“Rilex” bersama Dhigel

Sudah menjadi tradisi bagi Komunitas Gubuak Kopi untuk mewawancarai seniman yang terlibat dalam proyek ataupun kegiatan kita, sebagai bahan belajar. Wawancara ini berupaya untuk mengenal latar belakalang artisitik seniman serta mengumpulkan masukan-masukan untuk Solok, ataupun Komunitas Gubuak Kopi. Wawancara ini dilakukan pada hari-hari terakhir perhelatan Tenggara Festival 2020, di Solok.

Pada sesi ini kami berbincang dengan Adi Setiawan alias Dhigel. Tahun 2020 lalu, Dhigel berkesempatan hadir di Tenggara Street Art Festival sebagai seniman untuk program Artists in Residence. Selama ber-residensi, Dhigel ditempatkan bersama beberapa seniman lainnya untuk merespon lingkungan Lapas Klas II B Kota Solok. Para seniman lain yang berkolaborasi dengan Dhigel antara lain: Verdian Rayner (Solok), Bayu Sludge (Medan), Magenta (Medan), dan juga melibatkan 6 orang warga binaan, antara lain: Reby, Apri, Ari, Jeki, Riki, Diki. Setelah menyelesaikan dinding lapas, Dhigel juga menyelesaikan sebuah mural di Taman Pramuka, Kota Solok.

Pewawancara: Tenggara Festival (Anggraeni Widhiasih dan Teko Teguh Wahyundri)
Rumah Tamera, Kamis, 26 November 2020

“Kalau dulu gua mikir tema apa ya yang mau dibikin, karena harus nyari wacana apa gitu, terus akhirnya gak bikin karya. Nah dari situ dibalik, yaudah gua bikin karya dulu aja”

TF : Ya, cerita dulu, perkenalan, terus menyebut dirinya sebagai seniman apa?

Dhigel : Iya gua Dhigel, dari Jakarta, gua dulu kuliah di UNJ (Universitas Negeri Jakarta)  di Jurusan Seni Rupa. Bersama teman-teman ketika  kuliah kita bikin kolektif Grafis Huru Hara, kolektif yang isinya teman-teman yang suka bikin karya grafis, terus kita pameran di tahun 2012. Nah, jadi judul pemerannya Grafis Huru Hara, kita jadikan nama kolektif. Setelah itu tahun 2015 kita gabung bersama Ruangrupa, Serum, dan Forum Lenteng kita bikin Gudang SariNah Ekosistem. Terus tahun 2017 kita pindah ke Jagakarsa  ganti nama menjadi Gudskul. Di situ kita punya studio grafis yang programnya biasa kita bikin workshop kelas terus eksplorasi seni grafis. Dari situ, keberkaryan gua sih lebih ke grafis, cukil, terus medium eksplorasi ke ilustrasi dan mural. Aku nggak pernah punya buku scratch, jadi gua bikinnya ya langsung di MDF gitu, nyukil. Nah dari situ, mencoba memainkan objek, komposisi dan bikin ilustrasi kayak  gambar terus, mengkolasenya kan gampang tuh di komputer. Terus eksplorasi warnanya di mural, bikin warna yang macam-macam dan ukuran. Nah, dari dua medium ilustrasi dan mural gua gabungkan yang kemudian menjadi referensi gua untuk bikin karya grafis sebetulnya.

TF : Jadi, yang sering dipakai referensi membuat karya grafis adalah karya ilustrasi dan mural? terus, kalau yang memicu Bang Dhigel untuk kemudian memilih berkarya dicukil, terus grafis sampai kemudian juga menjadikan ilustrasi dan mural itu sebagai medium berkarya itu sebetulnya apa sih?

