Boy Nistil: Ini Kepuasan Batin Saja

Sudah menjadi tradisi bagi Komunitas Gubuak Kopi untuk mewawancarai seniman yang terlibat dalam proyek ataupun kegiatan kita, sebagai bahan belajar. Wawancara ini berupaya untuk mengenal latar belakang artistik seniman serta mengumpulkan masukan-masukan untuk Solok, ataupun Komunitas Gubuak Kopi. Wawancara ini dilakukan pada hari-hari terakhir perhelatan Tenggara Festival 2020, di Solok.

Kali ini kami berbincang dengan Boy Nistil atau biasa disapa Da Boy adalah, seorang seniman visual yang berbasis di Kota Solok. Ia juga terlibat di Komunitas K13, sebuah komunitas yang berfokus pada produksi seni rupa di Solok. Ia aktif membuat karya-karya menggambar, mural, dan kerajinan tangan. Dia juga terlibat sebagai vokalis untuk sebuah band rap bernama Project Tiga Dua. Selain itu, ia juga aktif mengikuti berbagai kegiatan seni rupa di Sumatera Barat. Saat ini Da Boy juga aktif terlibat bersama Rumah Tamera – Solok Creative Hub.

Tahun ini, Da Boy, terlibat sebagai teman kolaborasi seniman di program “Artist in Residence” di Tenggara Street Art Festival 2020. Ia menjadi teman kolaborasi Rumah Ada Seni di Lapangan Basket Kodim 0309, Kota Solok. Mereka merespon lapangan basket yang menjadi salah satu pusat aktivitas anak muda Solok sejak masa Normal Baru. Kehadiran mural ini menjadikan ruang yang didominasi oleh warna hijau tersebut menjadi penuh warna.

“Jadi, tiap hari gambar motif-motif, dan mungkin itu yang tersimpan di bawah sadar dan sampai sekarang dipakai terus”

TF : Halo Da Boy, kita akan ngobrol soal kehidupan Da Boy, hahaha. Mungkin terlebih dahulu nama dan menyebut diri sebagai seniman apa, dan kesibukan sehari-hari?

Da Boy : Oke, perkenalan dulu ya, nama asli Bayu Nistil, sering dipanggil Boy aja gitu. Kalau kesibukan sehari-hari, ya jualan lah, jualan kopi. Kalau misalnya ada ”job-job” gambar juga diambil.

TF : Apa yang memicu Da Boy memilih berkarya seni itu bagaimana sih?

Da Boy : Apa ya, dari kecil memang sudah hobi gambar, terus berlanjut secara otodidak aja. Jadi, pernah dulu sempat berhenti. Karena sekarang lingkungan teman-teman semuanya banyak yang gambar, jadi semangat lagi. Jadi terpicu lagi buat gambar.

TF : Kita melihat Da Boy sering juga berkarya mural, pesanan juga. Secara pribadi kenapa sih Da Boy memilih berkarya di medium ini?

Da Boy : Ya, ada tantangannya juga sih, medianya kan besar. Ya, misalnya job mural di resto itu medianya besar-besar, punya tantangan tersendiri untuk menyelesaikannya. Ya, sampai seminggu dua minggu, enak aja sih.

TF : Ok, kan Da Boy sudah lama juga berkarya dan dalam berkesenian ini, tentunya memiliki karakter sendiri secara berkarya. Bagaimana sih proses berkarya sampai karakter visualnya terwujud?

Da Boy : Ya, dulu prosesnya juga lumayan, waktu itu saya melihat teman melukis di kanvas… jadi lukisannya itu kayak abstrak atau apalah gitu. Nah ketika mau dicoba, jadinya ya kayak sekarang ini. Jadi terus dilanjutkan, sampai sekarang.

TF : Sekarang kan Da Boy karyanya dekoratif, kan ada visualnya tersendiri, inspirasinya itu dari mana, atau punya idola atau bagaimana?

