Bakureh sendiri mengajarkan kita untuk menolong orang lain dengan ikhlas. Seperti sudah hukum alam, kalau kita ikhlas menolong orang, maka balasan yang baik juga kepada kita. Contohnya, dalam hal Bakureh di dapur, kalau kita menolong orang dalam suatu acara pernikahan atau acara adat, lantas ketika kita yang mengadakan acara adat itu, kita juga akan ditolong oleh orang lain. Hal tersebut seperti istilah “ julo-julo” atau arisan, kita akan mendapatkan giliran yang sama.

Menjalani acara bakureh dapat mengasah sikap gotong-royong pada diri. Selain itu pelajaran yang bisa kita ambil dari aktifitas bakureh adalah rasa kebersamaan dan saling memberikan informasi. Seperti adab dalam berpakaian ketika bakureh, bumbu-bumbu masak yang belum kita ketahui dan ada juga informasi yang didapatkan dari hasil gosip ibu-ibu di dapur sebagai candaan sembari memotong bawang dan mengaduk-ngaduk kuali. Gurauan atau menggosip  ini, biasanya tidak akan ditanggapi dengan serius, hanya untuk candaan saja.

Di dalam aktifitas bakureh, kita juga bisa melihat ibu-ibu yang lihai dan yang masih kurang terampil dalam mengerjakan sesuatu di dapur atau “rumah kajang”.

Dalam hal ini Buya menegaskan bahwa informasi ini bisa menjadi fitnah ketika informasi yang diberikan tidak terbukti kebenarannya. Contoh khasus, membahas masalah jodoh, ketika ibu laki-laki ingin mengetahui perempuan yang diskai oleh anaknya maka ibuk ini menanyakan kepada ibu-ibu yang lain tentang perempuan itu, supaya tidak terjadi kekecewaan setelah menikah, hal tersebut harus dibuktikan kebenarannya. Tidak hanya menolong orang dalam memasak, Selain itu juga bisa mengetahui seluk-beluk kekeluargaan yang mungkin lupa atau belum tahu dengan keluarga yang jarang kita jumpai. Supaya nantinya tidak terjadi perkawinan antara keluarga.

Ada juga istilah “badoncek” yang bisa diartikan sebagai moment untuk menentukan pemberian bantuan atau patungan bisa berupa uang, tenaga, bahan masak, atau perlengkapan yang dibutuhkan oleh orang yang akan menikah. Setiap daerah memiliki istilah atau nama dan praktek yang berbeda, kalau di Koto Baru, biasanya pihak keluarga yang memberikan bantuan berupa perlengkapan nikah seperti, kain selimut, tempat tidur dan lain-lain. Kalau dari bantuan tenaga, bisa menolong di dapur, mencarikan perlengkapan masak dan lain-lain, maka semuanya akan memiliki peranan masing-masing setelah badoncek dilakukan.

Setelah beberapa lama berdiskusi bersama Buya, tidak terasa hari sudah sore dan Buya juga harus menghadiri kegiatan lain. Banyak hal yang menarik untuk disimpulkan dari diskusi besama buya tadi, terutama esensi dari tradisi bakureh dan perluasan defenisinya sebagai upaya merawat kekuatan sosial.

Setelah shalat Ashar, sesuai dengan agenda yang telah ditetapkan, partisipan mulai mempersiapkan kebutuhannya kelapangan untuk mencari data dan pandangan yang lain dari Bundo Kanduang atau ibu-ibu yang sudah melaksanakan kegiatan bakureh tersebut. sebelum itu pertisipan diberikan pengarahan oleh fasilitator tentang apa saja yang akan dilakukan di lapangan nanti. Setelah memberi sedikit intruksi, kita pergi secara berpencar, Kiki, Roro dan Cugik pergi ke tempat Bundo Kanduang di KTK. Ade, Nahal dan saya pergi menuju Koto Baru, mencari informasi kesalah satu Bundo Kanduang disana. Icha, Ipan, Apis dan Datuak pergi ke Tembok, ke tempat orang panen padi, sekaligus melihat aktifitas gotong-royong. Olva, Sefni dan Zekal mencari data di sekitar sekre. Setelah data atau informasi yang dibutuhkan sudah cukup, kita langsung untuk kembali ke sekre, karena hari sudah mulai berbuka puasa.

Setelah Sholat Taraweh, kegiatan dilanjutkan dengan presentasi hasil observasi ke lapangan tadi, secara bergantian partisipan mempresentasikan hasil observasinya. Kiki dan Roro mendapatkan kesimpulan siapa orang yang memegang “kuci kamar” untuk makanan, filosofi apa yang terdapat pada setiap makanan pernikahan, bagaimanakah adab “manjanang” atau orang menghidangkan makanan dan bagaimanakah tata pakaian dalam acara pernikahan.

Ade dan Nahal mendapatkan sedikit informasi tentang adab sebelum bakureh, tentang bararak, istilah dari “penjaga samba” (penjaga hidangan) yaitu “rubiah”dan informasi tentang ibu-ibu yang berbalas pantun, bergurau ketika memasak di rumah kajang. Icha dan Ipan mendapatkan beberapa poin dari hasil observasi tadi, rasa gotong-royong yang kuat antara sesama warga dan pergeseran makna kata bakureh dalam konteks sosial. Olva dan Sefni juga mendapatkan sedikit informasi tentang bakureh dari ibu-ibu yang berjualan gorengan di dekat sekre, tapi obrolan terputus karena ibu tersebut sedang sibuk dengan banyaknya pelanggan yang mencari pabukoan (takjil).

Muhammad Riski (Solok, 1995), adalah salah satu pegiat seni di Komunitas Gubuak Kopi. Ia menyelesaikan studi di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang (UNP). Selain itu ia juga aktif memproduksi karya seni mural dan stensil. Sebelumnya ia juga aktif menggarap program Minang Young Artist Project. Ia juga tengah sibuk mengelola karakter artist @sayhallo dan menjadi gitaris di band Papan Iklan.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.