Dhigel : Nah, awalnya, kalau mural sih sudah pernah dilakukan waktu SMP. Ya, bikin karya di jalan, di SMA sekal,i tapi menggambar di kertas. Masuk kuliah itu mengambil jurusan seni rupa, nah saat itu ketika aku masuk kuliah ada abang-abangan yang rambutnya mohawk kayak street punk gitu, nah aku kaget ini kampus apaan kok ada anak Punk gitu, terus ditemuin, dia lagi nyukil terus ngobrol-ngobrol, terus tertarik. Dia main cukilan karena waktu itu gua pikir murah kan, kan cuman modal MDF dan modal kertas doang. Kalau tinta kan tinggal minta, nah dari situ sampai kesini ternyata senang  dengan cukilan, karena karakter si cukilan itu yang membuat beda gitu, ekspresif banget. Terus di kampus juga sering mural, waktu itu belum menjadi referensi buat nyukil. Basisnya masih mural-mural acara, habis itu nyukil lagi terus sempat bosan, terus gua nyari alternatif. Ketika bosan berkarya gua harus ngelakuin apa, terus mural. Terus tahun 2011, beli laptop belajar ilustrasi dikembangkan terus sampai sekarang.

TF : Cuman, mengambil jurusan Pendidikan Seni Rupa itu kenapa?

Dhigel : Gara-gara sebenarnya dulu guru Seni Rupa di sekolah itu orangnya asik, terus ngefek. Karena sebelumnya sempat ingin masuk STM, karena gak diizinkan, yaudah masuk SMA. Ya karena gambar-gambar terus guru seni rupanya asik gua milih pendidikan seni rupa itu gak pake tes. Cuman nilai raport aja.

TF : Cuman ngefek nggak sih dengan lu ngambil jurusan Seni Rupa itu, terutama faktor pendidikannya itu pas kemudian berkarya. Apakah kemudian kaitannya lebih ke kolektif atau berkarya sebagai individu itu gimana?

Dhigel : Sebenarnya ngefek. Kayak bikin karya harus ada sesuatu yang diajarkan atau dikasih tahu untuk orang apakah itu pesan atau apa, jadi, bagaimana caranya kita bikin karya yang bisa ngajak orang atau ngajarin sesuatu gitu.  Jadi pola-polanya tidak lepas dari pendidikan. Walaupun gua nggak mau jadi guru.

TF : Kenapa emang, nggak mau jadi guru.?

Dhigel : Ya, gak terlalu suka aja sih jadi guru. Soalnya waktu gua PPL, kan mengajar selama 6 bulan di sekolah berangkat pagi pulang jam 3, sampai kampus udah gak tau mau ngapain, terus tidur. Karena mikir besok harus bangun pagi lagi, gitu aja terus polanya, ya boring. Yaudah akhirnya, kayaknya gua lebih tertarik mengajar secara umum aja entah  workshop entah privat. Dibandingkan harus jadi guru tetap.

TF : Tapi sering ngadain workshop?

Dhigel : Sering

TF :Workshop apa biasanya?

Dhigel :  Ya, workshop grafis, mural terus sablon. Sekarang kan Gudskul ini menjadi sekolah. Jadi ya, secara tidak langsung, cita-cita untuk punya sekolah sendiri itu ada. Walaupun tidak formal. Ya, akhirnya kita punya sekolah sendiri. Walaupun gak formal.

Tf : Ooo… gak mau terikat ya, kalau guru kan terikat tuh.

Dhigel : Iya, kalau guru terikat. Iya, karena beberapa teman gua yang jadi guru ya udah stag di situ karena capek. 

Tf : Kan Bang Dhigel ini bermain di medium grafis, cukil, dan kemudian ada mural dan ilustrasi, apa yang kemudian yang menarik menurutmu sendiri dari cukil dan grafis?

Dhigel : Apa ya… kalau menurut gua, dari cukil, seru aja. Cukil kayak kayu gitu ya, suara cukilan yang didapatkan itu seru. Nah, dari garis yang didapat itu tegas-tegas, tajam-tajam, ekspresif gitu, enak bet dah

Tf : Kalau mural sendiri?

Dhigel : Ya, selain gua bisa eksplor di situ, juga salah satu jadi kerjaan juga. Karena di grafis atau  jual karya grafis itu rada susah, tapi kalau mural kan entah event gua mural gitu-gitu, sering. Ya, ntah duitnya bisa buat seharian atau bisa buat modal bikin karya. Semua berkaitan sih semuanya. 

Tf : Kalau karakternya sekarang itu, sudah menjadi karakternya atau mau masih mau mencari yang lain lagi?

