Dedaunan Pakde Tekno

Kamis, 21 Oktober 2021, merupakan hari ke-4 kegiatan Residensi Daur Subur di Kampung Jawa. Seperti hari sebelumnya para partisipan bergilir mengunjungi lokasi riset yang berbeda-beda. Kami pergi pada sore hari karena menunggu Pak RW yang akan mengantar kami pada salah satu tokoh masyarakat untuk bersilaturahmi. Hari ini kita mengunjungi Pakde Tekno terkait tanaman herbal dan pengobatan tradisional. Ternyata lokasi rumahnya tidak jauh dari Rumah Tamera, hanya perlu berkendara sekitar 3 menit. Jalanan menuju rumahnya cukup menjebak, karena jalan menuju sana tidak terlihat begitu jelas dan rumahnya berdiri sendiri dari jalan itu. 

Saya sendiri baru pertama kali ke sini. Suasana rumah Pakde Tekno bagi saya cukup menenangkan, karena dikelilingi beragam tumbuh-tumbuhan. Di depan rumahnya persis ada kendang ayam yang cukup besar sudah tidak terpakai. Di belakang rumahnya saya juga melihat sekitar 15 kolam ikan, dan beragam jenis ikan.

Sesampainya kami di rumah Pakde Tekno, istri pakde yang kami sebut bukde menyambut kami dengan hangat dan memberitahu bahwa pakde sedang berada di ladang. Pak RW pun mengajak kami untuk menyusul pakde ke ladang, dan ternyata salah satu rombongan kami ada yang terlewat tikungan menuju rumah Pakde Tekno. Seperti yang saya sebut tadi, jalan menuju rumah Pakde Tekno cukup samar. Karena Alfi salah satu partisipan yang sudah lebih dulu mengunjungi Pakde Tekno dan tahu dimana ladang pakde, jadi kami meminta Alfi untuk menunggu kawan kami yang tertinggal. 

Selanjutnya kami pun menyusuri ladang dan menjumpai pakde yang sedang menanam talas. Ketika kami menghampiri, pakde meminta untuk mengobrol saja di rumahnya, alasannya kurang efektif kalau di ladang. Di situ kami pun kembali ke rumah pakde. 

Sesampainya di sana kami berkenalan satu persatu dan pakde bertanya apa maksud tujuan kami menghampirinya. Obrolan pun dimulai dengan pakde, banyak hal-hal menarik dan unik yang pakde sampaikan. Seperti tanaman bunga yang ditanam di depan rumah pakde, uniknya dari tanaman itu bunganya bisa dipakai untuk mengobati ikan cupang. Dilanjut pakde menunjukkan beberapa tanaman unik lainnya, seperti tanaman yang ia sebut Sake dan Wali Songo. Pakde menceritakan tanaman Sake atau Tanduk Rusa ini bisa menjadi penangkal ‘kiriman’ dari orang yang sirik.  Sake tumbuh menumpang di pohon lain dan tidak merugikan seperti tumbuhan benalu lainnya. Lalu pakde menunjukkan tanaman Wali Songo, di balik tanaman ini tersimpan cerita unik. 

Jadi kenapa dinamai Wali Songo karena biasanya tumbuhan itu berdaun 9, dan setiap jumlah daun itu memiliki arti dan manfaat masing-masing. Asal tumbuhan ini pun pakde tidak mengetahui dari mana tumbuhan ini berasal, pakde dan bukde pun tak pernah menanam tanaman Wali Songo ini. Bahkan ketika pakde menyadari ada tumbuhan itu di pekarangan rumahnya, itu ketika pakde sedang sakit. Pakde pernah sakit sekitar 24 hari, di sela-sela itu pakde mendapat bisikan yang datang tiba-tiba, bisikan itu memberitahu bahwa di luar rumahnya ada tumbuhan yang dapat menyembuhkannya. Dari situ pakde penasaran dan dicarinya, ternyata tumbuhan itu ada. Pakde manfaatkan untuk obat dan pakde sembuh. Dari situ lah pakde baru menyadari ada tumbuhan Wali Songo dirumahnya. Pakde juga bercerita daun 9 dari tanaman itu pernah pakde gunakan untuk menurunkan batu besar yang ada di atas kolamnya. Dengan kepercayaan dan kekuatan daun 9 itu, batu itu pun bisa turun dengan mudah. Banyak pengalaman-pengalaman spiritual yang pakde alami. Percaya atau tidak itu kembali pada teman-teman pembaca.

Hari mulai maghrib dan kami izin pamit ke pakde dan bukde karena masih ada kegiatan yang mau kami lakukan. Sesampainya di Rumah Tamera kami beristirahat, dan bersantai. Jam menunjukkan pukul 9, Albert mengajak beberapa teman yang belajar bersama di sini untuk mengikuti workshop singkat. Di situ Albert menjelaskan secara ringkas tentang sejarah media, dan bagaimana Daur Subur bekerja. 

Sehabis materi bersama Albert kami semua makan bersama. Ketika kami mau makan buya datang bertamu. Salah seorang tokoh masyarakat di Kelurahan Kampung Jawa dan kami ajak buya untuk makan bersama. Setelah makan kami kembali duduk dan berbincang bersama buya, di situ buya bercerita tentang teknologi pertanian pada masa lampau. Beliau menjelaskan beberapa jenis cangkul di daerah Sumatera Barat. Lalu buya bernostalgia pekerjaannya masa muda dan mencontohkan cara memotong kertas khas dia untuk spanduk, seperti kalimat “Selamat Datang”. Malam pun sudah larut dan buya izin pamit pulang, dan kami pun kembali beristirahat.

Farah Nabila, (b. Rawamangun, 2001), akrab disapa Farah, mahasiswa semester 5 Fakultas Dakwah, Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedang bergabung bersama Federasi Orienteering Nasional Pengprov Jakarta (FONI) menjabat sebagai Humas. Farah salah satu penggas Forum Komunikasi Sispala Jakarta. Kunjungi instagram @farrnab untuk melihat lebih banyak aktivitas keseharian dan perjalanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.