Semua sudah dimaafkan sebab kita pernah bahagia. Sekiranya apa yang akan disampaikan jika membaca kalimat ini ditambah dengan dukungan gambar seorang laki-laki tua? Bolehlah saya menjawab bahwa poster itu mengajak dan mendorong perasaan kita untuk mudah memaafkan apa saja. Semua hal yang terjadi dalam hidup, segala duka dan laranya patut dimaafkan hanya karena satu alasan: kita pernah bahagia. Bagaimana jika kebahagiaannya hanya sekali dan dilanjutkan oleh kesedihan yang berkali-kali, masih pantaskah untuk dimaafkan? “Ya” kata Leon Agusta, ‘sekali lagi’ alasannya karena kita pernah bahagia.
Continue readingTag Archives: Sinema Indonesia
Gotong Royong Enam Jam di Jogja
Catatan Penayangan Sinema Pojok: Enam Djam di Djogja (Usmar Ismail, 1951)
Sabtu, 28 Juli 2018, Komunitas Gubuak Kopi melalui program Sinema Pojok memutarkan filem Enam Djam di Djogja karya sutradara Usmar Ismail yang diproduksi tahun 1951. Filem Enam Djam di Djogja memang dihadirkan dengan cara fiktif. Alasannya dibuat dengan cara fiktif karena merasa dokumen-dokumen yang ada masih belum lengkap dan takut akan berpotensi menyinggung berbagai pihak nantinya, akan tetapi keberadaannya saat itu sangat diterima oleh masyarakat Indonesia dengan masih ditayangkannya filem ini hingga era tahun 1980-an di TVRI. Filem ini dikatakan sebagai filem perjuangan Indonesia kedua, setelah filem perjuangan pertama yang juga disutradarai oleh Usmar Ismail dengan judul Darah dan Doa diproduksi satu tahun sebelumnya (1950). Continue reading
Sinema Pojok #1 – Harimau Minahasa (Malam Pembukaan Sinema Pojok)
“Ateng, seorang pemuda rantau dari Jember, bekerja di perkebunan Pala, Minahasa Utara. Kultur Minahasa Utara sendiri mayoritas berupa identitas homogen dalam sebuah sistem keyakinan tertentu: tampak dari simbol-simbol yang menghiasi sepanjang jalan pada halaman rumah-rumah penduduk. Namun, Budiono, nama asli pemuda itu, bisa diterima oleh warga untuk bekerja, dan tinggal di sebuah rumah perkebunan. Di perantauan, ia tak bisa memungkiri keterikatan identitas asal-muasal leluhurnya. Hal itu terungkap dalam alam bawah sadarnya: ia dirasuki leluhurnya sendiri. Dialog dalam peristiwa kesurupan itu mempertegas identitas asal tersebut: komunikasi yang tak terjembatani akibat perbedaan bahasa. Identitas asal merupakan hal yang selalu hadir dan menyertai Ateng di mana pun ia berada.”Ateng, a young immigrants from Jember, working on plantations of nutmeg, North Minahasa. Majority culture of this region itself is in the form of a homogeneous identity within a particular belief system: it’s look of symbols that adorn all the way in the yard of people’s houses. However, Budiono, the real name of the young man, is accepted by the citizens for work, and lived in a plantation home. Overseas, he could not deny an identity engagement to his ancestral origins. It was revealed in his subconscious: he was possessed by his own ancestors. Dialogue in the trance event reinforce the identity of origin: communication was unbridgeable due to language differences. The identity of the origin always is present and accompanies Ateng wherever he is.