Dhigel : Udah jadi Karakter si.

Tf : Bisa diceritain nggak? 

Dhigel : Sebenarnya karya itu muncul di tahun 2011. Jadi, 6 bulan sebelum itu aku sebelumnya bikin karya realis, foto, muka. Nah tiba-tiba saat mainin media sosial tuh. Jadi ketika lihat facebook, adek kelas gua nge-share  artikel itu, di Islam, nggak boleh bikin gambar  yang kayak manusia atau apa, banyak banget tuh. Nah, aku mikir. Masa iya aku gak boleh gambar? Stag tuh sampe beberapa bulan, cuman main game, nonton film, gitu-gitu gak ngapa-ngapain nggak bikin gambar. Sampai PPL, pas jadi guru piket, gambar-gambar terus nemuin karakter itu. Tiba-tiba aja nemu. Nah, itu aku bikin karya cukil yang pertama ukurannya satu papan, yang tadinya aku udah sket semua foto orang kepalanya diganti semua, jadi karakter itu. Ini kan bukan manusia, nggak ada makhluk hidup yang bentuknya kayak gini, asumsi aku kayak gitu, warnanya biru lagi.

Tf : Hidungnya kayak Petruk ya?

Dhigel : Sebenarnya, waktu itu mikirnya bukan kayak Petruk atau Wayang atau apa gitu, yang penting ini bukan orang aja gitu sih, jadi imajinasi doang. 

Tf : Jadi, upaya untuk ngakalin lah terkait dengan aturan itu, dari bentuk manusia, lucu, seru.

Dhigel : Terus ngeksplor sampai sekarang.

Tf :  Dia selalu dipakai ya setiap kali bikin karya?

Dhigel : iya selalu dipakai, baik itu di mural, cukil, dan  ilustrasi. Jadi semua karyanya diganti dari yang realis jadi kayak gitu semua.

Tf : Buat lu, kalau bikin karya cukil atau pun mural apa sih yang paling penting, tadi kan bilang mesti ada pesan atau selalu ada yang diajarkan. Apa sih yang paling prioritas gitu, dan signature-nya sendiri gitu? Atau kalau di proses berkarya apa sih yang muncul pertama kali, aku mau bikin gini gitu?

Dhigel : Biasanya, hal apa yang sering dilihat di sekitar. Kalau dulu gua mikir tema apa ya yang mau dibikin, karena harus nyari wacana apa gitu, terus akhirnya gak bikin karya. Nah dari situ dibalik, yaudah gua bikin karya dulu aja. Tugas akhir aku bikin karya tentang Ibu. Ya udah coba berangkat dari sekitar. Dari situ, ya udah akhirnya sekarang dari Ibu TA, terus tentang pertemanan, kolektif, dan tentang tongkrongan. Gitu sih, jadi apa yang gua lihat di sekitar gitu.

Tf : Paling sederhana sih gitu ya, dari pada jauh-jauh bingung kan nggak ngerti kan, hahaha.

Dhigel :Iya, karena sering banget gitu, sering mikirin apa ya yang lagi in banget gitu, wacana apa yang mau digali, mentok. Karena juga jarang baca dan juga kalau nonton berita juga jarang, ya udah lihat dari sekitar, ooo ternyata ya udah pembacaan. Ya, akhirnya nyambung, ternyata ada sambungannya ternyata gitu, terus dilanjutin digali lagi.

Tf : Sekarang kan lu terlibat dalam kolektif nih, jadi gimana keadaan lu, berkolektif sekarang di masa pandemi ini, atau bisa cerita dulu GHH itu ceritanya gimana?