Da Boy : Mungkin gini ya, dulu sempat di Bali dua tahun, dan sempat mengerjakan kerajinan sama teman yang di Lombok. Jadi, tiap hari gambar motif-motif, dan mungkin itu yang tersimpan di bawah sadar dan sampai sekarang dipakai terus. 

TF : Jadi, dari pengalaman hidup juga ya, kalau secara individu tantangan berkarya terutama di era pandemi ini, bagaimana Da Boy menyiasati itu?

Da Boy : Gini, kalau semangat si tetap. Tapi aneh juga ini kan pandemi, tapi ada juga dan banyak yang bikin resto. Kan pandemi sepi ya, tapi ada aja kerjaan. Jadi, pandemi ini kayak nggak ngalangin gitu, ya, ada-ada aja itu rezeki. Semangat aja sih intinya dan terus berkarya.

TF : Ya, banyak pengalaman hidup yang mempengaruhi visual Da Boy sampai sekarang. Tapi adakah seniman atau apa yang sangat mempengaruhi proses berkarya Da Boy ?

Da Boy : Mungkin sampai sekarang,  dari proses dan pengalaman itu tadi ya. Walaupun seniman ya dari teman-teman itu tadi, lihat mereka melukis ini-itu, dan jadi semangat terus untuk berkarya. Jadi pengen bisa gambar juga, coba-coba sampai sekarang, terus dapat yang sekarang ini.

TF : Nah, bagaimana sampai Da Boy bisa hadir di Tenggara Festival ini, bisa diceritakan bagaimana prosesnya?

Da Boy : Sebenarnya, sesuatu yang tidak direncanakan sebenarnya. Waktu itu saya ikut sama Verdian ke Rumah Tamera terus ada residensi seniman. Ya, disuruh Albert (Direktur Artistik Tenggara Street Art Festival) ikut kolaborasi sama anak-anak yang lain. Saya kan awalnya mau ikut Jamming Session kan, tapi umurnya lewat satu hari pas waktu pendaftaran jadi ya nggak bisa, hahaha.

TF : Untuk di Tenggara kan Da Boy dapat lokasi yang unik, mungkin bisa dibilang beda dari yang lainnya di lantai. Proses menentukan bentuk visualnya bagaimana, dengan lokasi yang seperti itu?

Da Boy : Sebelumnya sih, Albert sudah kasih tahu lokasinya, dan bakal kolaborasi sama siapa. Nah, mulainya kan Senin, buat sketsa, tau-tau sore itu hujan dan besoknya sketsa pada hilang tuh. Terus lanjut hari Selasa, Rumah Ada Seni (Kelompok Kolaborator) datang terus membuat sket bareng-bareng, cuaca kan nggak menentu jadi seperti pengen nangis, hahaha.

“Bisa menggambar di lapangan basket, dan ini di Kodim lagi. Ya, itu pengalaman yang paling berharga lah. Kita nggak bisa nilai dari segi lain, tapi ini seperti kepuasan batin aja”

TF : Nah, pengalaman di Tenggara dan tantangan baru apa yang Da Boy temui selama berkarya di Tenggara Festival ini?

