Mengelola Ego bersama Rumah Ada Seni

Sudah menjadi tradisi bagi Komunitas Gubuak Kopi untuk mewawancarai seniman yang terlibat dalam proyek ataupun kegiatan kita, sebagai bahan belajar. Wawancara ini berupaya untuk mengenal latar belakalang artisitik seniman serta mengumpulkan masukan-masukan untuk Solok, ataupun Komunitas Gubuak Kopi. Wawancara ini dilakukan pada hari-hari terakhir perhelatan Tenggara Festival 2020, di Solok.

Kali ini kami berbincang dengan Rumah Ada Seni atau RAS, merupakan sebuah komunitas dan ruang alternatif yang mengembangkan aktivitas seni rupa di Sumatera Barat. Kelompok ini didirikan pada tanggal 15 Desember 2013 oleh anak muda Ranah Minang. RAS tampil dengan kesadaran akan pentingnya sebuah kerja kolektif dalam menggerakkan kesenian. Di samping itu RAS berangkat dengan cita-cita untuk membawa Sumatera Barat sebagai bagian penting untuk perkembangan seni rupa Indonesia. RAS aktif memproduksi karya-karya seni rupa, seperti instalasi, lukis, performance art, dan juga mural.

Pada kesempatan ini, Tenggara Street Art Festival mengundang RAS secara kolektif untuk berkolaborasi dengan seniman non-kolektif di Solok, yakni Da Boy dan Verdian Rayner. Kolaborasi ini direalisasikan di lapangan basket Kodim 0309, Kota Solok.

Pewawancara: Tenggara Festival (Teguh Wahyunndri Volta A. Jonneva, Zekalver Muharam)
Rumah Ada Seni: Sandi Prayogi dan Angga Deja
Rumah Tamera 29 November 2020

“…dan yang paling penting adalah menghentikan kebiasaan mengekor” – Sandi (RAS)

TF : Halo, teman-teman RAS (Rumah Ada Seni) selamat datang di Tenggara Street Art Festival, boleh diperkenalkan lagi, dari mana terus akhir-akhir ini lagi sibuk apa?

Sandi : Halo, perkenalkan nama saya Sandi Prayogi, kalau teman-teman biasanya menyapa saya Codet, kesibukan sekarang aktif berkegiatan di RAS.

Golek : Hai, perkenalkan nama saya Angga, tapi kalau biasanya dipanggil Golek. Sekarang aktif di sebuah komunitas, Rumah Ada Seni, adalah sebuah ruang alternatif untuk berkegiatan seni rupa di Kota Padang. Selain itu, saya juga aktif berkegiatan menggambar di jalan mungkin baru beberapa tahun ini, juga ada project menggambar untuk koleksi pribadi.

TF : Tadi, Sandi dan Golek sedikit menyinggung soal  RAS, tapi bisa diperkenalkan lagi nggak?

Golek : Sedikit penjelasan dari saya, RAS berada di Kota Padang pada Desember 2013. RAS sendiri adalah, ruang alternatif untuk anak-anak seni rupa di Kota Padang dan juga kota lain. RAS menjadi satu wadah yang juga bisa diakses semua orang untuk berpameran, workshop dan sebagainya.  Sekarang RAS mencoba untuk mendorong semangat berkolektif di sekitar, termasuk lintas disiplin juga. Dan beberapa program RAS yang akan dijalankan beberapa tahun kedepan. Dan mungkin Sandi juga mau menambahkan mungkin.

Sandi : Ya, ruang alternatif ini juga melingkupi ruang kesenian lain juga, dan mendukung beberapa program kesenian teman-teman lain juga.

TF : Kalau project terdekatnya apa?

Sandi : Dalam bulan ini RAS sedang menyelenggarakan beberapa pameran yang berkolaborasi dengan “Ahsan – Care For Ummah” sebuah lembaga atau organisasi untuk kemanusiaan untuk Palestina dan Suriah, di Padang.  

Golek : Selain itu, pameran amal ini membantu anak-anak di Suriah saat musim dingin di sana. Dan selain itu, ada program tahunan Kelas Bincang Karya, cukup berbeda dengan tahun kemarin, jika dulu sekedar eksplorasi dari senimannya sendiri, nah sekarang ada tambahan tentang seniman membuat risetnya sendiri tentang karyanya. Dan juga melakukan eksperimen dalam karyanya. Ada dua seniman yang ikut, Asher dan juga saya. Mungkin itu program terdekat di tahun ini yang akan diselesaikan.

TF : Sekarang lebih ke individu dalam berkesenian dan yang lain, nah sekarang apa yang memicu untuk tetap berkarya di kesenian?

Sandi :  Salah satunya adalah.. bagi saya seni itu adalah lifestyle. Dan manfaatnya berkegiatan di seni rupa, banyak yang saya dapatkan dalam ruang lingkup seni ini. 