Dhigel : Nah itu tadi yang awal aku bilang, Grafis Huru Hara itu nama pameran anak-anak kampus, dulu 2012. Karena saat itu kita nggak mau bikin karya grafis yang gitu –gitu aja, yang konvensional, terus cetak di kertas kita pakai edisi. Nah kita coba untuk tidak seperti itu. Akhirnya bikin karyanya cetak grafis di busa, terus dijadikan instalasi, stensil di tembok yang ngaur-ngaur deh, nah itu namanya Grafis Huru Hara. Dari situ, kita coba mulai untuk diseriusin, kita bikin komunitas saat itu, ada 30 orang.  Sampai di 2015 tinggal berlima, kita bergabung sama Ruangrupa, Serrum, Forum Lenteng bikin Gudang Sarinah Ekosistem. Yaudah cita-cita studio grafis, karena di kampus nggak ada, jadi kesampaian. Akhirnya, saat teman-teman lulus kuliah, ketika bikin karya grafis,  jadi punya tempat nggak harus ke kampus gitu, sampai sekarang. Kegiatannya kita bikin program, entah pameran, workshop, eksplorasi, teknis di seni grafis gitu.  Kalau di saat pandemi gini ya, karena memang dari awal GHH juga jarang ada pemasukan dari grafis, ya, jadi nggak terlalu berpengaruh sih, palingan kerjaan di luar grafis yang ngaruh. Ya, palingan kegiatannya, mencoba untuk ngulik teknis, entah gabung-gabungin teknis atau nyari yang baru. Terus juga bikin diskusi, kalau terakhir ini kita bikin pameran virtual 360, pameran poster, terus mengundang teman-teman jaringan GHH, terus kita bikin di Gudskul. Terus coba untuk eksplor aja.

Tf : GHH kan di Jakarta ya, terus bisa diceritain sedikit gimana sih jejaring, ekosistem grafis di Jakarta itu gimana?

Dhigel : Sebenarnya, untuk seniman grafis di Jakarta sedikit, ya palingan teman-teman yang dulu kuliah di IKJ (Institute Kesenian Jakarta) atau UNJ (Universitas Negeri Jakarta), sisanya ya palingan kayak di Bandung, Jogja, terus Solo. Kalau kolektif grafis di Jakarta cuma GHH doang. Sebelumnya kan ada”Refresh-ink Printmaking”, Jah Ipul dulu di situ, yang lain kayak anak IKJ.

Tf : Itu tahun berapa?

Dhigel : Itu tahun 2015, terakhir kita bikin pameran di galerinya Ruangrupa, masih di Tebet. Habis itu ya nggak kedengaran lagi, sampai sekarang cuman GHH doang. Terus yang punya studio grafis lengkap ya, cuma GHH.

Tf : Kenapa ya, kira-kira kayak gitu?

Dhigel : Ya, mungkin karena masa depannya nggak terlalu cerah kali, haha. Tapi kalau gua tidak berkolektif, gua yakin udah nggak bikin karya lagi. Maksudnya karena berkolektif dan akhirnya punya studio, jadi kayak ada tanggung jawab, harus ngurusin ini. Ya mungkin jadi guru.

Tf : Kalau untuk lu sendiri secara pribadi berkarya gitu, ada nggak seniman atau penulis, penyanyi atau juga karya lain yang kemudian rasanya punya influence, berpengaruh dalam berkarya, entah di grafis, ataupun mural gitu?

Dhigel : Kalau di grafis sih gua nggak hafal nama ya,  cuman karena karakter cukilannya. Ada bermacam referensi kayak di Mexico itu ada pasangan,  gua ngikutin di Instagram namanya Mazatli (@_mazatli_) sama Kill Joy (@kill.joy.mall). pasangan itu bikin karya grafis, dan diterapin di mural juga yang karakter garisnya kayak cukilan. Itu salah satunya sih.

Tf : Kalau di Indonesia ada nggak?

Dhigel : Banyak sih, kayak teman-teman street art, Gardu House, itu juga sangat meng-influence. Terus seniman grafis ada Srimayanto di Taring Padi, sekarang dia di Jerman. Dia salah satu yang worshopin gua bikin cukil warna dan sampai sekarang masih dipakai juga.

Tf : Menarik ya, perpindahan dari medium cukil, yang nggak sebesar dinding terus pindah ke dinding gitu. Kalau ngomongin grafis itu kan kita sangat ngomongin grid banget gitu, jadi, susah nggak?

