Minang Typers: Attitude is Everything

Sudah menjadi tradisi bagi Komunitas Gubuak Kopi untuk mewawancarai seniman yang terlibat dalam proyek ataupun kegiatan kita, sebagai bahan belajar. Wawancara ini berupaya untuk mengenal latar belakang artistik seniman serta mengumpulkan masukan-masukan untuk Solok, ataupun Komunitas Gubuak Kopi. Wawancara-wawancara ini dilakukan pada hari-hari terakhir perhelatan Tenggara Festival 2020, di Solok. Namun, karena data audio Minang Typers rusak, akhirnya tim kami memutuskan untuk melakukan wawancara kembali pada 21 Maret 2021

Minang Typers adalah kelompok belajar tipografi (typography), lattering, dan kaligrafi yang berbasis di Sumatera Barat. Kelompok ini aktif terlibat di berbagai kegiatan seni visual di Sumatera Barat. Mereka juga memiliki sebuah program berkarya bersama “Pen Meet Up”, saling belajar, berdiskusi, dan berbagai wawasan mengenai seni visual. Tahun ini, Minang Typers yang direpesentasikan oleh Dhika dan Cokoik, hadir untuk mengikuti program “Artist in Residence” di Tenggara Street Art Festival 2020. Dalam kesempatan ini, Minang Typers dipertemukan dengan Pemuda Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Mereka berdikusi untuk merespon gedung pemuda yang menjadi pusat aktivitas warga, yakni Pos Induk, Kelurahan Kampung Jawa.

“…kita sedang berada di tahap pembangunan industri kreatif atau ekosistem kreatif. Kalau kita tidak support satu sama lain, industri yang kita inginkan atau ekosistem yang kita bangun ini nggak akan bergerak”

TF : Ya, boleh perkenalan singkat dulu?

Dika : Halo teman-teman Tenggara Street Art Festival, perkenalkan nama saya Dika a.k.a Dukun Visual dari Minang Typers, kebetulan saya ketuanya.

TF : Apa yang membuat, Minang Typers atau Dika Sendiri untuk tetap berkarya?

Dika : Berkarya, ya, karena itu hobi. Ya, kenapa tetap memilih dan beraktivitas di sini, ya berarti tidak menjadi pekerjaan. Tapi alhamdulillah bisa menghasilkan, secukupnya. Di sela-sela suntuk. Ya, dia menjadi teman di kala suntuk.

TF :  Apa Itu Minang Typers bisa diperkenalkan kembali?

Dika : Minang Typers adalah komunitas belajar menulis, yang sebelumnya bernama “Belmen Padang” (Belajar Menulis Padang) lalu diganti setahun pertamanya menjadi Minang Typers. Diambil dari chapter Jakarta yang sudah terbentuk di setiap daerahnya itu 34 chapter, termasuk salah satunya itu Sumatera Barat. Nah, karen akita ingin mencakup seluruh teman-teman di Sumatera Barat kita nggak mau pakai nama Padang, karena kalau Padang hanya sekitarnya saja kan, nah makanya kita pakai nama Minang Typers biar jangkauannya lebih luas aja. Di kota-kota lain komunitas ini hanya perkota, tapi di sini kita pegang satu provinsi. Belajar menulis, buat teman yang mau belajar silahkan gabung. Kita belajar tentang tulisan, huruf, basic-basik tentang huruf.

TF : Seperti yang Dika ceritakan tadi, kenapa memilih medium ini untuk berkarya?

Dika : Karena menulis tidak hanya tentang kata-kata, tidak hanya tentang karya atau tidak hanya tentang estetik, tapi kita membuat sebuah kata-kata yang berhasil menggerakan sebuah kaum atau masa, itu adalah sebuah karya dari kata-kata. Seperti contohnya pada saat Perang Dunia  itu ada kata-kata “I want You, I Need You” itu adalah poster propaganda yang berhasil merekrut jutaan tentara di masanya gitu. Nah, di sana display fontnya itu sangat menarik orang-orang. Karena “huruf” bisa berdiri sendiri tanpa ada ilustrasi atau lainnya. Huruf bisa mewakilkan element visual juga, ilustrasi dan penggambaran secara jelas tanpa melalui “ilustrasi visual”, tapi huruf dan kata-kata itu yang membuat orang tergerak, dan melengkapi beberapa ilustrasi melalui huruf juga. Oleh karena itu kita mengajarkan teman-teman, karena huruf juga termasuk dalam elemen visual.

TF : Dika sendiri kan sebagai ketua Minang Typers dan teman-teman yang lain juga masih aktif PEN MEET UP yang terakhir Januari lalu, ya? Mungkin bisa diceritakan juga bagaimana keadaan, aktivitasnya sekarang?