Golek : Oke, Kenapa saya memilih jalur seni rupa dan bertahan. Pertama saya terpancing dari lingkungan saya yang mempunyai spirit untuk membuat karya dan gagasan yang sangat menarik. Itu sih salah satu yang membuat saya terpancing, menjadikan teman sebagai lawan berkreatifitas dan kawan dalam kehidupan. Selain itu di seni rupa lah bagi kita bisa mengkritik apapun yang ada dalam otak kita, di sana bisa berfikir bebas. Tapi  menariknya, sebebasnya kita berpikir kita harus mengerti bagaimana norma yang ada di lingkungan kita. Mungkin disanalah wilayah yang paling nyaman ketika kita berkarya, terutama bagi saya sendiri ketika hal itu ada di lingkungan. 

TF :  Nah, sekarang aktif berkarya dalam drawing, sketsa dan lain-lain. Dalam berkarya mungkin Golek dan Sandi memilih medium yang sama. Kenapa memilih medium itu dalam berkarya? Apakah dari latar disiplin ilmu yang dipelajari?

Sandi : Pertama, latar belakang saya dari kejuruan yang berbasis seni juga. Jadi, saya sudah mengikuti seni dari sekolah. Dan karakter artwork saya dengan Golek bisa saya katakan berbeda, karena saya lebih berkarya dalam dua dimensi, seperti lukis, drawing, dan juga mural. Angga mungkin dalam karya eksperimental. Saya memilih mayor saya dalam melukis.

Golek : Pilihan dari hal yang menarik bagi saya adalah kertas, karena efisien dan bisa dibikin seenak saya. Kalau di lukisan mungkin memiliki spirit yang berbeda daripada kertas. Kertas kita kan main hajar, dan lukisan mungkin butuh sedikit perkembangan dari bahan yang cocok. Selain di sana saya juga mencoba memilih yang lain, seperti keramik dan patung. Pemilihan media tergantung, dan yang paling mudah saya dapatkan itu, ya lukis dan drawing.

TF : Kita juga ingin tahu sampai akhirnya bisa mendapatkan karakter yang sampai saat ini?

Golek : Ini dari pengalaman saya waktu SMP. Ketika naik angkot Padang, ya, yang kata orang discotic berjalan. Di belakangnya ada sebuah sticker sebuah band kartun yang sangat menarik sedang megang rokok. Nah, saya coba bikin gambar itu, sampai di SMA masih suka gambar seperti itu. Dan ketika saya melihat referensi yang ternyata sama dengan beberapa karakter gambar yang ada di sekitar saya. Tanpa saya sadari lingkungan pun membentuk pola yang mana menjadi karakter saya.

Sandi : Kalau saya, juga ada pengaruh dari seniman luar, dalam negeri dan lingkungan saya sendiri. Terinspirasi dari seorang idola saya juga Jean Michel Basquiat.  Juga saya tertarik dari karakter dari teman-teman RAS juga, karena saya aktif berkegiatan di sana. Ya, terjebak dalam referensi karya yang sama, hahaha. Tapi, saya mengakalinya dengan memakai prinsip dima (dimana) saya nyaman dalam berkarya, akhirnya saya menemukannya sekarang. Ya, mungkin belum sempurna dan akan saya eksperimen lagi. 

TF : Nah, dari pengaruh sekitar dan aktif berkolektif juga. Seberapa besar sih pengaruh kolektif dalam berkarya?

Golek : Dari kolektif saya bisa bertukar pendapat ketika saya membuat karya. Ya, bagaimana dari diskusi itu,  ya ketika menggambar di jalan kita harus mikir dulu karakter yang ada di teman-teman, diskusi dan komparasi soal warna dan sebagainya. Ya, pengaruhnya sangat besar, seperti “duduak samo randah, tagak samo tinggi” (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi) ya, walaupun dengan cara yang berbeda.

Sandi : Kalau bagi saya pengaruh kolektif pada visual yang saya hadirkan itu sangat besar, karena saya sering sharing bersama RAS. Di sana saya dibimbing ke yang lebih baik. Dan yang paling penting adalah menghentikan kebiasaan “mengekor”. Ya, kebanyakan saya masih melakukannya terhadap referensi saya. Dari sharing itu saya perlahan menemukan karakter saya sendiri, meski ada pengaruh yang dominan, tapi itu adalah proses, dan saya menghargai itu. 

“…menjadi menarik ketika kita mendiskusikannya, melatih ego kita sendiri. Ya, kalau main sendiri kan langsung hajar, berbeda kalau kita bersama-sama” – Golek (RAS)

TF : Nah, dalam mengeksekusi sebuah media itu bermacam-macam metode berkolaborasi atau mengeksekusi secara sendiri. Mana yang  menjadi menarik dalam proses teman-teman adalah berkolektif, atau bagaimana?

