Author Archives: Albert Rahman Putra

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Literasi Komunitas Filem

Perkembangan aktivisme dan aktivitas seputar sinema di daerah-daerah tidak lepas dari peran komunitas yang ada di dalam dan sekitarnya. Adalah tugas komunitas untuk membaca dan memahami persoalan yang ada di sekitar mereka: menemukan referensi sinema yang berkualitas, dan menggiring diskusi yang produktif di antara masyarakat, baik itu dalam melihat persoalan sosial politik, ekonomi, dan sebagainya. Entah itu akan bermuara pada produksi-distribusi atau dalam bentuk aksi-aksi publik lainnya. Sebelum itu, tentu setiap pelaku komunitas harus memiliki bekal pengetahuan sinema itu terlebih dahulu. Hingga saat ini, umumnya produksi dan distribusi pengetahauan sinema, secara dominan, masih terpusat di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Jogja. Tapi kita tidak boleh lupa, ia nyatanya juga dapat tumbuh dan hidup di kawasan yang sangat kecil, contohnya adalah kawan-kawan di Purbalingga yang telah melakukanya dengan sangat baik (Festival Film Purbalingga). Di tangan pegiat filem Purbalingga, aktivitas dan aktivisme sinema tumbuh menyatu dalam kehidupan masyarakatnya. Continue reading

KULTUR DAUR SUBUR DAN AGENDA LAINNYA

Sore itu, 01 Agustus 2016, Solok diguyur hujan yang lebat sedari siang nan lengang. Hari itu juga merupakan hari jadi Komunitas Gubuak Kopi, hari pertama kalinya kelompok ini diperkenalkan pada publik tahun 2011 lalu. Kali ini kita berjanji merayakannya bersama anak-anak di sekitar markas kita setelah semalam berpesta dan berevaluasi. Kali ini dalam dengan tajuk “Kultur Daur Subur”, yang memang sudah kita agendakan dalam program Kelas Warga.

Kegiatan ini pada dasarnya kita tujukan sebagai respon atas sampah yang selama ini semata-mata menjadi keluhan. Ini bukan pertama kali nya kita “bermain-main” dengan sampah, selain markas kita yang memang dihiasi “sampah”, sebelumnya persoalan ini juga mendasari lahirnya kegiatan “Aku, Kita, dan Kota” pada tahun 2012. Tak lama sebelum kegiatan “Aku, Kita, dan Kota”, kota kecil ini mendapat penghargaan “adipura”, semacam penghargaan pemerintah pusat untuk kota yang bersih. Piala kebersihan itu, oleh Walikota diarak keliling jalan protokol dengan penuh kebanggan. Sebagian besar pengawai negeri ikut merayakannya dihadapan publik, sementara di saat itu kami sibuk menonton publik yang kebingungan, atau tidak antusias. Continue reading

Pengantar “Merawat Tubuh Tradisi”

Praktek-praktek mengenai kesenian tradisi di Solok, Sumatera Barat, hari ini hadir dengan motif yang beragam. Sebelumnya, kesenian tradisi hadir secara organik di tengah komunitas pendukungnya, sebagai bagian yang hidup dari kebudayaan mereka. Motif istemewa dari kehadirannya secara organik tersebut, adalah sebagai produk kolektif dari warga yang merefleksikan nilai-nilai kebudayaan. Sehingganya, kesenian tidak hanya menempatkan posisi sebagai hiburan warga, melainkan hadir sebagai bukti kekuatan sosial dalam mengemban identitas lokal. Continue reading

MENOLAK KONSTRUKSI MEDIA

*Artikel ini diperuntukkan sebagai pengantar Pagelaran Seni Moods of May selaku Ketua Komunitas Gubuak Kopi,serta pengantar diskusi seni Kelas Warga.