Dika : Awal-awal pandemi dan sampai sekarang itu kita bergerilya melalui media online lainnya. Sempat membuat konten awal “April Letters” yaitu 30 hari berkarya di rumah, dengan rewards berupa Pen Tablet dan merchandise dari Minang Typers. Lalu, bosan dengan online-online, membuat IG Live, kita membuat meet up pertama kali di awal 2021 ini bekerjasama dengan TDX Rimbun, dan alhamdulillah awal meet up cukup ramai, banyak anggota baru. Cukup melelahkan tapi kita banyak mendapatkan ide-ide baru dari teman-teman bagaimana merespon pandemi ini dengan kegiatan-kegiatan yang nggak gitu-gitu aja. Ada konten-konten tambahan, seperti bedah karya, April Letters, pameran tahunan, bikin konten di Youtube, dan bekerjasama dengan beberapa brand terjalin di tahun ini. Semoga kedepannya kita masih bisa berkolaborasi dengan komunitas lainnya juga. Beberapa ingin menjalankan beberapa pameran dengan komunitas lainnya.

No rules, just attitude. Skill is number one, but attitude is everything

TF : Dika kan aktif di kolektif, secara individu bagaimana pengaruh kolektif bagi Dika sendiri dalam berkarya?

Dika : Ya, Indonesia gotong royong lah ya dikenal orang. Kolektif menolong teman-teman komunitas secara tidak langsung dalam finansial dan bentuk lainnya. Secara kolektif kita bisa menghargai pendapat teman-teman, kita juga bisa berantem karena hal-hal sepele gitu. Tapi, di situ lah kolektif enaknya, kita membangun suatu kegiatan dari nol sampai akhir bersama-sama. Dialek buruknya juga bersama-sama ditanggung, dari situlah kita bisa solid dengan komunitas yang lainnya. Kita bisa mengembangkannya bersama-sama, seperti Tenggara Festival ini yang secara kolektif berhasil untuk pertama kalinya diselenggarakan di Kota Solok dan itu kancahnya nasional, itu keren, kolektif loh. Itu salah satu bentuk dari kolektif, bersama-sama kita bisa.

TF : Mungkin berkolektif sangat mempengaruhi Dika, tapi ada nggak seniman secara individu maupun kolektif yang mempengaruhi visual Dika berkarya?

Dika : Yang jadi panutan atau referensi, ya? Itu ada Bang Dian (Verdian Rayner), itu cukup mempengaruhi saya. Waktu dia menggambar kodok, waktu itu dia membuatnya dengan teknik cutting, ya seperti… secara individu, lalu dipamerin, itu cukup mengilhami saya untuk terjun di skena ini. Terus yang di luar itu juga ada lagi kayak Farid Stevy, Arian 13, Jimmy Multhazam dengan beberapa karya tulisannya. Kalau seniman lokal itu Farid Stevy, dia dikenal banyak orang. Karya dia cukup memprovokasi orang-orang. Itu cukup mengilhami saya juga. Kalau di luar di negeri itu ada Blanksy, Andy Warhol, dan Jean-Michel Basquiat.

TF : Tadi  Dika sedikit menyinggung soal Tenggara Street Art Festival, nah kenapa mau ikut, secara kolektif dan Dika sendiri, gimana?

Dika : Kenapa? ya, haruslah. Itu tidak ada alasan lagi lah, itu memang harus. Kalau bisa tiap komunitas bikin undangan, atau individu lainnya, ya, kita harus datang. Karena kita sedang berada di tahap pembangunan industri kreatif atau ekosistem kreatif. Kalau kita tidak support satu sama lain, industri yang kita inginkan atau ekosistem yang kita bangun ini nggak akan bergerak. Itu tidak ada alasannya, memang harus ikut karena kita mau capai titik ini sama-sama buat mengejar ketinggalan kita di daerah atau di Sumatera Barat ini dengan kota-kota lainnya. Kita acuannya itu dalam konteks tertentu itu adalah Jakarta, Bandung, dan Jogja.

Kita harus bergerak bersama-sama seperti yang mereka lakukan, walaupun cara kita kita bergerak menuju ke situ itu berbeda-beda, tapi satu tujuan gitu. Makanya harus, dengan Gubuak Kopi dan Rumah Tamera membuat Tenggara Street Art Festival ini, itu satu pergerakan yang besar untuk teman-teman dikenal oleh teman-teman luar juga. Ternyata ada nih di Sumbar bikin Tenggara Festival, bergerak di bidang street art dan berhasil mendatangkan teman-teman luar daerah juga seperti, Bujangan Urban, Blesmokie, Dhigel, Bayu dan Genta dari Medan dan lainnya. Dan kita bertemu bersama di sini, Tenggara Street Art yang menyatukan kita.