Golek : Kalau bagi saya, kolektif lebih menarik karena dari hal yang saya rasakan, ketika menggambar kolektif memilih dari a-z karakter teman-teman. Itu menjadi menarik ketika kita mendiskusikannya, dan melatih ego kita sendiri. Ya, kalau main sendiri kan langsung hajar, berbeda kalau kita bersama-sama.

Sandi : Kalau saya lebih senang ke individu, tapi tidak dipungkiri juga saya ikut menggambar dalam kolektif. Sebuah pelajaran berharga ketika bersama dan memiliki tantangan tersendiri. Karena, banyak hal yang kita dapat, pertama saya melihat proses dari individu. Saat ini saya masih berusaha untuk menggambar bersama di ruang publik. Ketika itu mental saya terlatih, itu sangat berharga. Itu terjadi di RAS.

TF : Oke, kita ke Tenggara, terlibat dalam residensi, nah kenapa bisa ikut. Mungkin dari diskusi komunitas atau secara pribadi juga boleh?

Golek :  Dari komunitas kan bergerak di jalur yang sama, kita saling support.  Dan secara pertemanan di sini kita juga ada beberapa teman yang dari kampus yang sama dan tongkrongan. Kalau secara pribadi, menarik bagi saya ketika hadirnya salah satu festival mural di Kota Solok. Walaupun Solok adalah kampung halaman saya yang tak pernah saya kunjungi. Ya, menarik ketika Solok masih cukup minim street artisnya. Tapi spirit dari teman-teman yang menurut saya keren dalam event  ini.  Nah, dari komunitas saya juga ada senior saya yang lebih dulu di street art dan dia juga ikut di sini, dan kami menjadi perwakilan dari Padang.

Sandi : Secara pribadi bagi saya Tenggara Festival ini, karena di dalamnya ada teman-teman saya juga, saya nyaman. Ini juga sebuah tantangan bagi saya, bagaimana seorang street artist membangun eksistensinya di daerah Solok. karena saya pertama kali ikut residensi di sini, bagaimana saya menghadirkan spirit street art di sini menambah semangat saya.

TF : Ya, mungkin menjadi tantangan baru bagi teman-teman, di Tenggara ini kan RAS mendapatkan lokasi yang cukup unik, lapangan basket Kodim. Bagaimana teman-teman memutuskan karya apa yang dibuat di sana?

Golek : Pertama, ketika kita dapat tantangan dari Rumah Tamera untuk menggarap mural di lapangan basket, itu keren dengan ukuran besar. Dan ketika itu saya berdiskusi dengan Bang Arip, ia menawarkan tema “Alam Takambang Jadi Guru”. Ketika saya sampai di Solok, ya bagaimana saya menggambar di tempat yang sangat disiplin. Sampai di sana saya ketemu dengan Bang Arip dan Bang Eko yang sudah memulai sketsanya terlebih dahulu, juga Da Boy yang membuat karakternya sendiri di sana. Dari saya sendiri, bagaimana saya menyeimbangkan karakter tersebut dalam kondisi lapangan yang menantang.  Saya membuat tangan dan di tengah-tengahnya juga ada gambar otak yang sudah dimulai oleh Bang Eko, dan Da Boy dengan karakternya. Sandi juga membuat karakter dengan ciri khasnya membuat legend dari pemain basket. Yang menjadi menarik lagi adalah proses di sana, ketika datang langsung hajar itu tantangan dan sangat membantu sekali. 

Sandi : RAS dapat lokasi di lapangan basket, dengan ukuran yang besar, dan jauh dari yang biasa saya kerjakan. Di sana juga ada Bang Arip dan Bang Eko, mereka senior di RAS. Mereka mempunyai ide tersendiri di sana, saya dengan Golek dapat tantangan merespon itu. Akhirnya saya membuat ilustrasi idola dan legenda pemain basket. Gembira dan memicu adrenalin. Ya, di Tenggara Festival juga disiplin dan kita menjadwalkan semuanya.

TF : Ada konsep tertentu nggak ketika menggambar di kodim atau saling respon atau bagaimana?

Golek : Sebelumnya saya dikabarkan akan berkolaborasi dengan Da Boy. Sebelum datang saya juga memikirkan apa yang akan saya buat di sana, dan sampai di sini saling respon dan memilih warna yang cocok untuk bersama dan tidak menjatuhkan satu sama lain?

