Kembara Bukit Barisan

“Not all those who wander are lost

(tidak semua pengembara akan tersesat)

Demikian kata Jhon Ronald Ruel Tolkien, seorang penulis novel asal Britania Raya yang menulis The Hobbit dan The Lord of the Rings. Mungkin kalimat ini berlaku bagi seorang yang bersungguh-sungguh dalam pencariannya. Kalaupun tersesat, dia akan bertemu sesuatu yang tidak merugikan. Namun apakah kita harus mengembara?

Beberapa hari menjelang  Idul Adha, saya dan  teman-teman di Komunitas Gubuak Kopi  mencoba menerjemahkan catatan  Sir. Thomas Standford Raffles, yang pernah menjajaki bukit barisan pada tahun 1818.  Dalam catatan tersebut, Raffles tertarik kepada Minangkabau yang ia sebut sebagai Melayu kuno, dan juga akan kecintaannya pada satra timur.

Suasana lokakarya Kurun Niaga bersama Gubuak Kopi di Tanah Merah Space.

Kesulitan pun banyak kami temui. Menerjemahkan bahasa sastra seorang yang lahir di Jamaica, dalam  teks berbahasa Inggris, sudah cukup membuat kami geleng-geleng kepala, dan sesekali tertawa karena istilah-istilahnya yang lucu mengenali lingkungan sekitar Minangkabau. Dari sore hingga larut malam  kami masih setia menatap tulisan dari cahaya proyektor yang berhenti di dinding. Malam itu kami tidak bisa pulang, sebelum Raffles membawa kami untuk sampai ke tujuan. Ya, mengembara dalam tulisannya yang mendeskripsikan suasana perjalanan.

Dari sekian banyak nama daerah yang tertulis dalam Memoir Raffles vol.1 ini, salah satu nagari yang disebutkan adalah “Ganton Chiri” yang tepatnya adalah Gantuang Ciri, jelas sekali nama ini tidak asing lagi bagi saya. Saya besar di nagari ini. Pada bulan juli tahun 1818 Thomas Stamford Raffles dari Bengkulu pergi menuju Padang.

Awal perjalanannya Raffles menaiki kuda, kemudian karena kondisi hujan dan medan yang cukup rumit karena arus yang deras, dia turun dan memutuskan untuk berjalan kaki. Dari Limau Manih Padang Raffles berjalan menaiki bukit-bukit. Selama perjalanananya sebelum sampai di Gantuang Ciri,  setidaknya ada sekitar 20 aliran sungai yang ia lewati.

Raffles mencatat hampir detail tentang semua perjalananya. Mulai dari kondisi jalan, tumbuhan yang ditemui, binatang, hingga suasana bintang di malam hari. Semua ditulisnya dengan kalimat yang “sastrawi”. Barang kali demikian alasan fasilitator memilih teks ini sebagai salah satu arsip yang perlu dibedah. Selain informasi dan sudut pandang, tradisi mencatat ala “jurnalisme warga sastrawi” ini juga menjadi fokus pengembangan Gubuak Kopi sejak awal berdirinya.

Suasana diskusi Proyek Seni Kurun Niaga di Tanah Merah Space bersama Komunitas Gubuak Kopi

Sesampainya di Gantuang Ciri, Raffles dikenai biaya tol, berupa sejumlah uang, kain, emas, barang-barang inferior, dan lain-lain. Pada masa itu, memang bagi siapa yang melewati daerah perkampungan akan dikenai tarif seperti yang di atas. Semua ini sepertinya akan digunakan untuk kebutuhan kampung.

Jalur dari Gantuang Ciri menuju Padang, sebetulnya saya sudah mendengarnya waktu   masih sekolah dasar dari orang-orang sekitar. Bahwa di belakang bukit yang terlihat jelas dari rumah saya adalah negeri Padang. Ini semakin membuat saya tidak begitu percaya, karena sepengetahuan saya waktu itu, jalan menuju Padang itu menurun ke arah Nagari Cupak kemudian menuju Kayu Aro, bukan ke belakang rumah.

Rasa penasaran pada  catatan  perjalanan Raffles dari Limau Manih Padang menuju Gantuang Ciri melalui jalur setapak, memutuskan kami untuk menemui salah seorang yang sering menelusuri jalur ini di Gantuang Ciri. Dari jalan baru Ampang Kualo saya, Albert Rahman Putra, ketua Komuitas Gubuak Kopi dan Biki Wabihamdhika salah seorang partisipan, menuju rumah Mak Samsun. Beberapa hari sebelumnya saya dan Biki juga sempat mencari tahu jalur setapak ini. Gantuang Ciri juga merupakan kampung halaman bagi Biki.