Di sebuah pertualangan, di tengah rimba raya, saya ingat seorang teman yang bertanya heran, “kenapa tiba-tiba rimba ini menjadi diam?” seorang teman lainnya yang baru saja sadar, meloncat dan melihat sekitar. “predator”, begitu tegasnya, tak lama seekor ular besar lewat. Ia terus melintas dihadapan kami dengan seekor tikus besar di mulutnya, pergi, dan menghilang. Rimba kembali bernyanyi. Pengalaman ini mengingatkan saya pada narasi mengenai Orde Baru, ketika kemegahan pembangungan, sepinya hiruk-pikuk rakyat kecil, ataupun kestabilan sebuah Negara bersemi karena mereka yang kecil ketakutan. Mungkin banyak sebab, tekanan, tidak ada suara, takut atau merasa percuma berteriak. Awalnya, saya tidak tahu persis apa yang terjadi pada rezim itu, saya belum terlalu dewasa untuk memahami apa yang yang tertulis “di buku sejarah sekolahan”. Belakangan baru saya menemukan banyak literature mengenai itu. Laporan KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) setidaknya menyebutkan Soeharto bertanggung jawab atas pembunuhan masal (1965), penggusuraan, manipulasi sejarah, pembredelan media, korup, dan banyak lainnya. Sebuah kekuatan besar, yang membuat takut banyak orang untuk menolak, demikian saya memahaminya. Continue reading

Di Pasar, Kita Bersinema

Sinema di Pojok Pasar Kita, adalah perayaan sinema yang bertepatan di Hari Film Nasinonal. Dalam hal ini, Komunitas Gubuak Kopi, menjadikan perayaan Hari Film Nasional ini, sebagai check poin untuk mengevaluasi perkembangan sinema kita dari tahun ke tahun. Sinema di Pojok Pasar Kita, adalah perayaan pertama yang dilakukan oleh Komunitas Gubuak Kopi. Kali ini Komunitas Gubuak Kopi merealisasikan kegiatan ini bersama Rumah Kreatif, salah satu kelompok yang juga berbasis di Solok.

Doc. Ngobrol Santai Soal Film Bersama Paul Agusta, kuliah umum Kelas Warga, masih bagian dari perayaan "Sinema di Pojok Pasar Kita di Gubuak Kopi, 24 Maret 2016. (foto: dokumentasi Komunitas Gubuak Kopi)

Doc. Ngobrol Santai Soal Film Bersama Paul Agusta, kuliah umum Kelas Warga, masih bagian dari perayaan “Sinema di Pojok Pasar Kita di Gubuak Kopi, 24 Maret 2016. (foto: dokumentasi Komunitas Gubuak Kopi)

Dalam kesempatan pertama ini, kita mengajak masyarakat para pecinta film ataupun umum, untuk membaca kembali situasi perkembangan kebudayaan sinema di Solok, secara khusus, dan Sumatera Barat, secara umum. Kita mengajak publik menyoroti keberadaan bioskop terakhir di Kota Solok, yakni Bioskop Karia yang telah dirubuhkan pada tahun 2014, dan kini telah berganti dengan bangunan toko. (baca juga: Nostalgia Layar Kejayaan, 2014) Bioskop ini dirubuhkan atas rembukan berbagai pihak, baik itu dari si pemiliki perusahaan, pegawai, investor, dan pemberi subsidi. Bioskop Karia Solok, dalam hal ini hanyalah salah satu bioskop yang kalah dalam monopoli distribusi film di Indonesia. Menarik pula, tidak ada keinginan dari pemerintah untuk mengambil alih gedung ini.

Dalam hal ini kita tidak pula ingin menyebut-nyebut bioskop yang tua ini adalah ‘barang antik’, ataupun dulu bioskop ini lah sumber pendapatan terbesar di Solok, seperti yang sering disebut orang yang menyayangkan keruntuhan bangunan itu. Berdasarkan wawancara saya bersama bapak Haji Nasionalis, seorang projectionis Bioksop Karia Solok, sempat ada usaha negosiasi dari pihak perusahaan bersama pemerintahan untuk mengambil alih gedung ini. Namun, pemerintah atau pemangku kebijakan saat itu, menilai bahwa Bioskop ini tidak lagi memiliki lagi nilai ekonomis, malah sering kali disebut sebagai tempat maksiat. Saya sendiri, menilai persitiwa ini pertanda ketidak-berpihakan pemerintah terhadap kebudayaan sinema, dan yang lebih malang lagi adalah ketidaksadarannya pemerintah untuk melihat sinema sebagai sebuah kebudayaan. Mungkin akan berbeda kalau “bioskop” lebih dikenal dengan “taman budaya” atau “taman belajar” atau “gedung kebudayaan” dst.