Sandi : Kalau dari saya, dari konsep yang hadir, karena di sana lapangan basket, ya saya kembali mengingatkan pada generasi kini pada seorang legend basket itu banyak, tapi saya menghadirkan beberapa. Seperti Jordan yang saya hadirkan dalam bentuk abstrak, dan Bang Eko menghadirkan karakter “Otak” dan bunga. Da Boy dengan pattern Old Schoolnya era 70an yang sangat menyatu dengan kami, dan luar biasa sekali berkolaborasi dengan Da Boy dan Bang Dian juga mensuport. 

TF : Nah, secara keseluruhan di Tenggara Street Art Festival ini, kan ada banyak street artis yang lainnya, dan sudah berkenalan. Bagaimana pengalaman teman-teman selama ikut dalam residensi ini?

Sandi : Di festival ini kan ada juga Jamming Session, di sini saya bertemu dengan teman lama dan baru. Di tahun kameren saya juga ikut Jamming Session. Ya, pengalamanya saya terkejut mendapatkan lokasi yang di mural. Karena saya melihatnya saat di Padang mengurus kegiatan di sana, dan akhirnya saya datang terlambat. Ketika saya sampai di sini, saya memikirkan apa yang mau saya gambar di lapangan basket. Pengalaman secara keseluruhan saya sangat senang sekali dan ini pengalaman pertama kali ikut residensi. Seperti bertukar ide bersama artis yang lain.

Golek :  Ini pengalaman yang menarik sekali, kata Da Boy “ini bakal bisa diceritakan pada anak cucunya nanti”. Saya bisa bertemu dengan teman-teman dari Jogja, Medan, Jakarta dan lain-lain. Juga seperti yang biasanya saya lihat di Instagram, sekarang saya melihatnya dan berkenalan langsung. Ya, yang paling menyenangkan itu ya, suasana mural di Kodim. Ya kebiasaan saya mungkin kurang disiplin, seperti bangun pagi. Ketika ikut Tenggara Festival ini kita atur jadwal sendiri, kita bangun jam berapa, gambar jam berapa, punya tantangan sendiri, orang menggambarnya berdiri kita menampung hujan, gila nggak tuh. Jika kemarin sudah 80% karena hujan balik lagi jadi 60%. Kita bertemu dengan “abang-abangan” Solok, awalnya saya pikir dia agak kaku, tapi malah lebih humoris daripada saya. Ya, tapi kita bisa menggambar di Lapangan Basket Kodim, gila nggak tuh. Waktu itu, jam 6 sore, dia umumkan semua yang berada di Kodim ini harus hormat ke bendera. Kan kita lagi megang kuas, terus langsung berdiri, itu pengalaman menarik. Disiplin di sana, bertemu orang-orang baru, dan anak-anak yang latihan basket, karena kita gambar dia harus latihan di tempat yang lain, lihat “dedek-dedek” olahraga, ah the best lah. Ya, jarang juga pekerja seni nyapu lapangan basket, nah  kami yang di sana pernah, haha. Ya, berkat dua hari yang cerah ini kita selesaikan target.

Tf : Ya, menarik. Menemukan sisi lain dari banyak hal. Tadi juga sudah menceritakan bagaimana rencana RAS kedepan, kalau pribadinya bagaimana?

Sandi : Ya, kalau RAS sudah disampaikan bagaimana planing kedepannya. Kalau pribadi mungkin saya fokus mempertahankan eksistensi karakter visual saya. Saya juga berharap bisa pameran di 2021, mungkin di Tamera, haha. Golek juga menawarkan pada saya pameran itu, tapi itu masih dalam perencanaan. Dan juga ingin terus berkarya street art di tempat-tempat lainnya.

Golek : Kita juga berkomitmen untuk lebih bagus dari tahun kemarin di komunitasnya. Kalau secara pribadi, tahun depan mudah-mudahan kelar urusan saya dengan orang tua soal akademik, hahaha. Mungkin fokus berkesenian dan menyelesaikan tanggung jawab saya pada orang tua. Tahun ini mungkin KBK (Kelas Bincang Karya) dan tahun depan ada project bersama Sandi, ya, insyaallah jadi. Ya tergantung tawaran dari teman-teman.  Yang jelas tahun depan lebih baik dari tahun sekarang.

Tf : Terima kasih pada RAS, pada Golek dan Sandi secara khususnya yang sudah datang ke festival ini, ke Solok. Saling bertukar ide dan pikiran.

Sandi : Oke, terima kasih, Volta, Zekal, Teguh dan  Tenggara Street Art Festival, terima kasih.

Transkrip: Baiahlil Badri

Mampir ke halaman Rumah Ada Seni di Tenggara Festival

Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media yang berbasis di Kota Solok, sejak tahun 2011. Kelompok ini berfokus pada pengembangan seni sebagai metode riset. Serta menjembatani kolaborasi profesional (seniman, peneliti, dan penulis) dan warga dalam mendedah persoalan-persoalan budaya lokal di Solok secara khusus dan Sumatera Barat secara umum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.