Setelah para seniman residensi datang dari berbagai kota, pada tanggal 20 November 2020, kami beranjak ke lokasi-lokasi yang akan kita soroti dalam rangkaian Tenggara Street Art Festival. Dari Rumah Tamera (pusat kegiatan) saya dan beberapa kawan berangkat menuju Lapas Klas IIB Kota Solok. Mereka adalah Andang Kelana, Autonica, Dhigel, Verdyan Reyner, Masoki, Teguh, dan Vero. Ini bukan kunjungan pertama saya. Beberapa bulan sebelumnya, saya ke sini bersama kawan-kawan Rumah Tamera untuk mendengar kemungkinan untuk bekerjasama. Ketertarikan ini muncul mengingat agenda Tenggara Festival tahun ini adalah menyoroti ruang-ruang publik atau instansi yang selama ini sulit dijangkau, dalam konteks publik Solok. Beruntung kami punya salah satu teman bekerja di sini.
Ini adalah awal November. Saya tidak bangun pagi, tapi jam setengah lima subuh, saya mendengar alarm seorang kawan berdering beberapa kali. Memang saya masih terjaga sedari bangun siang tadi. Minggu, 1 November sudah terjadwalkan kita akan bangun subuh untuk berangkat ke lokasi Car Free Day (CFD) di Kota Solok. Sepertinya sudah sebulan lebih saya tidak datang untuk ini.
Taman Bidadari adalah salah satu dari belasan taman publik di Kota Solok. Taman ini memiliki desain bangunan fisik yang cukup menarik, namun sepi pengunjung. Saat ini banyak fasilitasnya sudah mulai rusak dan tidak ada penjagaan. Setiap sore, biasanya beberapa warga membawa anjing berburunya untuk santai di sini.
Selasa, 18 Juni 2019, adalah hari ke-2 Lokakarya Daur Subur di Kelurahan Alai Parak Kopi, Kota Padang. Kegiatan ini adalah bentuk kerja kolaborasi Gubuak Kopi bersama Surau Tuo AMR. Lokakarya ini adalah kelanjutan dari Silahturami di bulan Ramadhan dahulunya. Di hari ini saya melakukan aktivitas observasi lapangan atau mengenal lingkungan di sekitar Kelurahan Alai Parak Kopi bersama Risky, Zekalver, Dayu, dan Holil. Selama perjalanan riset, kami mengabadikan beberapa hal yang kami anggap menarik untuk dibicarakan dan juga dianggap penting untuk dikaji nantinya, atau beberapa tahun kedepan.
Pada rangkaian pameran multimedia: Lapuak-lapuak Dikajangi, tanggal 6-8 Oktober 2017, di Galeri Gubuak Kopi, kuratorial juga menghadirkan beberapa presentasi khusus untuk memperkaya isu. Salah satu di antaranya, yang diundang untuk hadir adalah kelompok musik Balega atau juga dikenal dengan Balega Group.
Balega Grup adalah satu kelompok musik yang aktif mengembangkan kesenian tradisi Minangkabau ke bentuk yang lebih segar. Kelompok ini didirikan oleh Admiral bersama sejumlah mahasiswa ISI Padangpanjang sejak tahun 2012. Kelompok ini telah mempresentasikan karya-karyanya di festival musik nasional dan internasional, seperti pelatih workshop musik di Central Conservatory of Music, Beijing (China, 2013); Brave Music Festival (Polandia, 2014); pelatih workshop musik di HKU Roterdam, (Belanda, 2014); Pasa Harau – Art & Culture Festival (Indonesia, 2016).
Menarik menyimak karya-karya Balega, yang memberikan kesegaran dan kemungkinan garap yang beragam terhadap musik tradisi. Selain itu, kecendrungan Balega untuk mencari titik kawin antara perbedaan latar karakter, latar budaya, musikal membuat ia menjadi menarik untuk disajikan di konteks, Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Kampung Jawa adalah salah satu kelurahan di Kota Solok yang di dalamnya hidup berdampingan sejumlah etnis seperti, Jawa, Minang, Batak, dan Keling (India).