 

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daiel)

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daniel)

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daiel)

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daniel)Sulit pula menyalahkan pemangku kebijakan begitu saja. Di sini bioskop atau kebudayaan sinema memang semata-mata hanya dipahami sebagai “industri komersil” semata. Hal ini juga dipahami serupa oleh sebagaian besar masyarakat dan pemangku kebijakan di berbagai daerah di Indonesia. Di sini pemahaman mengenai sinema sebagai sebuah “kebudayaan” hampir tidak mendapat tempat. Pendidikan sejarah dan perkembangan sinema, itu barang kali yang kita tidak dapat selama itu. Infrastruktur, barang kali ada, namun prakteknya selalu mendahulukan kepentingan komersial semata. Hal ini tentunya berkaitan pula dengan tradisi rezim sebelum reformasi yang sangat lama membungkam kritik dan hal-hal yang bersifat aktivisme. Seiring dengan itu, kita sadar kebudayaan yang tidak eksotis, menjual, membangun mental kritis, hampir tidak mendapatkan tempat. Bahkan latah itu masih kita rasakan hingga sekarang.

Sengaja kita memilih Hari Film Nasional, untuk mengkampanyekan kesadaran ini: terlepas dari term film komersil atau tidak, film dan sinema juga harus kita sadari sebagai sebuah kebudayaan. Setidaknya pada kesempatan ini, kita bicarakan kembali cita-cita mulia “bapak perfilman” kita Usmar Ismail, tentang apa itu film Indonesia. Di antaranya, cita-cita mengembangkan sinema sebagai pembangunan kebudayaan dan persatuan. Kita bisa melihat kondisi saat itu, Indonesia sebagai negara baru membutuhkan yang namanya “kebudayaan bersama” yang bisa meningkatkan rasa persatuan kita. Lebih dari itu, kita sangat mengapresiasi kesadaran Usmar Ismail yang melihat dan mengkampanyekan sinema sebagai kebudayaan. Dari sini kita bisa tarik kembali secara runut apa itu sinema, film, dan perkembangannya di berbagai belahan dunia. (baca juga: Kurangnya Budaya Diskusi Film di Kota Kami, 2015)

Berangakat dari kesadaran itu, Komunitas Gubuak Kopi melalui program penayangan ‘bioskop alternatif’: Sinema Pojok, berupaya menghadirkan ruang berbagi pengetahuan sinema itu. Di sini kita menayangan sinema-sinema yang akui secara kritik maupun riset sebagai sinema-sinema penting di dunia. Selain itu kita juga berupaya mengembangkan kebudayaan sinema atau kebudayaan menonton kita dalam bentuk “layar tancap” yang memberi kita peluang untuk berakrab-akrab dan bertemu. (baca juga:Nostalgia Kultur Sinema di Batu Kubung)

Malam itu, di depan pasar semi modern Kota Solok, diseberang RTH Kota Solok, ratusan masyarakat mampir, mampir untuk menonton, sekedar beramai-ramai, mencari hiburan, dan sebagainya. Tidak lupa, selebaran dan orasi film sebagai kebudayaan selalu kita galakan.

Daftar dan pengantar film yang ditayangkan, baca disini: (Poster) Sinema di Pojok Pasar Kita

Sampai bertemu di penayangan reguler kita berikutnya, maupun di perayaan tahun mendatang.


Koleksi foto lainnya:

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daiel)

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daniel)

12439441_208671079509694_1019947303066623476_n

Sinema di Pojok Pasar Kita, Merayakan Hari Filem Nasional

12472450_208671126176356_8704009580733779629_n12495091_208671402842995_5587602572770735194_n12512402_208671212843014_5145640093917254537_n12512672_208671892842946_3307136200522977463_n12919873_208671112843024_2898393481506900537_n12923223_208671059509696_447543117575641457_n12923238_208671609509641_465643295559716328_n12928431_208671646176304_5344149188955099201_n12936733_208671096176359_4433226739973927311_n

Koleksi Foto: Roni Daniel


12885980_593193500845485_5271279836998687727_o12891149_593193507512151_447930775805996813_o12440605_593194807512021_810362862850346923_o

