Membuat Kompos dengan Tetangga

Sore yang sejuk di Rumah Tamera, waktu yang tepat untuk berkeliling. Saya datang lagi ke markas Komunitas Gubuak Kopi ini, untuk terlibat dalam proses residensi Daur Subur 2021 dengan tema “Circumstance”. Tema ini berupa menyoroti dan menghubungkan inisiatif dan aktivitas warga, untuk sebuah keadaan yang lebih baik di masa mendatang. Hari ini saya berkunjung ke rumah-rumah warga sekitar Rumah Tamera, bersama empat orang rekan residensi Daur Subur, yakni; Badri, Zekal, Biki, dan Alfi. Kami mengunjungi rumah-rumah yang sebelumnya juga kami kunjungi. Kunjungan sebelumnya, sekitar 1 bulan yang lalu, teman-teman Komunitas Gubuak Kopi memberikan 1 botol kaca, untuk wadah kompos berukuran sekitar 200 Gr. Botol-botol ini bagian dari inisiatif teman-teman Komunitas Gubuak Kopi bersama beberapa warga Kampung Jawa, Solok, untuk membiasakan mengolah sampah sendiri langsung di dapur. Alat sederhana yang bisa langsung di letakan didapur, sehingga meminimalisir proses memisahkan.

Baru sebulan, telah terjadi pembusukan sehingga muncul belatung-belatung kecil. Saat-saat itu, para tetangga yang mendapatkan botol terlihat sedang bersemangat dan saling pantau dengan tetangga lainnya yang juga melakukan hal sama. Kala itu juga teman-teman Komunitas Gubuak Kopi datang untuk botol kompos dan hasilnya. Botol ini akan dipakai beberapa minggu kedepan, guna  dipamerkan ke iven ICAD (Indonesian Contemporary Art and Design) Jakarta. Sebuah pameran desain dan seni kontemporer yang diinisiasi oleh Yayasan Design+Art Indonesia. Pada no #10 ini ICAD mengangkat tema Publik. Dalam hal ini, Komunitas Gubuak Kopi tertarik menghadirkan aktivitas dan inisiasi Komunitas Gubuak Kopi bersama tetangga di Kampung Jawa ini. Video proses kompos tersebut dan bagaimana ia dipamerkan pun diperlihatkan kepada warga dan publik lainnya. Sebagai mana bahwa Daur Subur ini ialah project yang bukan hanya milik Komunitas Gubuak Kopi tapi juga milik para tetangga. Seminggu sejak kompos itu dijemput dan dipamerkan, kami datang membawakan gantinya. Sebab memang banyak tetangga yang menyenangi proses itu dan merasa butuh botol yang lebih besar. 

Beberapa waktu lalu, teman-teman Komunitas Gubuak Kopi menghubungi beberapa kedai kopi di Solok, menanyakan kemungkinan wadah baru yang bisa digunakan oleh tetangga. Akhirnya kami menjemput sekitar 22 box wadah ice cream dari beberapa kedai kopi. Ukurannya sekitar 4 kali lipat dari botol kompos yang kami kasih sebelumnya.

Tapi kali ini tetangga sendiri yang akan membuat alatnya. Teman-teman Komunitas Gubuak Kopi akan membantu-bantu sesuai sketsa yang sudah dirancang. Terdiri dari dua box yang didempetkan dan diberi lobang di beberapa titik. Kompos ini didesain untuk bisa menghasilkan dan memanen kompos cair dan padat dengan sangat gampang.

Lokasi pertama yang kami kunjungi ialah warung sarapan Bu Bet yang berlokasi di seberang Rusunawa. Bu Bet tertatih menyambut kami yang datang membawa ember-ember berwarna putih. “Asam urat Ibu kambuh, makanya susah berjalan”, ujar beliau mengkonfirmasi jalannya yang terseok. Mengobrol sebentar, Biki Wabihamdika dari Komunitas Gubuak Kopi langsung memperagakan cara rakit komposter yang dimaksud untuk dibuat bersama-sama para tetangga. Semacam workshop singkat di halaman rumah warga.

Pada percobaan pertama, ember yang dilobangi ternyata salah sasaran. Kita melobangi ember sampai tembus ke ember bagian dalam. Seharusnya ember bagian dalam hanya diberi lobang di bagian bawah saja, lalu yang dilobangi bagian samping hanya ember bagian luar penampung hasil panen kompos cair.  Jadilah embernya diganti baru, agar komposnya dapat ditampung sempurna.