Penampilan Balega Group di Galeri Gubuak Kopi, Solok, dalam rangkaian pameran multimedia: Lapuak-lapuak Dikajangi. (Foto: Arsip Gubuak Kopi. 2017)
Penampilan Balega Group di Galeri Gubuak Kopi, Solok, dalam rangkaian pameran multimedia: Lapuak-lapuak Dikajangi. (Foto: Arsip Gubuak Kopi. 2017)
Penampilan Balega Group di Galeri Gubuak Kopi, Solok, dalam rangkaian pameran multimedia: Lapuak-lapuak Dikajangi. (Foto: Arsip Gubuak Kopi. 2017)
Penampilan Balega Group di Galeri Gubuak Kopi, Solok, dalam rangkaian pameran multimedia: Lapuak-lapuak Dikajangi. (Foto: Arsip Gubuak Kopi. 2017)
Penampilan Balega Group di Galeri Gubuak Kopi, Solok, dalam rangkaian pameran multimedia: Lapuak-lapuak Dikajangi. (Foto: Arsip Gubuak Kopi. 2017)
Penampilan Balega Group di Galeri Gubuak Kopi, Solok, dalam rangkaian pameran multimedia: Lapuak-lapuak Dikajangi. (Foto: Arsip Gubuak Kopi. 2017)
Penampilan Balega Group di Galeri Gubuak Kopi, Solok, dalam rangkaian pameran multimedia: Lapuak-lapuak Dikajangi. (Foto: Arsip Gubuak Kopi. 2017)
berikut adalah komentar yang disampaikan pada halaman berita BAKI-NEWS.com yang mengutip penyataan Roni Daniel:
Halo redaksi,
Kita dari Komunitas Gubuak Kopi, ingin mengkomfirmasi ada opini dan pernyataan yang keliru: Kita dari Komunitas Gubuak Kopi sudah beridiri sejak 2011 atas inisiatif pemuda dan seniman Solok, artinya tidak dibentuk oleh Rumah Kreatif (yang kita saja baru tahu keberadaannya sejak Februari 2016) atau kelompok lainnya. Berkaitan dengan kegiatan di pasar itu, Komunitas Gubuak Kopi sejak September tahun 2015 telah punya program panayangan dan dikusi filem reguler (1x2minggu) yang kami sebut Sinema Pojok, dan kebetulan pada hari itu merupakan hari perayaan Film nasional dan teman-teman “rumah kreatif” meminta kita bergabung untuk ikut mengisi kegiatan “yang awalnya” ada agenda pembukaan pasar, tapi itu tidak berjalan dengan baik, jadi teman-teman sepakat untuk melakukan kegiatan perayaan Hari Film Nasional saja. Dan Soal Albert Rahman Putra, sudah bergiat di bidang perngkajian dan produksi film sejak awal berdirinya Komunitas Gubuak Kopi, tentunya juga bekerjasama dengan berbagai kelompok dan institusi lainnya, seperti Forum Lenteng dll, jadi kalau dikatakan: Albert sudah mendapatkan pembekalan dari “sang instruktur” (?) Fuaddy Rossa itu terlalu berlebihan atau tidak sesuai.
Pernyataan ini juga dirilis, mendengar banyaknya pencatutuan nama Komunitas Gubuak Kopi di proposal-proposal permintaan dana tanpa sepengetahuan Komunitas Gubuak Kopi.
Pernyataan ini juga dirilis sebagai permintaan maaf kepada pendiri Komunitas Gubuak Kopi lainnya yang sudah telanjur mambaca berita kelirur tersebut.
Pada tahun 2015 hingga 2016 (belanjut) Gubuakkopi meluncurkan sebuah program yang disebut Solok Milik Warga, sebuah proyek pengembangan seni sebagai media aspirasi dan ekspresi dalam mengkritisi persoalan lokal. Penelitian telah dimulai sejak September 2015 lalu dengan melakukan pemetaan masalah yang berdampak pada keapatisan warga terhadap kota ini, kota Solok. Project ini juga merupakan pengembangan dari program Aku Kita Dan Kota (me, us, and the city) dalam mengkritisi kontribusi warga terhadap kota (2012). Kali ini, Gubuakkopi mengajak pekerja dan peneliti seni untuk terlibat dalam proses riset singkat. Setiap partisipan akan diajak tinggal dan berinteraksi bersama warga selama satu minggu sekaligus memproduksi karya dengan fasilitas yang ada disekitar warga. Project ini akan dimulai pada Maret 2016 nanti.
At 2015 to 2016 (continued) Gubuak kopi community has launched a program called “Solok Milik Waga” (Solok the city of citizens), a development project of the arts as a medium of aspiration and expression in criticizing the local issue. Research has started since September 2015 and by mapping problems affecting to the citizen apathy towards this city, Solok city. This project is also the development of the program “Aku, Kita dan Kota (Me, Us, and the City) in criticizing the contribution of citizens to the city(2012). This time, Gubuakkopi invites the workers and researchers of the art engage in the process of doing some quick research and production of works in response to the city and an introduction to the form of art as a medium with all the availability of facilities. This residency activities will be implemented in March 2016. Each participant artists will be invited stay and interact with the residents for one week at a time to produce work.
Dengarkan lah wahai sahabat
Kuingin bersajak tentang kisahku
Kaki kecil yang menapak halus
Ketika pagi masih berpagut dengan mimpi
Disaat burung mulai menyuarakan sunyi
Sepenggal masa yang aku lalui disebuah sudut alam
Keindahan yang maha agung
Keajaiban alam yang memukau
Bertaut dalam masa indah yang membayang Continue reading →