Koleksi foto dari Papa Dzaki

Baca juga: hariansinggalang.com: Komunitas Gubuk Kopi Adakan Nonton Bareng

DOC. NGOBROL SANTAI BERSAMA PAUL AGUSTA

Jumat, 24 Maret 2016 lalu Komunitas Gubuak Kopi kedatangan tamu spesial, Paul Agusta. Paul adalah salah seorang sineas yang namanya cukup dikenal di luar atau pun di dalam negeri. Sebelumnya ia dikenal sebagai seorang kritikus filem dan musik, kurator filem, juga terlibat dalam berbagai festival. Awal tahun 2007, ia memutuskan untuk memproduksi karyanya sendiri. Filem pertamanya, Kado Hari Jadi telah diputar di berbagai festival dan event filem di berbagai negara. At The Very Bottom of Everything adalah filem panjang keduanya.

 

Pada kesempatan itu Paul menyempatkan diri berbagi pengalaman panjang dalam dunia sinema dan perfileman di Kelas Warga, Gubuakkopi.

Berikut dokumentasinya:

DOC. SINEMA POJOK 8

Demokrasi di SMU 31 Peking

Sabtu, 12 Maret 2016 lalu Komunitas Gubuak Kopi di Sinema Pojok menayangkan sebuah filem dokumenter pendek karya sutradara Joris Ivens. Ini adalah kesekian kalinya Sinema Pojok memutarkan karya-karya sutradara brilian berkebangsaan Belanda ini. Ivens dari banyak karyanya itu sering menjadikan filem sebagai alat melancarkan misi propagandanya, dan tentu dengan muatan estetika yang menarik. Di tangan Ivens, filem menjadi bahasa yang puitis dalam menyajikan realitas. Realitas yang ia rasa penting untuk diketahui publik. Malam itu di Sinema Pojok filem Ivens “The Football Incident; Highschool no 31 Peking” ditayangkan dan memberi pelajaran yang cukup menarik.

Seperti halnya Indonesia Calling, The Football Incident adalah rekaman real time yang sarat dengan konsep ideologi. Filem ini merekam apa yang terjadi setelah seorang murid SMU 31 Peking (Cina), menendangkan bola pada gurunya yang telah membunyikan Bell (tanda masuk kelas). Cameraman yang mengaskan kehadirannya menemui siswa tersebut menanyai kejadian itu. Tidak hanya Si Murid, ia juga menemui Si Guru. Keduanya saling memberi tanggapan soal kejadian itu, dan kemudian dua pembelaan itu bertemu dalam diskusi sebuah kelas.

Dalam pertemuan dengan guru, Cameraman melontarkan beberapa pertanyaan menarik, dan barang kali sangat ideologis. “apakah murid-murid ini dikenai hukuman?”, Guru tersebut menjawab “tidak,”. Guru itu pun menjelaskan, saat ini situasinya sangat berbeda, kalau dulu dalam kejadian seperti ini jangankan dihukum, murid tersebut bisa saja dikeluarkan. Namun sekarang zaman segera berubah, hal itu tidak lagi sesuai dengan apa yang dia ajarkan ketua Mao Zedong, REVOLUSI BUDAYA.

***

Pihak guru menilai tindakan yang dilakukan muridnya itu adalah kesengajaan atas kekesalan. Begitu juga beberapa murid lainnya, tapi ada juga yang membela murid penendang bola ini, dan menilai kejadian itu sebagai ketidak-sengajaan. Mereka secara terpisah, masing-masing menilai secara subjectif, di sinilah barang kali kita bisa melihat betapa besar peran Mao merevolusi Tiongkok pada masa itu.

Sejumlah literatur mencatat Mao tidak memiliki record revolusi yang sempurna. Revolusi yang disebutnya “Lompatan Jauh Kedepan” telah membuat ratusan masyarakat meninggal dunia. Tapi kita tidak akan membahas persoalan itu panjang lebar. Sumbang terbesar Mao terhadap masyarakat Cina modern, bagi saya salah satunya bisa kita lihat dalam praktik revolusi yang diabadikan Ivens kali ini. Mao percaya segala sesuatu harus dinilai secara objectif. Setiap kebenaran harus dinyatakan dengan fakta-fakta yang mendukung kebenaran, itu artinya tidak ditentukan dengan “prasangka kebenaran”. Untuk itu perlu adanya sebuah diskusi yang memberikan analisa-analisa objektif mengenai kebenaran itu.