Dhigel : Sebenarnya sih, di grafis sendiri di Indonesia masih nyambung sama street art ya. Karena masuknya seni grafis di Indonesia salah satunya juga digunakan untuk bikin-bikin poster-poster kemerdekaan. Nah, dari situ, ternyata bisa juga, akhirnya entah bikin poster dulu waktu awal-awal kuliah dulu. Ada namanya Project Akhir Tahun kita bikin karya grafis poster sablon. Kita bikin sebanyak-banyaknya, berapa edisi gitu terus kita boombing di Jakarta. Entah bikin poster, entah nyukil terus di scan terus diperbesar terus jadiin wheatpaste, dulu tu kayak gitu. Akhirnya berpengaruh juga, akhirnya mainin mural, nah kalau di mural gua mainin size sama color. Untuk referensi gua di grafis. Kan kalau nyukil gua prepare paste gitu ya, kalau mau ngulang lagi kan rada susah. Kan kalau di mural.. Ooo ini warnanya oke nih, kalau ini campur ini warnanya masuk,  ya udah tinggal terapin aja ke cukil, ya udah campuran warnanya kayak gini. 

Tf : Ooo… jadi nyari referensinya malah di mural ya?

Dhigel : Iya,  warna-warnanya yang cerah gitu yang biasa gua pakai mural, sebenarnya gua pakai di cukil. Nah itu pas tugas akhir warna-warna gua jadi kayak gitu. Karena sering nyukil, mural dan ilustrasi terus tuh. ketiganya itu jalan bareng, secara nggak langsung semuanya itu nyampur, nyambung gitu. Kalau kayak dulu mikir banget, gua mau bikin apa dipikirin, warnanya apa, ukurannya sebesar apa,terus budget produksinya gimana itu dipikirin banget. Saking lamanya nggak dikerjain. Dan langsung bisa tertuju gitu ke publik yang kita pengen. 

Tf : Nah, sekarang kan lu ada di Tenggara Street Art Festival nih bang, ya kenapa mau dan ceritanya gimana?

Dhigel : Sebenarnya sih senang diajakin ke sini, karena sebelumnya pas pandemi delapan bulan, lingkungan cuman rumah terus di studio itu-itu aja. Terus pas diajakin ke sini, ya gua iyain aja. Terus gua tanya istri gua, boleh nggak ikutan, yaudah boleh, terus berangkat. Karena emang gua dari dulu juga pengen punya project keliling Indonesia juga, ya udah seru juga nih, nyicil-nyicil lah. Sekarang ke Solok entar kemana.  Kalau diajak atau ada event.

“…gua lebih ke yang menyapa, terus teks “Rilex”, ya udah lu selow aja di lapas nggak jadi beban atau apa gitu”

Tf : Nah kan kita di festival ini bagi-bagi lokasi nih, dan lu dapat lokasinya di Lapas. Nah gimana tanggapannya berkarya di lapas dan juga sama warga binaan.?

Dhigel : Sebenarnya seru, nah, awal-awal gua datang nyari-nyari tempat kan… wah TPA (Tempat Pembuangan Akhir) oke nih, tapi ternyata gak bisa milih lagi kan, akhirnya tetap di lapas. Ya, udah mikir macam-macam tuh di lapas. Gua ngapain, ya? Karena kan pertama kali masuk lapas juga kan.  Terus masuk, agak aneh, karena nggak kebayang apa yang gua pikirkan karena di Jakarta akses ke tempat yang rada-rada isolasi gitu agak susah. Karena, termasuk kontrol Polisi, terus lu bisa masuk seenaknya gitu jarang bangetlah di Jakarta. 

