ESTAFET MENUJU TENGGARA

Catatan Proses Tenggara Festival 2020

Ini adalah awal November. Saya tidak bangun pagi, tapi jam setengah lima subuh, saya mendengar alarm  seorang kawan berdering beberapa kali. Memang saya masih terjaga sedari bangun siang tadi. Minggu, 1 November sudah terjadwalkan kita akan bangun subuh untuk berangkat ke lokasi Car Free Day (CFD) di Kota Solok. Sepertinya sudah sebulan lebih saya tidak datang untuk ini.

Beraktivitas di pagi hari memang menyenangkan, ya, meskipun sedikit ngantuk. Oke, saya akan ceritakan aktivitas menyenangkan di hari Minggu pagi, di awal November ini. Saya akan mulai dari membangunkan teman dengan memutar Gemu Fa Mi Re, sebuah lagu gubahan musisi asal Maumere, NTT, yakni Nyong Franco. Saya memutar lagu yang energik ini dengan volume penuh pada speaker Rumah Tamera – Solok Creative Hub. Selang beberapa menit semuanya sudah memakai sepatu dan lengkap dengan protokol-protokol kesehatan pencegahan covid-19.

Dari sini semuanya berawal, kita membawa sebuah box panel putih dengan tinggi sekitar dua setengah meter dan sisi lebarnya kurang dari satu meter. Box ini adalah salah satu panel yang biasa digunakan oleh Komunitas Gubuak Kopi dan Rumah Tamera untuk berpameran. Kami membawanya menggunakan becak menuju lokasi CFD pagi ini. Box ini sudah disiapkan untuk empat orang pemural, masing-masing akan mewarnai satu sisi. Mereka adalah Verdian Reynier, Dika Adrian, M. Riski dan Hafizan. Sesuai urutan mereka akan mural secara bergantian dan akan melakukan pertunjukan rupa ini di tempat yang sudah dipilih. Ya, walaupun pilihan spontan di lokasi juga bisa kita sebut pilihan, meski sebelumnya sudah direncanakan dengan pasti di beberapa titik. Aksi mural pada box ini adalah bagian pra-acara Tenggara Street Art festival yang akan digelar bulan ini di Kota Solok.

Jika dibanding kota-kota besar, atau tetangganya Kota Padang, Kota Solok bukanlah kota yang memiliki banyak ragam visual di jalanannya. Sedikit iklan rokok, himbauan dan disusul dengan promo lainnya.  Tapi beberapa bulan terakhir visual di papan reklame dihuni oleh wajah tokoh-tokoh calon pemimpin kota dan provinsi seakan menyaingi iklan rokok yang berisikan kalimat motivasi itu.

Biki dan Dika Adrian membawa Box Panel di Jl. Banda Panduang, Kota Solok. (Foto: Panji/2020)

Verdian Rayner membuat mural di CFD Kota Solok (Foto: Panji/2020)

Di lokasi CFD, Verdian menuangkan cat dalam botol lalu kemudian memural dengan khusuk tanpa ada gerakan senam seperti sebagian besar orang di lokasi tersebut. Beberapa orang dari kami curi-curi kesempatan untuk bergabung dalam barisan senam, termasuk saya. Beberapa orang memperhatikan box ini dengan ekspresi bertanya-tanya, tentu saja ini memang belum pernah hadir sebelumnya di lokasi ini. Mereka menikmati saja dari kejauhan.

Visual yang muncul pada pagi itu bukan hanya pemandangan box yang dimural saja, ada deretan penjual obralan dan jajanan ringan. Sementara itu tokoh politik yang juga tengah mencalonkan diri sebagai gubernur turut ambil kesempatan di pagi itu. Sambil menikmati mural ditambah dengan musik tik-tok yang digunakan untuk senam, tiba-tiba berhenti. Musik itu digantikan suara-suara berbaur politik. Mereka naik ke atas panggung pemandu senam, lalu memperkenalkan diri.

Kedatangan kita pun juga bermaksud sama sebetulnya, sebuah agenda politis. Saling berebut ruang publik untuk mendapatkan atensi, tapi ini bukan politik praktis yang menginginkan kumpulan ‘suara’. Dan tentu tujuannya bukan itu. Tanpa perlu diperdebatkan, ruang publik memang incaran semua orang untuk dapat mengiklan dengan baik. Ketika ruang publik adalah pasar, maka kita ingin konsumen yang baik untuk produk yang tidak dijual. Pagi itu saya menyebutnya mural tidak dijual dengan harga tawar kebagusan. Tapi adalah promosi bahwa produk ini bisa dinikmati, dibaca dan dikritisi lagi, dan akan mewarnai visual ruang publik di samping yang lainnya seperti himbauan, penjualan  dan ‘pilihlah aku’.

Publik memang menjadi konsumen semua hal yang berbaur penjualan, tertarik atau tidak semuanya adalah calon konsumen. Kembali lagi pada sebuah pilihan, jika tokoh politik itu naik ke panggung pemandu senam, tanpa ada aba-aba sebelumnya, saya katakan mereka terjebak pada situasi yang belum tentu mereka inginkan. Ya, mau tidak mau mereka harus menunggunya, walau tak ingin mendengarkan.

Waktu untuk CFD sudah habis, Verdian baru menyelesaikannya setengah. Ia tetap fokus dalam suasana orang-orang lalu lalang. Kami mengangkat box tersebut ke area Taman Syekh Kukut, atau yang lebih nyaman disebut orang-orang sebagai Taman Kota. Karena ini juga kebutuhan video, Panji, Zekal, Vero dan saya sebagai tim produksi, kembali membicarakan konsep transisi ke lokasi lain. Semacam tos kekompakan dan isyarat pemberian box.