Da Boy : Mungkin dari pengalaman dulu, ya, ini adalah pengalaman baru. Dari segi ukuran ini yang paling besar. Ini menarik, dan bisa diceritain nantinya ke anak cucu ya, hahaha. Apa ya, mungkin tidak semua orang bisa merasakan pengalaman ini. Bisa menggambar di lapangan basket, dan ini di Kodim lagi. Ya, itu pengalaman yang paling berharga lah. Kita nggak bisa nilai dari segi lain, tapi ini seperti kepuasan batin aja. Kalau tantangannya, kita pengennya ngerjain pagi, tapi hujan. Yaudah, kita tungguin dulu sampai reda hujannya. Terus sampai di lokasi tau-taunya airnya menggenangi spotnya. Yaudah, kita cari sapu dulu, kita bersihin dulu. Kita kuras airnya rame-rame, ambil kain diperas.  Ya, ini pengalaman pertama menggambar di lapangan terbuka dan hujan. Jadi, ya, aduh kita lebih menikmati prosesnya lah. Nah di sana itu mau masuk kodim harus permisi dulu, izin gitu nggak bisa sembarangan. Dan kalau mau parkir ya harus rapi. Terus sampahnya harus langsung ke tong sampah. Jadi ya asik juga dari tantangan itu. Asik lah, pokoknya. Nah, kalau dari menggambar kan kita mau dengar dan lihat bagaimana respon dari orang-orang sekitar, ya, tapi kalau di kodim orang mungkin malah melihatnya kita lagi kerja biasa aja. Ya, kayak disamain sama tukang, hahaha. Ya ada seru-serunya gitu. 

TF : Itu pengalaman di lokasi ya, kalau pengalaman dengan teman-teman yang lainnya  bagaimana, ya teman-teman residensi yang lainnya?

Da Boy : Sebelum saya ngerjain yang di kodim kan saya juga nemenin yang mural di Lapas. Di sana ada Verdian, Dhigel, Genta, dan Bayu. Itu juga pengalaman baru juga, mural di Lapas loh nge-gambar. Memang nggak ikut muralnya, tapi menyaksikannya saja sudah jadi pengalaman baru bagi saya. Aksesnya juga, mobil bisa masuk loh ke dalam Lapas, buat nganterin scaffolding, hahaha. Ya, di sana sambutannya oke, sama napinya juga. Terus Kepala Lapasnya juga izinkan ini buat digambar. Enak si menggambar di Lapas.

TF : Da Boy kan  di sini bertemu dan berinteraksi dengan teman-teman residensi lainnya juga. Terus teman lama dan baru, terus sama yang ikut Jamming Session juga itu bagaimana pengalamannya?

Da Boy : Nah, teman-teman baru kayak dari Jakarta, Medan, Jogja dan lainya itu, ya, mungkin awalnya agak canggung sih. Tapi lama-lama masuk juga, open juga. Ya, kita kan daerah mereka kota besar dan ibu kota, kan gitu ya kesannya, tapi yang minder-minder itu nggak ada. 

TF : Kedepannya ada rencana apa nih Da Boy?

Da Boy : Ya, kedepannya kalau ada jodoh ya hahaha. Apa, ya? masih ada proyekan sama Verdian mungkin ngerjain itu lagi. Kalau secara individu, kayak bikin kerajinan dari bahan-bahan bekas jadi pengen ngerjain lagi, tapi malas, hahaha. Tapi kayaknya kembali lagi jagain warung dan kalau ada “job-job” mural lainnya, mungkin itu.

TF : Da Boy kan sudah lama dalam berkesenian ini, legend lah. Terus bagaimana Da Boy melihat skena ini di Sumbar dan Solok khususnya?

Da Boy : Sepertinya skena street art di Solok, ya mungkin orang-orangnya gak banyak. Tapi ya ada terus, dan juga mungkin karyanya gak banyak seperti yang ada di kota-kota besar, yang iklimnya sudah terbentuk. Kan kalau di daerah masih ya gini lah. Mudah-mudahan semakin besar lah. Ya kayak di musik juga.

TF : Ya, mungkin itu saja Da Boy bincang-bincang ini. terima kasih Da Boy sudah bersedia.

Da Boy : Ok, terima kasih semuanya. 

Transkrip: Biahlil Badri

Mampir ke halaman portofolio Da Boy di Tenggara Festival

Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media yang berbasis di Kota Solok, sejak tahun 2011. Kelompok ini berfokus pada pengembangan seni sebagai metode riset. Serta menjembatani kolaborasi profesional (seniman, peneliti, dan penulis) dan warga dalam mendedah persoalan-persoalan budaya lokal di Solok secara khusus dan Sumatera Barat secara umum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.