Masuk ke lapas, terus ada temannya sipil juga di sana, temannya anak-anak Gubuak Kopi kan. Loh, kok lapas kayak gini ya, tidak seseram yang dibayangkan. Itu malah gua jadi deg-degan. Wah ini beneran nih? Orang-orang pada ngeliatin, aman gak ya? Ntar tiba-tiba gua malah disandera, terus dibawa kabur. Terus ada satu momen yang udah beres-beres, terus “tangga ini ntar nggak dimasukin (disimpan), bang?”– “nggak di sini aja” terus kenapa ya, jangan-jangan ntar malam mau kabur gitu? tuh kepikiran sampai besoknya. Eh pas besoknya tangganya masih ada.  Ooo… berarti nggak jadi kabur nih, aman. ID Card gua hilang, ntar gua keluar gimana, ya? masa gua nelpon gitu, ntar minta tolong “Bang ntar gua keluarnya tolongin bang” masa gitu.  Sama yang paling gokil sih, pas ngangkut scaffolding, lihat mobil pick up di depan gerbang, terus menghadap ke dalam. Terus gua tanya sama Bang Verdian, nih dibawa masuk bang? Iya. Lah, masa dibawa masuk? Eh terus pintu gerbangnya dibuka, terus masuk ke dalam. Wah, keren nih gila, masa dibawa masuk lapas terus duduk, trus orang-orang pada liatin. Ini VVIP+ nih. 

Tf : Terus kalau proses untuk kemudian memilih gambar yang sekarang ini ada di lapas itu gimana?

Dhigel : Sebenarnya lebih spontan sih, apa ya, gua mau gambar apa ya di lapas, sesuatu yang menarik gitu. Ya, akhirnya gua bikin karakter itu, karena kebetulan kan karakter gambar gua lebih ke karakter pertemanan dan nongkrong gitu, ya gua pakai, terus dimasukin. Orang pada menyapa, “halo”. Terus muka-muka bertopeng, terus digabungin sama karyanya Genta dan Dian yang anak kecil satu megang pisang, sama satu lagi  yang pemulung itu. Terus yang kaget, ada napi yang cerita, dia cerita ke sipir, sipirnya cerita ke kita. Dia bilang, “aku tau maksud gambarnya ini nih bang, maksudnya – lebih baik jadi pemulung daripada gua ngikutin orang-orang yang bertopeng” dibilang gitu. Wah bisa juga nih. Ya, bisa begitu juga, ya kalau keseluruhan gambarnya. Tapi kalau yang sendiri-sendiri sih gua lebih ke yang menyapa, terus teks “Rilex”, ya udah lu selow aja di lapas nggak jadi beban atau apa gitu.

Tf : Lu, kan di lapas collab ya, sama Dian, Genta, dan Bayu, terus ngatur gambarnya gimana?

Dhigel : Sebenarnya nggak ngatur sih, gua bikin desain, Dian bikin desain, Genta liatin desainnya, eh ternyata gambar lu bisa dibagi dua nih kanan kiri, ya udah besok disatuin tinggal digabung akhirnya pas. Ya udah.

Tf : Trus, kan ada warga binaan yang ikut menggambar, itu gimana?

Dhigel : Sebenarnya, gua yakin aja di lapas ada yang bisa gambar entah tato entah apa gitu, terus si sipirnya, Bang Rahmat bilang, ada nih napinya yang bisa gambar tapi cuman diajakin lima orang. Nah, pas di situ ngobrol-ngobrol, “ayo bang, respon aja bang,” mau cerita tentang apa, gitu terus apa yang mau disampaikan, terus mereka bikin desain, terus diliatin, diskusi-diskusi kayak gitu. Ada yang bikin Bob Marley,  ada juga yang bikin tulisan “Say no to drugs”, terus ada gambar-gambar ganjanya gitu. Wah, taruh di sini aja cakep bang, taruh sebelah Bob Marley, karena kan ganja dekat sama Bob Marley. Habis tuh ngerespon, nyelip satu gambar terus di sebelahnya ada juga karakternya kartun gitu. Terus disambungin lagi terus pas lihat, tangannya yang rada-rada gimana yang porposinya agak aneh, trus coloring-nya juga, “nih bang, coba bikin kayak gini bang, kasih warna ini asik nih,” ya secara tidak langsung di-workshop-in juga. Dia bikin satu tangan, si napinya satu lagi bikin satu tangannya lagi, ya, dia bilang asik juga ya bang, gambar. Hahaha…

Tf : Sering juga nggak sih, Bang Dhigel itu bikin karya yang kolaborasi, entah sama seniman lain atau warga di tempat mural?