Dalam kebudayaan masyarakat Tiongkok sebelumnya, seorang guru yang tidak menerima perlakukan tersebut dengan mudah saja mengklaim persoalan itu sebagai sebuah kesalahan, lalu menguhukum murid tersebut. Tapi bagi Mao, tindakan tersebut tak lain usaha melestarikan dogma sebagai kebenaran yang tak perlu dipertanyakan. (baca juga: Merubah Pelajaran Kita, Mao Zedong 1941) Sekalipun guru tersebut dapat menjelaskan alasan-alasan bahwa yang dilakukan murid tersebut adalah salah, ia tetap saja meniadakan kenyataan adanya penyebab lain kenapa anak ini berbuat salah. Artinya terdapat kebenaran lain yang dibiarkan menjadi misteri. Inilah yang menjadi persoalan banyak kasus di berbagai tempat, termasuk di Solok.

Saya ingin menceritakan sebuah pengalaman. Sewaktu sekolah, salah seorang guru sedang memaparkan pada kami cara kerja petani dalam mengolah padi. Di papan tulis ia menuliskan “rice milling” lalu menjelaskan “rice” itu padi, “miling” itu susu (mungkin maksudnya milk), susu itu putih, maka rice miling adalah menjadikan padi menjadi putih itu artinya menjadi beras. Seluruh murid tertawa termasuk saya. Saya sadari waktu itu saya tidak sedang “menjadi siswa yang baik” mungkin bisa dibayang situasi belajar dalam kelas yang dipimpin guru ini, isinya kurnag lebih menjabarkan isi buku kemudian analisa-analisa sekenanya, itu adalah hal yang membosankan.

Guru itu menunjuk saya dan teman sebangku saya, melempari kami dengan spidolnya. Waktu itu dari sekian banyak orang yang tertawa sepertinya memarahi saya memang memiliki potensi aman bagi guru tersebut untuk mengalihkan analisanya yang ia sendiri sebenarnya sadar itu keliru. Ia memarahi saya karena tertawa dan terus bicara dengan teman sebangku sedari tadi ia perhatikan, dan saya akui itu. Tapi pengakuan itu ternyata tidak cukup barang kali ia punya masalah lain yang semakin buruk dengan tertawaan tadi. Ia menjadi-jadi memarahi saya, menyebut hari-hari sebelumnya, kemudian merembes membaca segala kekeasannya terhadap sisa di kelas. Guru ini keluar kelas dan tidak kembali, konon ia pingsan, dan besoknya kepala sekolah memanggil orang tua saya dan teman saya ke kantor. Kepala sekolah lebih tertarik menasehati saya dihadapan orang tua ketimbang membongkar kenapa saya bersikap demikian. Di situasi sebelum Mao, barang kali saya sudah dikeluarkan dari sekolah.

***

vlcsnap-2016-03-09-11h13m55s129

dicapture dari filem “The Highschool Incident” Joris Ivens

Kembali pada cerita yang direkam Ivens. Guru dan murid-murid berkumpul dalam kelas untuk membicarakan persoalan bola yang ditendang itu. Setidaknya pada masa itu terlihat bagaimana guru dan murik memiliki hak yang sama. Setiap murid, termasuk guru, memberikan analisa dan padangannya dalam mengamati persoalan ini. Ada yang membela temannya karena itu sebuah ketidak sengajaan, namun muncul analisa lain murid tersebut sengaja menhentikan bola ketika bell berbunyi segera setelah itu ia menendangkan bola dengan keras pada guru tersebut. Beragam pendapat terucapkan, sampai akhirnya murid yang menendang bola itu menganalisa sendiri apa yang dilakukannya dan mengakui, bahwa yang terjadi adalah benar ia menendang bola ke arah guru itu dengan sengaja.

