Menjadi Bagian dari Kultur Kota bersama Bujangan Urban

Sudah menjadi tradisi bagi Komunitas Gubuak Kopi untuk mewawancarai seniman yang terlibat dalam proyek ataupun kegiatan kita, sebagai bahan belajar. Wawancara ini berupaya untuk mengenal latar belakalang artisitik seniman serta mengumpulkan masukan-masukan untuk Solok, ataupun Komunitas Gubuak Kopi. Wawancara ini dilakukan pada hari-hari terakhir perhelatan Tenggara Festival 2020, di Solok.

Pada sesi ini kita berbincang dengan Bujangan Urban, juga dikenal dengan nama Jablay. Sejak 2003 bergabung dengan Artcoholic, sebuah komunitas seni jalanan yang aktif menanggapi ruang-ruang publik Jakarta. Ia juga merupakan salah seorang pendiri Gardu House (Jakarta), yang kemudian juga menginisasi festival seni jalanan terbesar di Jakarta: Street Dealin.

Tahun 2020, Bujangan Urban berkesempatan terlibat dalam program residensi Tenggara Street Art Festival. Dalam festival ini ia merespon dinding panjat di GOR Kota Solok setinggi 15 meter dan lebar 6 meter. Ini salah menjadi salah satu karya tertinggi yang pernah ia buat sendiri. Dalam rangkaian festival ini, ia juga menjadi salah seorang juri untuk menentukan para penerima penghargaan Tenggara Festival 2020. Selain itu, seperti di berbagai kota yang ia singgahi, ia menebar “bunga-bunga”-nya di berbagai titik di Solok. Dalam festival asal ia juga berkolaborasi bersama Masoki, seniman residensi lainnya Padang, merespon sebuah truk mini “Bank Sampah” milik Dinas Lingkungan Hidup, Kota Solok.

“kalau gua bisa terus memproduksi karya gua di jalan sampai orang tahu, berarti kan gua bagian dari story kota gua sendiri”

Bujangan Urban : Halo, aku Bujangan Urban, graffiti artist dari Jakarta, tinggal di Jakarta dan bekerja di Jakarta.

TF : Menyebut diri sebagai seniman apa?

Bujangan Urban : Sebagai street artist, karena aku banyak bekerja di ruang-ruang publik. Walaupun juga bikin karya di kanvas dan yang lain, tapi lebih banyak di ruang publik aktivitasnya.

TF : Jadi, kenapa memilih berkarya di street artist?

Bujangan Urban : Kenapa milih, karena awalnya tertarik melihat tagging-tagging di jalan, coret-coret nama sekolah, nama geng.

 Nah, dari situ enjoy melakukannya dari kecil waktu sekolah. Waktu kuliah, jadi tahu kalau itu graffiti, dan makin lama mulai mengeksplor. Dan ternyata graffiti itu punya kesamaan dengan konteks ketika aku menyikapi sesuatu. 

TF : Graffiti atau street art kan cenderungnya, di ruang publik. Nah, mediumnya itu rata-rata tembok, kenapa lebih tertarik di tembok, karena banyak medium kan?

Bujangan Urban : Karena kalau di bikin di kanvas, pameran di galeri orang akan melihatnya setahun sekali lah, itu walaupun kamu produktif banget. Tapi kalau di jalan orang akan melihat itu setiap hari. Makanya, konteksnya lebih kayak gitu. Karena, gini, gua jadi bagian dari sejarah kota gua, karena bikinnya di public space. Karya di jalan, kan gak selamanya ada, kan? Tapi, kalau gua bisa terus memproduksi karya gua di jalan sampai orang tahu, berarti kan gua bagian dari story kota gua sendiri.

TF : Menarik, jadi akhirnya sampai menemukan visual karakternya sendiri. Nah, prosesnya sampai ketemu karakter itu bagaimana?

Bujangan Urban : Itu ada beberapa proses yang cukup lumayan panjang ya. Kayak lu dari coba-coba, lama-lama sampai jadi. Dan itu pun karya yang banyak diproduksi di jalanan ada kayak bagian kecil dari karya-karya sebelumnya, kayak pelengkap. Jadi kadang-kadang hal-hal kecil bisa jadi besar kalau memang fokus. Sama kayaknya gua melakukannya di jalan. Walaupun gua bukan yang full skill, tapi gua lakuin itu terus dan fokus, dan lama-lama kita bisa sejajar dengan yang lain, begitu sih menurut gua. Karena kalau lu fokus tu, lu akan menemukan trik atau caranya sendiri dan untuk menyikapi cara berkesenian lu.

