M. Biahlil Badri (Solok, 1996). Biasa disapa Adri. Salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi. Sempat berkuliah di ISI Padangpanjang. Sekarang aktif mengelola akun @solokmilikwarga, sebuah metode pengarsipan yang dikembangkan Gubuak Kopi melalui platform Instagram, dan juga aktif menulis untuk beberapa media di Sumatera Barat. Ia juga merupakan salah satu partisipan kegiatan Daur Subur di Parak Kopi (2019), kolaborator Pameran Kesejarahan Kurun Niaga bersama Gubuak Kopi (2019). Saat ini selain di Gubuak Kopi, ia juga mengelola kelompok musik Papan Iklan.
Vlog by Biahlil Badri // Gantuang Ciri, 9 September 2019
Marapulai bapakaian, merupakan salah satu tahapan pada tradisi baralek pernikahan di Nagari Gantuang Ciri, Solok. Dimana seorang marapulai (pengantin lak-laki) akan dipakaikan baju (Jas, atau pakaian lainnya) oleh “bapak”nya. Yang dimaksud bapak di sini adalah saudara laki-laki dari ayah, atau jika tidak, bisa digantikan dengan bapak sapasukuan (satu klan/garis keturunan) di nagari tersebut.
Saya rasa, tidak ada yang salah apabila seorang anak bermain gadged atau smartphone. Ketakutan seorang guru di sekolah dan orang tuanya di rumah, menjadikan anak tidak boleh bermain gadged terlalu lama. Atau guru sekolah tidak memberikan izin untuk membawanya ke sekolah, bahkan di razia. Memang dari sekian banyak anak yang bermain gadged, tidak tahu lagi permainan “tradisional” zaman dulu. Tapi ada juga diantara anak yang bermain gadged, tahu dan suka dengan permainan “tradisional”.
Solok
hari ini adalah sebuah kota dan
kabupaten yang berada di Sumatera Barat Indonesia. Lokasinya yang strategis
berada di persimpangan jalan lintas provinsi, selalu
dibunyikan di berbagai promosi. Dari arah Selatan jalur lintas dari Provinsi
Lampung, Provinsi Sumatra Selatan,
dan Provinsi Jambi, kota ini merupakan titik persimpangan untuk menuju Kota
Padang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera
Barat yang jaraknya hanya sekitar 64 Km saja. Bila ke arah utara akan menuju
Kota Bukittinggi yang berjarak sekitar 71 Km, dan lanjut menuju kawasan Sumatra Bagian
Utara.
Solok sampai saat ini juga masih dikenal dengan kualitas berasnya yang enak, juga tidak sedikit yang mengetahuinya dari lagu yang berjudul “Bareh Solok”. Seseorang teman saya dari Batusangkar yang berjarak sekitar 49 km dari Kota Solok, atau dengan jarak tempuh sekitar 1 jam 15 menit dari Kota Solok menanyakan kepada saya apa saja makanan khas Solok selain beras. Pertanyaan ini agak membingungkan saya seketika itu, saya menjawabnya dengan lemah, mungkin markisah. Jelas saja dia tidak puas dengan jawabannya.
Ya,
begitulah Solok, belum
banyak yang tahu, kemungkinan terbesar mereka akan mengetahui Solok dengan
berasnya adalah dengan terus mengudaranya lagu “Bareh Solok”. Iya ini hanya asumsi saya.
Tentunya Kota Solok tidak akan melakukan asumsi saya tersebut.