Dhigel : Sering, dan sebenarnya senang sih gua kolaborasi, karena ada sesuatu yang nggak lu duga sih di hasil kolaborasinya. Kayak di Street Dealin dulu, mural di kampung, terus kolaborasi sama seniman dari, Depok, Jakarta juga. Ya, itu main respon-respon, saling mengisi gitu. Terus ada warga juga nonton, nanya-nanya. Ya, seru-seru juga, ya udah ikut aja, terus ikut bantuin mural. Ya, seringnya sih nontonin rame ngelilingin. Kalau yang bisa gambar ayo ikutan gambar, diwarnain. Seru sih. 

Tf : Kan udah beberapa hari ini di Gubuak Kopi nih, di Solok. Tanggapan lu, sama skena dan warga di sini gimana?

Dhigel : Wah, seru banget. Asik-asik anaknya, baik-baik, padahal di depan kamera doang ini. Hahaha… Gak, serius asik sih, nemenin di lapas, kan kalau gak ada yang nemenin kan down gitu, ngeri gua sendirian di lapas. Kita yang dari luar kota, datang masuk, terus  gak ada yang bisa bahasa daerah sini gitu. Ada napi nanya bang mhd^^%#$#*&…..(dalam bahasa Minang) terus gua jawab “iya” aja. Terus napinya ketawa, emang artinya apa? Gak tau, orang Cuma iya-iyain aja. Ya, kayak gitu ada yang nemenin, lingkungan juga enak. Terus prosesnya juga enak. Keren, lu bisa mengokupasi satu kota gitu, semua tempat bisa lu masukin, seru sih. Beruntung loh bisa ke sini.

Tf : Nah, ini kan sebetulnya di Solok sama Gubuak Kopi kan lagi mengupayakan ya untuk mendorong seni yang alternatif lah.  Ya, salah satunya dengan festival ini. Nah menurut lu sendiri dari beberapa hari yang udah mengalami di residensi ini. Kalau sepenglihatan lu gimana gitu. Mengalami Solok dan skenanya?

Dhigel : Masih bisa berkembang banget si menurut gua, gua pikir ya. Di Solok dan Gubuak Kopi massive banget, eksplorasi masih oke, terus ruang-ruang yang dieksploitasi oke banget gitu. Masih bisa berkembang terus sih. Dan masyarakatnya gua pikir ini juga sangat mendukung, karena jarang banget ada tempat-tempat yang masyarakatnya mendukung gerakan entah mural, street art gitu, terus mereka suka digambarin. Kan tahun-tahun lalu mereka bikin terus ternyata masyarakat banyak yang suka kan? Nah akhirnya sekarang kayak beberapa instansi, ruang-ruang yang mengizinkan untuk dipakai itu keren banget sih, bisa di boombing parah nih satu kota. Hahaha… Kalau bikin event tenggara atau Asia Tenggara, wah banyak banget tempat yang bisa dipakai, kan? Paling capek ngurusinnya. Hahaha…

Tf : Nah, kedepannya lu mau ngapain, mau bikin karya kayak gimana, bisa dikasih bocorannya?

Dhigel : Ya, kayaknya, masih ngeksplor-ngeksplor. Akhirnya kayak nemu teman-teman di Solok, Medan dan Padang, jadi kepengen keliling-keliling, nyamperin, bikin karya di situ.  Entah ke Medan, atau nggak lu ke Jakarta, bikin karya. Ya, kayak gitu saling tukar-tukar jaringan lah. Eksplor tempat-tempat yang dituju.

Tf : iya, tahun depan lu masih bisa ke sini lagi.

Dhigel : ya, karena kan udah Urang Awak.

Tf : Iya, Urang Awak, Urang Dalam. Haha. Oke, terima kasih banyak Bang Dhigel.

Dhigel : Iya, sama-sama. Terima kasih.

——-

Transkrip: Biahlil Badri


Mampir ke halaman portofolio Dhigel di Tenggara Festival

Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media yang berbasis di Kota Solok, sejak tahun 2011. Kelompok ini berfokus pada pengembangan seni sebagai metode riset. Serta menjembatani kolaborasi profesional (seniman, peneliti, dan penulis) dan warga dalam mendedah persoalan-persoalan budaya lokal di Solok secara khusus dan Sumatera Barat secara umum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.