Salah  seorang  yang kami wawancarai di Gantuang Ciri menyarankan  kami untuk menemui Mak Samsun. Sebetulnya rumah beliau berseberangan gang dengan rumah saya, hanya karena aktivitas  yang sering bolak balik ladang dan sawah beliau jarang sekali saya temui. Kadang sekali dalam dua minggu beliau pergi ke Padang melalui jalur setapak.

Awalnya, beliau mengira bahwa kedatangan kami di rumahnya, bermaksud akan pergi bersama beliau ke Padang melalui jalur setapak. Karena begitu seringnya Mak Samsun menempuh jalur ini, beberapa kali ia diminta untuk menemani sekelompok orang yang ingin menempuh jalur ini. Mulai dari komunitas mahasiswa, orang sekitar, hingga komunitas off-road. Menurut cerita beliau komunitas off-road ini, waktu itu gagal menembus Padang dikarenakan medan yang rumit dan hujan yang menghambat perjalanan.

Albert saat memandu diskusi

Beliau juga menceritakan,  kalau dahulu jalur ini digunakan bagi para pedagang sekitar nagari Gantuang Ciri, seperti Cupak, Salayo, Talang dan lain lain membawa barang daganggan menuju Pasar Bandar Buat di Padang.

“tu, baa caro urang-urang dulu tu mambao galehnyo tu mak?” (Lalu bagaimana orang-orang itu membawa barang dagangannya waktu itu, mak?) tanya Albert.

“yoo, nyo jujuang se di kapalo nyo, batolongan di kawan manaiakan galeh tu kalau pas mandaki bana” (dijujung saja di atas kepala, kalau pendakian terlalu tajam, kawan yang lain akan membantu barang daganganya) jawab Mak Samsun sambil menggerakkan tangannya memberikan contoh.

Tak banyak yang Mak Samsun ketahui tentang jalur setapak di masa lalu, beliau hanya berbagi seputar perjalanan yang ia sering alami, melalui jalur setapak menuju Padang, seperti mendirikan sebuah pondok untuk persingahan beliau ketika sudah menempuh separuh jalan. Danau  kecil yang kadang kering dan kadang berisi air yang sangat jernih, ditambah dengan ikannya yang sangat diburu pejalan apabila sampai di sana.

Saat ini jarak tempuh dari bukit pertama hinnga Padang memakan waktu lima hingga tujuh jam  perjalanan. Jika ingin melakukan perjalanan dari Gantuang Ciri menjuju Padang melewati jalur setapak, kita akan mulai dari, Koto Baru Ateh, Rimbang, Pintu Rimbo, Karang Kambiang, Danau Kariang hingga menuruni bukit di Limau Manih. Kadang  jalur ini bisa saja berubah karena pohon yang tumbang dan lonsor, beliau tidak mengeluhkan soal ini.

Tawaran Mak Samsun kepada kami untuk mencoba jalur ini, berulang kali dilontarkan di dalam perbincangan, kami hanya menjawabnya dengan tawa yang membuat Mak Samsun meragukan kami. Tentu saja niat itu ada, barang kali harus mencari waktu yang tepat. Malam itu Mak Samsun bercerita banyak mengenai pengalamannya selama perjalanan. Ia juga menggambarkan beberapa teknologi pada masa itu untuk mengangkut barang. Selain itu, juga sejumlah hasil alam yang ia biasa cari di hutan itu. Seperti kambing hutan, burung, dan lainnya.

Memahami cerita Raffles tentu akan sangat berbeda dengan turut mengalami hal serupa. Tapi sebagai generasi kini, kita hanya bisa menghubungkannya dengan mengumpulkan narasi-narasi itu. Memhami bagaima pentingnya mengakses pebukitan Sumatera Barat, bagaimana tidak mudahnya mengakses itu, serta menemukan logika kenapa Eropa tidak bisa semaunya mengakses pusat Minangkabau, hingga gerakan Padri memecah perah saudara, dan pintu bagi kekuatan bersenjata yang lebih besar merebut kuasa.

Solok, September 2019

______________________

*Foto cover: Het Meer van Singkarak met de rivier Ombilin – perkiraan tahun 1892-1922 – Koleksi Tropenmuseum / Perpustakaan Gubuak Kopi.

M. Biahlil Badri (Solok, 1996). Biasa disapa Adri. Salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi. Sempat berkuliah di ISI Padangpanjang. Sekarang aktif mengelola akun @solokmilikwarga, sebuah metode pengarsipan yang dikembangkan Gubuak Kopi melalui platform Instagram, dan juga aktif menulis untuk beberapa media di Sumatera Barat. Ia juga merupakan salah satu partisipan kegiatan Daur Subur di Parak Kopi (2019), kolaborator Pameran Kesejarahan Kurun Niaga bersama Gubuak Kopi (2019). Saat ini selain di Gubuak Kopi, ia juga mengelola kelompok musik Papan Iklan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.