Dika Adrian a.k.a Badikkk membuat mural di Pasar Raya Kota Solok. (Foto: Panji/2020)

Hafizan mengangkat Box Panel di Pasar Raya Kota Solok.

Akhirnya tempat selanjutnya adalah warung kopi. Sebelumnya kami merencanakan lokasi kedua adalah Terminal Angkot Kota Solok. Namun, ternyata ruang publik yang satu ini masih kelihatan sepi di pagi hari. Kopinya sudah mau habis, ternyata seruputan terakhir mengantarkan kami ke lokasi kedua. Kita menggiringnya dan menggendongnya ke tengah-tengah pasar. Di sisi toko-toko baju, di depan manekin hijab, box itu melintas dan menajamkan mata penjaga toko. Dan berhenti di teras lantai dua Pasar Raya Kota Solok.

Artis mural selanjutnya, adalah Dika Adrian atau yang juga biasa disapa Badiiik. Pembagian keempat sisi box ini juga sekalian pada pembagian teks mural: “Tenggara”, “Street Art”, “Festival”, dan “2020”. “Street Art” adalah pilihan Badiiik.  Pasar Kota Solok didominasi oleh kaum ibu-ibu dan bapak-bapak menjelang siang itu. Sambil lalu lalang mereka bertanya-tanya, “Ini apa nak?”. Ya, jangankan ibu-ibu, anak muda pun belum tentu semuanya juga tahu soal aktivitas mural. Akhirnya tafsiran-tafsiran seperti kata “kreasi”, “karya seni”, dan “menggambar” muncul dalam perbincangan dengan publik Pasar Raya Kota Solok.

Seni mural memang tidak sepopuler bentuk seni lainnya di Kota Solok. Tapi melihat kembali pada perbincangan warga dan seni mural direspon baik dalam beberapa tahun belakangan. Meskipun pada tahun 2016 lalu salah seorang partisipan Gubuak Kopi menjadi pembicaraan di media sosial. Karena ‘mencorat-coret’ beberapa ruang publik di Kota Solok dengan ‘asal-asalan’. Tapi, di saat yang sama kita juga menghadirkan mural di titi-titik yang kami kira juga memerlukan negosiasi dan melibatkan warga sekitar, seperti mural di Kampung Jawa dan pinggiran Jalan Yos Sudarso.

Transisi lokasi kedua menuju lokasi ketiga diisi dengan jamuan makan siang. Kami membeli nasi bungkus lalu membentangkannya di lokasi yang sama saat mural. Selanjutnya adalah M.Riski a.k.a Sayhallo. Kita kembali menggiring box ini menuju Simpang Rumbio. Sekitar pukul 02.00 siang, kita sampai di lokasi. “Oh tidak..” di sini ternyata lebih panas dari lokasi sebelumnya. Tapi akan membuat  cat lebih cepat kering juga.

Sayhalo0 membuat mural di Simpang Rumbio, Kota Solok (Foto: Panji/2020)

Hafizan membuat mural di Simpang Dempal, Kota Solok (Foto: Panji/2020)

Simpang Rumbio merupakan lokasi yang cukup stategis dalam hal akses transportasi. Simpang ini merupakan titik temu dari beberapa daerah di Solok. Dari arah selatan orang-orang dari Alahan Panjang, Bukik Sileh, dan Koto Anau sebagian besar menggunakan jalur ini jika menuju kota-kota tetangga seperti Bukittinggi, Sijunjung dan Sawahlunto. Dari timur mereka yang ingin menuju Padang ataupun Bukittinggi juga akan melewati jalur ini. Solok secara geografis memang menjadi persimpangan jalan antar kota-kota. Tak jauh dari sini, juga ada sebuah terminal bus yang sering menjadi lokasi penyelenggaraan sejumlah event seperti balap motor Road Race, konser musik, kegiatan ibu-ibu PKK hingga aktivitas Pasar Pagi. Terminal ini juga menjadi pilihan lokasi mural Tenggara Street Art Festival di November ini.

Untuk lokasi yang terakhir sebetulnya kami memilih lapangan kodim 0309 Kota Solok. Sebetulnya seperti yang sering kita lihat beberapa bulan terakhir, lapangan ini mulai sering digunakan sebagai tempat aktivias olahraga yang bisa diakses publik. Latihan Karate, Basket, Joging, dan juga lainnya. Tapi, sore itu ada beberapa alasan yang tidak memungkinkan untuk ini. Lokasi mural Hafizan beralih ke- Simpang Dempal. Hingga menjelang Isya mural terakhir selesai juga.

Setidaknya, menurut saya “aksi mural estefet” ini mampu mempublikkan mural itu sendiri, dan mengimbangi visual-visual kota. Ruang publik memang sudah seharusnya menjadi ruang yang nyaman bagi banyak orang. Namun pada kondisi tertentu publik terjebak menjadi calon konsumen dadakan. Terima atau tidak, siapapun berlomba memanfaatkan ini, terutama perusahaan-perusaan besar, hari ini kami pun anak muda Solok juga berupaya merebut ruang publik itu.

M. Biahlil Badri (Solok, 1996). Biasa disapa Adri. Salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi. Sempat berkuliah di ISI Padangpanjang. Sekarang aktif mengelola akun @solokmilikwarga, sebuah metode pengarsipan yang dikembangkan Gubuak Kopi melalui platform Instagram, dan juga aktif menulis untuk beberapa media di Sumatera Barat. Ia juga merupakan salah satu partisipan kegiatan Daur Subur di Parak Kopi (2019), kolaborator Pameran Kesejarahan Kurun Niaga bersama Gubuak Kopi (2019). Saat ini selain di Gubuak Kopi, ia juga mengelola kelompok musik Papan Iklan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.