TF : Nah, kan akhirnya menemukan (karakter) visualnya tuh. Selain itu, bagaimana kok karakter itu bisa jadinya ngalir aja gitu, kan? Selain itu sering kolaborasi juga? atau lebih senang mainnya solo atau bagaimana?

Bujangan Urban : Karya gua tu adalah salah satu bagian berkomunikasi. Metode komunikasi terhadap publik dan pelakunya. Ketika gua berkolaborasi itu jadi cair banget, dan gua bisa berkolaborasi bukan cuman sama pelakunya, tapi bisa dengan banyak hal. Baik itu brand, organisasi, dan masyarakat sekalipun. Jadi menurut gua kolaborasi yang gua lakukan selama ini juga bentuk komunikasi. 

TF : Oooh... iya, bukan dari kalangan street artist saja, ya. Nah, kan ada macam-macam bentuk, seperti realis, dan lainnya. Kalau kolaborasi dengan yang berbeda karakter itu bagaimana?

Bujangan Urban : Menurut gua, setiap kolaborasi itu ada tantangannya. Jadi, bukan masalah tantangannya. Tapi, seberapa kita mau berkolaborasi, jadi dari situ kita bisa saling menyikapi. Ngobrol dulu sih, bukan karyanya. Kalau karya gua kan pasti gitu-gitu aja. Tapi kan idenya, mungkin nanti berubah dari warnanya, medium, bentuknya, mungkin nggak cuman di kanvas, mobil, t-shirt, pesawat atau segala macam. 

TF : Selama berkarya, ada nggak medium yang sulit untuk di gambar?

Bujangan Urban : Setiap berkarya kan ada “feel in” nya sendiri, ketika lu berkarya di tembok mungkin biasa aja. Tapi kan ada tembok-tembok tertentu yang mungkin ada security-nya, harus sembunyi-sembunyi, nah itu kan ada feel-nya yang beda. Terus juga, kadang-kadang, ketika lu harus bekerja sama sama brand, atau apa, ada patern-patern yang harus dijaga.  Menurut gua itu jadi bagian cara gua melihat sudut pandang baru ketika berkarya, nggak cuman tentang gua doang. Ketika berkolaborasi kan kita harus berbagi, nah itu challenge sendiri buat gua.

TF : Ya, jadi setiap lokasi dan setiap kolaborasi itu ada tantangannya masing-masing, ya? Terus Bang kan lu aktif juga di kolektif, nah itu bagaimana?

Bujangan Urban : Iya, bertahun-tahun membangun kololektif bersama teman-teman. Dan sekarang aku malah coba mau fokus untuk bagaimana mengembangkan potensi gua sendiri, yang sebelumnya pernah mengembangkan bersama orang lain.  Bagaimana caranya melihat setelah proses panjang perjalan gua. Apa sih yang bisa diterapin di diri lu. Nah, sekarang apa yang ada di sekian banyak itu diterapin buat diri sendiri. Jadi kayak harus zig-zag,  dari kolektif ke diri sendiri. Jadi, bisa melihat itu lebih detail, melihat potensi-potensi apa sih yang bisa dikembangkan dan dikerjakan ketika berkolektif dan individual.  Karena, kan, lu nggak akan pernah melihat cara pandang yang solo gitu kalau gak tau berkolektif, dan sebaliknya. Jadi, dua hal itu harus bisa gua lakuin sih, karena kedua itu punya kekuatan yang berbeda nantinya.

“Sebenarnya jauh dari itu adalah berjejaring sih, ketika lu bisa berjejaring secara besar, lu bisa melawan industrinya” 

TF : Jadi, bagaimana sekarang bang, kolektif dan skenanya itu bagaimana di tempatmu bang?