Awal Agustus 2019 Komunitas Gubuak Kopi, Gajah Maharam, dan Dinas Pariwisata Kota Solok merancang sebuah event seni di ruang publik, yang kemudian disebut “Solok Mural Competition“. Kegiatan ini mengundang keterlibatan seniman atau pegiat mural di seluruh Indonesia untuk mewarnai 51 dinding yang telah dipersiapkan. Para seniman atau pegiat mural tersebut dapat berpartisipasi dengan mengirimkan sketsa mural melalui email kepada panitia. Karya-karya yang sudah terkirim ke email panitia, diseleksi oleh tim kurasi dari Komunitas Gubuak Kopi, antara lain Albert Rahman Putra, Hafizan, dan Muhammad Risky a.k.a sayhallo. (Lihat juga Pengantar Solok Mural Competition: Solok yang Kita Pilih)
Dari semua karya yang masuk ke email, panitia hanya meloloskan 51 sketsa karya, yang kemudian telah berpartisipasi dalam kegiatan ini. Selain dinding/space mural, partisipan terpilih mendapatkan subsidi cat sebanyak 300 mililiter sebanyak lima warna. Untuk tahun ini, Solok Mural Competition dipusatkan di Taman Pramuka Kota Solok dan SMPN 2 Kota Solok.
Sesuai dengan namanya Solok Mural
Competition, mural-mural yang telah dipresentasikan
di dinding-dinding Solok pada 26-27 Oktober 2019 lalu,
diapresiasi kembali dengan memilih karya terbaik untuk mengisi 6 kategori
penilaian. Selain itu terdapat satu penilaian
khusus, yakni Gubuak Kopi Award, untuk karya yang dianggap mewakili, atau
sejalan dengan semangat Komunitas Gubuak Kopi, semangat otokritik dan
optimistik. Seleksi ini akan dilakukan oleh juri, Andang
Kelana seorang seniman, kurator dan Direktur Visual Jalanan; Ferdian Ondria Asa atau yang
lebil dikenal dengan nama Roki, seorang seniman dan pengajar di Jurusan Seni
Rupa Universitas Negeri Padang;
kemudian Volta Ahmad Jonneva seniman dan anggota Komunitas Gubuak Kopi.
Sebelumnya, Beberapa hari menjelang
kegiatan, panitia, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pariwisata, bersama warga setempat bergotong-royong membersihkan lokasi
mural, di SMPN 2 Kota Solok dan juga Taman Pramuka. Tidak hanya itu persiapan
dinding yang akan dimural juga
dilapisi cat putih terlebih
dahulu. Lokasi dan posisi sketsa-sketsa
juga diatur oleh panitia yang diberi
nomor pada saat peserta yang lolos diumumkan melalui email dan media sosial.
Satu hari menjelang kegiatan ini dimulai para partisipan mural disediakan area “kemah bersama” di Taman Pramuka Kota Solok sampai hari terakhir kegiatan. Area kemping bersama ini diperuntukan untuk seniman luar kota, dan secara tidak langsung juga menjadi wadah berkumpul dan berdiskusi antar seniman yang mengukuti kegiatan ini.
Dari
hari pertama kemping dimulai, Taman Pramuka diramaikan
tenda-tenda peserta mural yang mengarah ke Pulau Belibis (salah satu tempat
wisata di Kota Solok). Tapi musim
hujan tidak dapat dielakkan salah satu tenda peserta roboh karena hujan yang disertai badai, namun
persoalan ini tidak menyurutkan perserta untuk bermalam di Taman Pramuka.
Saya sempat mewawancarai beberapa orang dari peserta mural, sembari menggoreskan kuasnya, ia berharap akan banyak lagi kegiatan seperti ini. Juga bangga bisa meninggalkan sebuah karya pilihannya di Kota Solok, ada yang senang karena bisa bertemu seniman-seniman mural di berbagai daerah. Namun, ada diantara mereka yang merasakan keterbatasan dari segi peralatan.
Di
Kota Solok, kompetisi mural seperti ini memang baru, namun harapan dari
partisipan pemural akan banyak lagi dinding yang akan dimural nantinya. Sebelum
Solok Mural Competition bukannya
tidak ada dinding-dinding kota yang dimural, namun kali ini antusias warga
lebih besar menerima mural, terutama
membawa dampak pada kebersihan lingkungan.
Salah seorang warga di sebelah SMP N 2 Kota Solok berkomentar baik tentang ini. Sebelumnya didepan dinding ini masih banyak sampah berserakan, sekarang alhamdulillah sudah menjadi pemandangan yang menarik. Masih di lokasi SMPN 2 Kota Solok, pada saat penilaian mural, beberapa pengguna jalan menyempatkan dirinya berfoto bersama dinding yang baru saja dimural, mungkin jika disentuh catnya akan menempel di kulit. Dua hari yang singkat, Solok Mural Competition menjadikan Solok lebih berwarna.