Beranjak dari warung Bu Bet, kami menuju rumah Buya Khairani. Buya yang sedang berkebun menyapa kami berlima. Seperti biasa, Buya selalu punya inovasi unik yang diperlihatkan kepada kami. Kali ini botol bekas sabun cair yang dilobangi bagian sampingnya untuk tempat HP. “Kalau HP diletakkan disini, maka nadanya akan melengking dan terdengar dari kejauhan”. Ujar Buya memaparkan fungsi peranti buatannya.

Di rumah Buya, kami membuat dua wadah kompos. Satu untuk rumahnya dan satu untuk rumah anaknya, Kak Reza. Perakitan komposter ini dilakukan oleh Alfi bersama Buya tentunya. “Bagusnya lobang ini jangan jauh-jauh, agar cairan terkumpul di bagian tengah dan cepat turunnya”. Begitulah Buya Khairani, tetangga kami. Selepas mengambil dokumentasi penyerahan, kami pun bertolak dari rumah Buya.

Workshop perakitan komposter selanjutnya ke rumah Bang Haris, ketua RT II di RW 4 Kampung Jawa. Haris baru saja terbangun dari tidur siangnya yang kesorean saat kami menyambangi rumah beliau. “Eh, ada yang baru nih,” sapa Bang Haris melihat kami yang heboh membawa bahan komposter. 

“Iya dong Bang, ini ganti yang kemarin dan lebih besar” ujar Biki menunjukkan ember-ember itu. Kali ini Badri yang mengambil alih perakitan. Tak perlu lama, komposter pun langsung diserahkan beserta trash bag penampung sampah kering/anorganik.

Bergeser sedikit, kami menuju rumahnya Om Slamet yang berjarak dua rumah dari rumah Bang Haris. “Wah, ada gantinya ya yang kemarin?” Sambut Om Slamet dengan raut senang. “Ya dong Om, ini ada video pameran kompos cair om di Jakarta.” Respon Biki memberi lihat video pameran ICAD.

Sembari Badri merakit, Saya, Alfi dan Biki mengobrol bersama Om Slamet. Zekal terus asyik dengan sketsanya mendokumentasikan peristiwa-peristiwa bertemu tetangga ini. 

Beranjak dari rumah Om Slamet, kami menuju ke rumah belakangnya. Ialah rumah Pak El dan Bu Ranti. “Wah, Bu Ranti nya masih belum pulang” Ujar Pak El, menyambut kedatangan kami. Sementara Badri mulai merakit, Pak El mengkritisi kegiatan ini.

“Maaf bertanya ya adek-adek, sebenarnya kegiatan ini apakah ada nilai komersilnya? Bukan bermaksud merendahkan atau cari materi, tapi apakah dalam jangka waktu panjang ini bisa menghasilkan? Adek-adek memberikan wadah ini gratis kepada kami, lalu apakah barang-barang ini tidak dibeli?”

“Kalau wadah ice cream ini kami dapatdari kedai kopi, jadi gak dibeli Pak”. Ujar Biki menanggapi.

“Alhamdulillah, kompos ibuk Ranti yang kemarin sudah dipamerkan juga di Jakarta” lanjut Biki menimpali.

“Baguslah, Ini sekedar masukan saja, jangan sampai sudah capek kerja tapi hasilnya gak ada” Respon Pak El. “Iya itu dia godaannya pak, kadang darah muda kita masih senangnya main-main, tapi semoga main-main ini bermanfaat kita semua dan lingkungan” lanjut Badri.

“Mudah-mudahan nanti ada hasil yang bisa kita nikmati, yang penting tetap semangat jangan melempem” Tutup Pak El.

Selepas diskusi yang cukup panjang itu, kami pun masuk ke rumah Pak El diajak beliau melihat-lihat kandang ayam miliknya. Ternyata di dapurnya Pak El, sudah terjadi pemisahan sampah organik dan anorganik.  Pak El dan istrinya sudah berikhtiar memisahkan jenis sampah.

Bertolak dari rumah Pak El, kami mendatangi rumah Ketua RW 6, Pak Riko. Sayangnya beliau tak di lokasi. Rute pun berbalik arah ke rumah Lek Muh dan hanya disambut sang istri, Bu Emi. Senja pun telah jatuh sebagaimana hujan menyambut. 

Amelia Putri (Padang Pariaman, 1993) biasa disapa Amel. Mewakafkan diri sebagai relawan kemanusiaan sejak tahun 2017. Hingga sekarang terlibat di bidang Disaster Emergency Relief Management, sebuah lembaga respon bencana di ACT (Aksi Cepat Tanggap) Sumbar. Juga Aktif berkegiatan di Literasi dan konservasi di OrangUfriend Padang. Awal 2021, ia bergabung di Komunitas Seni Dangau Studio. Amel juga murupakan partisipan Lokakarya Daur Subur #6 di Kampung Jawa, Solok, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.