Bujangan Urban : Kalau menurut gua, keduanya sama-sama punya hal penting . Tapi di antara kedua itu, bagaimana kita membangun metode untuk saling supporting.  Bukan cuman tentang kolektif. Tapi dari sekian yang gua jalanin, dari bentuk kolektif dan lain-lainnya ternyata yang terpenting itu ya “supporting sistem”-nya.  Kalau kolektif cuman suporting di kolektifnya doang, tapi  gak supporting kolektif-kolektif lain, ya nggak akan besar. Tapi, ketika lu individual dan supporting banyak orang dan itu akan menjadi besar juga. Ya, inti dari semua itu, ya, supporting. Bagaimana kita tepuk tangan terhadap yang teman berhasil. Kan kebanyakan orang ketika temannya  berhasil itu, kan, nyinyir gitu. Lu harus, be positif gitu. Karena ketika dia berhasil lu tepuk tangan menurut gua, karena ketika itu terjadi, lu akan dapat good vibe. Dan bisa dapat sesuatu yang beda lagi dibandingkan nyinyir dan segala macam. Jadi, banyak hal kan, kayak persaingan antar kolektif, harusnya kan bisa saling support.

TF : Dan pengaruhnya terasa nggak di kotanya lu Bang?

Bujangan Urban : Ya, kalau menurut gua kolektif lumayan punya pengaruh, ya. Karena kan harus melawan industri. Kadang kalau sendiri doang, ya susah. Sebenarnya jauh dari itu adalah berjejaring sih, ketika lu bisa berjejaring secara besar, lu bisa melawan industrinya. 

TF :: Terus, kalau di individu itu tantangannya seperti apa?

Bujangan Urban : Apa ya, kalau di kolektif kan bisa saling bantu membantu kan, kalau  individual kan harus mikirin formula, strategi apa yang bisa dilakukan. 

TF : Secara nggak langsung kalau individual pengaruhnya ke kolektif dan berjejaring itu tadi, ya?

Bujangan Urban : Iya, dan cara berpikirnya sih. Bagaimana ketika ada di kolektif lu harus berpikir sebagai kolektif dan menerima kekurangannya. Tapi, ketika di individual bagaimana caranya untuk bisa lebih. Intinya, kita harus tahu kita berada di mana. Kalau lu adalah individual, berada di kolektif dengan cara individual ya pasti beda tuh. Tapi ketika di antara orang-orang individual gitu, lu melakukan dengan cara berkolektif itu beda. Jadi, harus tahu kita berdiri di mana.

TF : Nah, ini kan di tahun 2020, soal pandemi ada pengaruhnya nggak ketika berkarya dan project?

Bujangan Urban : Semuanya pasti berpengaruh, ya, setiap lininya. Tapi, pandemi itu bukan menjadi hambatan buat berfikir kreatif. Banyak strategi dan cara yang nggak kita lakukan ketika tidak pandemi. Jadi pandemi bukan menghalangi tapi menjadi batu loncatan untuk berpikir ke depannya. Bagaimana melakukan ini, itu. Ternyata ada online, ada apa yang nggak kita lakukan biasanya jadi kita lakukan sekarang. Dan bukan seberapa hebatnya, tapi seberapa bisa beradaptasi dengan sesuatu hal, lingkungan, kondisi, dan situasi yang baru. Menurut gua sebagai seorang seniman, lu harus bisa beradaptasi, bukan tentang ego aja. Karena pasti setiap daerah itu beda-beda. Apa lagi di jalan. Nah, di jalan itu gua banyak beradaptasi dengan orang yang nggak suka.

TF : Dalam proses lu, ada nggak seniman atau seseorang atau teman-teman yang mempengaruhi dalam berkesenian gitu?

Bujangan Urban : Banyak banget sih. Gua banyak banget menyukai sosok-sosok idola dari kecil, selalu berkhayal gitu. Wah, ini keren ya, tapi ternyata semakin lama itu bukan tentang visualnya. Tapi tentang spiritnya, Bagaimana dia berkarya, bagaimana dia melihat suatu hal. Misalnya, gua suka Metalica, ya,  gua harus cari tahu, Metalica mendengarkan apa, nggak cuman dengerin Metalica tok. Kita harus tahu dia referensinya apa. Ya, beberapa orang yang ada di belakangnya yang harus diriset. Jadi nambah bagasi.

TF : Skena musik, atau sastra itu mempengaruhi gak?