Solok, Oktober 2019
* artikel ini sebelumnya juga dipublikasi di visualjalanan.org: http://visualjalanan.org/web/mural-dan-warga-di-kota-solok/
Sumatera bagian tengah banyak didatangi oleh pedagang-pedagang luar yang tertarik dengan hasil alam, seperti emas, akasia, kopi, dan lainnya. Kekayaan itu juga mendorong pembangunan jalur transportasi, yang membuka akses perniagaan di Minangkabau, dan memungkinkan terjadinya persilangan budaya. Maka dengan ini Komunitas Gubuak Kopi mempersembahkan sebuah pameran kesejarahan bertajuk Kurun Niaga.
Demikian kata Jhon Ronald Ruel Tolkien, seorang penulis novel asal Britania Raya yang menulis The Hobbit dan The Lord of the Rings. Mungkin kalimat ini berlaku bagi seorang yang bersungguh-sungguh dalam pencariannya. Kalaupun tersesat, dia akan bertemu sesuatu yang tidak merugikan. Namun apakah kita harus mengembara?
Salah satu materi kelas dalam rangkaian Lokakarya Literasi Media: Daur Subur di Parak Kopi adalah membuat video kolase yang dipandu oleh Mia Aulia. 21 Juni 2019 lalu, Mia mengajak para partisipan untuk membuat sebuah karya video kolase bersama. Video kolase dalam hal ini adalah susunan potongan gambar yang diambil dari potongan iklan di koran, direkonstruksi dalam bentuk gambar bergerak dengan teknik stop motion, yang digarap menjadi sebuah narasi baru.
Parak Kopi adalah salah satu kampung kota di Padang Utara, Kota Padang, yang dulunya sangat ramai dengan lahan pertanian sayur. Seiring perkembangan waktu Parak Kopi berkembang menjadi kawasan perumahan yang padat, mulai komplek perumahan biasa, rumah-rumah yang muncul secara organik, maupun komplek perumahan realestate. Beberapa warga yang merupakan petani sayur berladang ke kampung sebelah. Sebagian besar pertanian yang tersisa adalah jenis pertanian kangkung. Beberapa waktu lalu Badri dan teman-teman mengunjungi salah satunya, yakni perkebunan Pak Bonbon, serta melihat bagaimana kondisi perkebunanannya dan aktivitas memanen.
Akhirnya hujan turun juga setelah mendung yang cukup panjang dari tadi siang. Hari ini, Sabtu, 29 Juni 2019 adalah hari ke-18 dari kegiatan lokakarya Daur Subur di Parak Kopi. Menurut jadwal malam ini kita ada kelas “Wawasan Kerja Redaksi” bersama Juli Ishaq Putra, atau yang biasa kami sapa Uda Is. Dia adalah seorang redaktur di salah satu perusahaan media Cetak di Kota Padang. Sepertinya Uda Is terlambat datang karena hujan yang cukup deras dari tadi. Sembari menunggu, kami menyempatkan menanam bunga jenis air, ke dalam bermacam ukuran botol kaca.
Minggu, 23 juni 2019, hari ini adalah hari ke-7 lokakarya Daur Subur di Parak Kopi. Pada hari-hari sebelumnya beberapa pemateri tamu telah menyempatkan hadir dan menyumbangkan pikiran. Di antaranya Robby Kurniawan, dia adalah Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang, Agam, Sumatera Barat dan saat ini tengah menyelesaikan tesisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terkait fenomena keagamaan di Sumatera Barat. Materi yang diberikan Robby juga berhubungan dengan tesisnya turut memperkaya wawasan kami dalam memahami persoalan keagamaan, media, dan organisasinya. Selain itu, ada juga Mia Aulia seorang mahasiswa di Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Prodi Desain Komunikasi Visual (DKV), dia juga seorang seniman berbasis visual aktif memproduksi karya video kolase.