TF : Dika kan waktu itu bersama tim ditempatkan untuk residensi di Kampung Jawa, di  Central Pos Pemuda, dan membuat tulisan “Jambak With Attitude” . Mungkin bisa diceritakan sedikit kenapa memutuskan membuat visual atau tulisan itu?

Dika : Awalnya kita mendapatkan tempat di Pos Ronda itu, karena kita bermain dengan kata-kata atau huruf.  Kita riset dulu, apakah ada momen tertentu atau peristiwa sederhana tapi cukup terkenal di daerah tersebut itu yang kita angkat. Katanya di sana sukunya tidak hanya sukunya Minang aja. Tapi JAMBAK adalah singkatan (Jawa, Minang, Batak, Keling) begitu. Mereka punya sikap untuk orang luar itu juga bagus, attitude yang menarik. Saya ingat salah satu grup musik Rap di tahun 80an “Niga With Attitude”, saya jadikan, saya adaptasikan ke “Jambak With Attitude”.

TF : Ya, dan mungkin bisa diceritakan sedikit pengalaman ketika mengerjakan mural di sana?

Dika : Ya, antusias warga-warga, pemuda di sana cukup keren. Kita dikasih makan, minum, gorengan, dan segala macam, rutin oleh warga sekitar. Ya, dengan warga interaksinya bagus, ya, kayak kita sering ditanya ini gimana proses pembuatannya, dan ini namanya apa. Dan juga mengikutkan anak-anak sekitar untuk terlibat mencoret-coret, mengenal kuas dan cat, semoga ada yang tertarik di dunia ini. Ya, momen-momen yang indah lah di Tenggara Festival kemarin.

Tf : Kedepannya, baik secara individu atau kolektif ada rencana apa.?

Dika : Kalau individu dalam waktu dekat bakalan ada pameran dari teman-teman di Aksara Cafe di Pariaman, insyaallah dalam minggu depan kita bakal bikin pameran tulisan bareng, mewakili Dukun Typ. Dalam kolektif kita bakalan ada bedah karya, dan ada April Letters di tahun ke-2 nya, semoga bisa terlaksanakan dan teman-teman bisa menghadiri dan berjalan dengan lancar.

Tf : Ya, Dika terlibat aktif dalam kolektif, menurut Dika melihat sejauh ini skena di kota masing-masing atau secara umum Sumbar gimana sih skenanya sekarang, keseniannya ataupun kebudayaannya mungkin secara khusus di bidang kolektifnya menurut Dika sendiri?

Dikas :  Kalau skena, khusus sekarang kita lagi membangun satu sama lain. Isu perkotakan itu masih ada cuman kita kurang ngobrol aja. Kedepannya teman-teman kolektif bakal memiliki pergerakan-pergerakan keren gokil untuk memajukan teman-teman lainnya. PR-nya kalau dari saya sendiri, bagaimana kita menyatukan semuanya gitu, duduk bareng itu yang waktunya belum dapat. Kedepannya Sumbar bakal dipandang kok, bakal keren. Dalam waktu dekat ada festival perfilman Sumbar, Tenggara bakal hadir lagi dalam waktu dekat, bakal ada Young Blood lagi, bakal ada Graffiti Day lagi, banyak pergerakan dari teman-teman. Ya, maksudnya gabungin semua komunitas bikin pameran barenglah di Padang atau dimana, ini bakal lama banget prosesnya tapi kita berhasil lah untuk menyatukan semuanya. Ya, dalam waktu dekat ada Pameran Museum dari Tambo Art, itu juga kita diundang semoga teman-teman komunitas yang ikut terlibat juga bisa ngobrol nih, di luar Tambo kita mau bikin apa lagi nih, setelahnya itu yang bakal kita bahas, bukan yang hari ini. ya seperti itu, teman-teman pokoknya keren lah. Kita setiap skena keren-keren lah.

TF : Oke, mantap mungkin ada pesan yang mau disampaikan lagi dari Dika?

Dika : Pesan-pesan dari saya, teruslah berkarya walaupun pemerintah nggak ada gunanya, hahaha. Ya, jangan harap dari pemerintah apapun yang terjadi. Kita teruslah berkarya. Jangan tinggalkan manualitas tapi tetap kejar yang sifatnya digital. No rules, just attitude. Skill is number one, but attitude is everything

Transkrip: Biahlil Badri

Mampir ke halaman portofolio Minang Typers di Tenggara Festival

Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media yang berbasis di Kota Solok, sejak tahun 2011. Kelompok ini berfokus pada pengembangan seni sebagai metode riset. Serta menjembatani kolaborasi profesional (seniman, peneliti, dan penulis) dan warga dalam mendedah persoalan-persoalan budaya lokal di Solok secara khusus dan Sumatera Barat secara umum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.