Bujangan Urban : Kalau musik itu sangat berpengaruh sekali bagi gua ya. Gua belajar banyak dari musik, seperti pertemanan, supporting karena musik industrinya jauh lebih besar dibanding dengan grafiti dan yang lain. Tapi, dari situ lu belajar banget bagaimana keluar dari zona yang sama ya. Ketika lu jadi street artist, tiba-tiba lu ngerjain pita kaset itu jadi menarik menurut  gua. Karena kalau musik tuh, menghantamnya di kuping tapi ketika lu bisa menghantamnya di visual. Karena banyak, kayak Radiohead, dia terinspirasi seorang visual artis. Dan itu bisa saling berkaitan bagaimana kita melihatnya.

TF : Nah, kita ke Tenggara Street Art festival. Bagaimana bisa join di festival ini, bisa diceritakan?

Bujangan Urban : Waktu itu tiba-tiba dikabarin Andang, dia ngajak ke tempatnya dia terus dikasih tahu. Karena menarik aja datang ke tempat-tempat yang belum didatangi. Nah, gara-gara graffiti tuh gua bisa kemana-mana. Bisa ke banyak kota. Gua sudah melewati kota-kota besarnya di Sumatera, tapi ada second city-nya lagi. Gua udah beberapa kali ke Padang, tapi ke Solok baru ini.

TF : Pengalamannya gimana di Tenggara.?

Bujangan Urban : Lokasinya di GOR (Tanjung Paku Kota Solok), seru ya. Berhari-hari adalah berproses bersama hujan, ternyata gambarnya cuman sebentar. Walaupun ternyata gambarnya yang paling besar dari yang lain. Tapi seru aja nunggu hujan, mau selebrasi gak bisa, hahaha. Ya, tantanganya bukan gambarnya lagi, tapi “waktu-waktu itu” yang menjadi tantangannya. 

TF : Nah, ini kan udah akhir tahun nih, kedepannya planingnya gimana ?

Bujangan Urban : Kedepannya banyak planing sih, dari project personal. Karena sudah dua tahun itu gua coba mengembangkan personal tentang gua sendiri. Jadi, sudah mulai ada beberapa project yang nunggu. Balik dari sini juga langsung ada project. Karena, kan kita berkomunikasi ya, buat menjaga kewarasan, kita nggak boleh kemana-mana, dan saat komunikasi itu, dapat aja project kecil-kecil. Dari wacana-wacana gitu ternyata bisa.

TF : Terus skena street art dan seni jalanan lainnya di kota masing-masing, Jakarta dan Solok, itu bagaimana?

Bujangan Urban : Semua punya potensi, dan tergantung kitanya jeli aja. Maksudnya, lu nggak cuman main di satu itu aja. Karena masih banyak anak-anak yang grafiti tapi di grafiti doang. Harusnya, kan bisa main dengan banyak hal. Musik butuh visual dan visual butuh musik. Atau bisa main dengan anak motor dan lain sebagainya. Dan dari situ kita akan nemuin formula yang baru. Tapi kalau sudah ngomongin life style kehidupannya, sudah besar lingkupnya. Tapi kan kalau skena, kan satu, tapi kalau sudah kulturnya kan beberapa skena jadi satu. Dan kalau lu udah jadi part of culture, ya udah, selesai. Kayak gua bisa masuk kemana aja. Karena menurut gua, gua adalah part of culture di Jakarta, walaupun harus pindah ke kota lain gua bisa jadi part of culture di kota itu. Kalau Andang sama gua kan beda urusan banget ya, ya karena gua emang suka nongkrong aja.

TF : Nah, kenapa namanya Bujangan Urban?

Bujangan Urban : kenapa nama gua Bujangan Urban? Kenapa lu gak baca di google itu sudah ada, hahaha

TF : Oke, terima kasih Bang

Bujangan Urban : Sama-sama dong.

Transkrip: Biahlil Badri

Mampir ke halaman portofolio Bujangan Urban di Tenggara Festival

Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media yang berbasis di Kota Solok, sejak tahun 2011. Kelompok ini berfokus pada pengembangan seni sebagai metode riset. Serta menjembatani kolaborasi profesional (seniman, peneliti, dan penulis) dan warga dalam mendedah persoalan-persoalan budaya lokal di Solok secara khusus dan Sumatera Barat secara umum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.