Dengan jiwa besar guru tersebut mulai memahami ketidaksabaran selama ini, seperti yang ajarkan ketua Mao. Tanpa sadar ia membuat dirinya terlihat bersikap kurang adil. Diskusi selesai tanpa ada yang mendapat hukuman dan semua saling berjabat tangan. Contoh kecil ini adalah pelajaran penting dalam revolusi yang dikampanyekan Mao.

BAGAMAIK DAN PRAKTEK DEMOKRASI DI KAMPUNG JAO, SOLOK

Pada Kamis, 18 Februari 2016 ini, Komunitas Gubuak Kopi berkesempatan menjadi saksi sejarah praktik pembelajaran demokrasi di Kelurahan Kampung Jao (Kampung Jawa) Kota Solok. Malam itu di Galeri Gubuakkopi, berlangsung penyampaian visi-misi calon Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Kampung Jao untuk priode 2016-2019. Kegiatan ini dihadiri oleh pihak kecamatan, kelurahan, niniak mamak, alim ulama, ketua pemuda, PKK, bundo kanduang, RT/RW, tokoh masyarakat, dan warga Kelurahan Kampung Jao umumnya.

 

P_20160218_211446.jpg

Bapak Delfianto (bediri) menyampaikan arahannya selaku camat yang akan melantik LPMK nantinya.

Menurut Bapak Camat Kelurahan Kampung Jao, ini adalah kali pertama diselenggarakannya pemilhan terbuka mengenai posisi ketua LPMK.

“Di Kecamatan Tanjung Harapan, yang terdiri dari enam kelurahan. Ini adalah kali pertama saya menyaksikan agenda pemilihan LPMK yang sangat demokratis ini…” ujar Bapak Delfianto selaku, Camat Tanjung Harapan, Kota Solok dalam sambutanya.

Menurut Bapak Camat, sebelumnya dia hanya menerima laporan langsung dari kelurahan menenai siapa ketua LPMK terpilih. Malah, ia pernah mendengar, sebelumnya untuk pemilihan ketua LPMK dipanitiai langsung oleh mantan ketua LPMK, dan menurutnya itu tidak patut.

“memang harus ada panitia khusus yang menyelenggarakan pemilihan ini, bukan dari mantan.” demikian pujinya mencegah adanya aksi ‘kongkalikong’.

 

Malam itu bapak camat cukup luas menjabarkan peranan LPMK bagi warga, terutama sebagai media aspirasi warga mengembangkan kelurahannya. LPMK akan bekerja berdampingan dengan kelurahan, semacam DPRD-nya Pemerintahan daerah, namun tidak politis. Hal ini menjadi acuannya dalam mengevaluasi kegiatan malam itu.

Sebelumnya oleh panitia diagenda kepada Camat dan Lurah untuk memberikan tanggapan atau pendalaman dari visi-misi dari 3 kandidat. Dengan alasan yang jelas ia menolak, sekaligus mencegah kelurahan mengutarakan penilannya. Baginya tanggapan membuka peluang untuk terjadinya penilaian yang sabjektif dan memihak. Makan dalam agenda itu seperti yang sepakati warga agenda mengenai “tanya-jawab, tanggap menanggapi, debat, komentar,” dihilangkan. Dan hal ini disepakati warga.

“saya hanya bisa memenuhi undangan untuk memberikan arahan, tidak untuk memberikan penilaian,”

Camat juga menjelaskan bahwa peran LPMK nantinya akan menjadi alat warga, untuk itu siapapun yang terpilih akan mendedikasikan dirinya untuk mewakili suara warga. Setiap kandidat hendaknya juga bisa memahami keinginan dan kebutuhan warga sesuai dengan kondisinya, tidak mewakili kelompok, partai, ras, etnis ataupun agama tertentu. Seperti halnya Kampung Jawa yang merupakan kelurahan besar, terletak dipusat kota, didalamnya hidup beragam etnis, dan agama.

Tiga kandidat LPMK malam itu antara lain; 1) Parjo; 2)Rily Ade; 3) Alexandra. Masing-masing kandidat menyampaikan visi – misinya dihadapan warga dan tokoh masyrakat lainnya.

Pemilihan akan berlangsung pada tanggal 27 Februari 2016 nanti. Mengenai tempat, Camat juga mengingatkan untuk dilakukan ditempat yang terbuka. Mengingat sebelumya dirancanakan akan dilaksanakan di kantor Kelurahan yang begitu sepi dan sempit. Ia menegaskan sebaiknya setiap orang dapat menyaksikan pemilihan dan penghitungan suara, dan harapannya kegiatan yang demokratis ini bisa menjadi contoh bagi kelurahan lainnya. Kegiatan malam itu belangsung lancar dan suka ria, ditutup dengan hiburan kesenian Gamaik (gamad).

DOC. SINEMA POJOK 6

Mengenal dan memahami pesoalan lokal dengan wawasan global

Pada nomor Sinema Pojok ke 6, Komunitas Gubuak Kopi menghadirkan dua gaya filem yang berbeda. Filem pertama adalah “Bridge Go-Round” karya seorang experimental filemmaker asal Amerika: Shirley Clarke. Filem berdurasi 4 menit ini dirilis pada tahun 1958 di Amerika. Menyajikan footages sebuah jembatan besar di New York dari berbagai sudut. Gambar-gambar tersebut saling berdempetan dan tumpang tindih membentuk sebuah realitas baru, citraan visual yang imjinatif, bersama dua versi musik yang barangkali menghasilkan sensibilitas berbeda. Karya ini juga dimuat dalam koleksi “Treasures IV: American Avant-Garde Film, 1947-1986” oleh National Film Prefeserfation Foundation bersama 25 filem lainnya yang dianggap berperan penting dalam sejarah re-defenisi sinema di Amerika.

Dari karya Clarke salah satunya kita bisa melihat bagimana bahasa filem di era 50-an mengkorelasikan citraan visual dan bunyi. Seperti sebuah tarian yang semakin kompleks dengan sajian gerak dan musik. Konon Clarke sebenarnya hanya ingin menjadi penari, namun kemudian bakat itu disajikan dalam budaya sinema. Filem ini sengaja dipertontonkan di Sinema Pojok 6 sebagai pengenalan gaya-gaya dan perkembangan sinema dunia. Terutama mengisi kekosongan wacana pengetahuan sinema dunia di Solok (baca juga: Referensi Yang Buram).

Jpeg

Filem kedua yang diputarkan adalah Home, sebuah dokumenter panjang karya Yan Arthus-Bertrand, dirilis pada tahun 2009. Sebuah filem merekam perkembangan dan perubahan global yang terjadi di dunia. Filem ini secra estetis cukup menarik, bisa dikatakan semua gambar yang ia dapat diambil dari udara. Menghasilkan gambar-gambar yang menakjubkan atau gambar yang viewnya bisa dikatakan belum pernah dilihat banyak orang secara langsung. Dan di sisi lain filem ini mengajak kita, penonton, berada pada posisi mengamati bumiyang tampak sebagai sebuah objek yang semakin hari semakin kritis ditangan manusia rakus sebagai subjek.

Secara keseluruhan, filem ini menyajikan gambaran umum bagaimana kerakusan menjadi masalah bersama umat manusia yang hidup bergantung terhadap bumi. setiap citraan visual diiringi dengan narasi oleh seorang narator tunggal. Hampir sama sebenarnya dengan gaya dokumenter televisi umumnya, cendrung menggurui, dan membuat penonton pasif. Penonton terkesan seakan mendengar ceramah ketimbang ‘membaca sebuah teks’. Tapi isu yang dinarasikannya cukup mendalam, referensinya faktual. Tapi bagi saya filem ini masih menyisakan banyak misteri, terutama dengan jarak antara kamera dan kehidupan di bumi – sebagai objek, kita tidak melihat interaksi dan pola sosial secara objektif kotekstual – yang bagi saya adalah kunci untuk memahami persoalan ini. Keintiman, situasi politik, dan kesadaran budaya lokal saya kira adalah bagian penting untuk menilai persoalan ini.Jpeg

Jpeg

Filem Home sengaja diputarkan sebagai pengantar wacana lingkungan hidup dalam prespektif global. Dalam hal ini Komunitas Gubuak Kopi memoderasi penayangan ini untuk melihat persoalan lokal dalam pemahaman yang global, bahwa menjaga dan merawat bumi adalah tugas semua penduduk bumi. Apa yang menjadi masalah bersama dan apa yang bisa kita lakukan.

_____________