Keluar dari 4:3

Sabtu, 16 Oktober 2021 merupakan hari pertama rangkaian nonton dan diskusi film Sinema Pojok Oktober, bersama Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) dengan tema besar “Film Sebagai Pelestarian Nilai Budaya”. Di hari pertama ini,  Sinema Pojok menayangkan film Bujang Bailau yang disutradarai oleh Dwi Yola Nevia yang biasa dikenal sebagai Pejalan Kembar.

Malam itu nonton dan diskusi film dihadiri oleh tamu undangan yang berasal dari beberapa instansi dan komunitas film di Kota Solok  seperti, Dinas Pariwisata, Solok Literasi, I Cinema, Aliansi Mahasiswa Solok, dan komunitas film lainnya. Walaupun sedikit mengalami kendala cuaca, yang seharusnya kita menonton di halaman belakang Rumah Tamera, akhirnya kita bergeser ke dalam kabin utama, karena hujan turun tiba-tiba. Syukur pemutaran film tetap dapat dilakukan dengan fokus dan asik. Antusias penonton dalam mengulas dan membahas lebih jelas tentang film Bujang Bailau membuat suasana lebih hangat. 

Film yang kami tonton sangat menarik karena mengangkat latar belakang tahun 90an akhir,  juga tentang  budaya yang banyak orang tidak tahu, bahkan untuk warga lokal sendiri pun masih banyak yang belum mengetahui tentang tradisi ini. Tradisi Bailau ini berasal dari kelurahan Kampai Tabu Karambia (KTK) Kota Solok, kata Bailau diartikan ke Bahasa Indonesia adalah meratapi. 

Sutradara menjelaskan alasan menggunakan rasio 4:3 pada filmnya, yang menurutnya menyesuaikan dengan bentuk tv tabung pada tahun kejadian berlangsung. Pertimbangan memilih rasio tersebut juga interpretasi dari ruang gerak  seorang “bujang” Minangkabau yang sempit di daerahnya. Budaya atau kebiasaan anak mudanya, yang seringkali pergi merantau karena tawaran orang tuanya. Seakan tidak dapat melihat peluang di daerahnya yang dirasa sempit, seperti terjebak di dalam kotak pikiran itu. Seperti pepatah Minangkabau “marantau bujang dahulu, di rumah paguno balum” (Merantaulah bujang dahulu di rumah belum berguna) menggambarkan bagaimana posisi anak muda yang sering disebut belum memiliki peran penting di daerahnya. 

Ceritanya, pada zaman dahulu ketika anak muda Minang pergi merantau ke luar daerah, bujang atau anak muda itu meninggal dunia di tanah rantau, yang kemudian jasadnya tidak bisa kembali ke kampung halaman. Dalam suasana ini  bailau diritualkan, yaitu dengan mengganti jasad si bujang dengan batang pisang, lalu ditutupi dengan kain jarik. 

Di film ini  keluarga yang ditinggalkan melakukan tarian ritual  untuk mengenang dan meratapi kepergian si bujang itu. Tarian ritual Bujang Bailau dilakukan untuk melepaskan rasa sakit karena ditinggalkan oleh orang terkasih, di tarian itu terdapat pantun spontan yang menyebutkan sifat, kebiasan dan hal hal yang mengingatkan kita dengan si bujang itu. Gerakan dalam Tari Bailau, memiliki makna tersendiri, seperti hentak-hentak kaki yang  bermakna kekesalan yang dirasakan oleh orang yang ditinggalkan, gerakan menyerok tangan ke bawah mengisyaratkan dimana lagi kami mencari jasad itu. 

Film ini sangat menarik untuk dibahas dan ditonton karena tradisi ini cukup jarang kita temui, membuat ketertarikan dan rasa penasaran penonton tentang budaya ini. Banyak pertanyaan-pertanyaan menarik dari film ini, seperti “masih adakah budaya Bailau ini” “mengapa saat ini jarang sekali bahkan tidak pernah lagi ditemukan tradisi  Bailau” kumpulan pertanyaan tersebut ditanggapi oleh Ibu Tari selaku perwakilan dari BPNB,  Albert dari Komunitas Gubuak Kopi, dan sutradara sendiri Ola. 

Bu Tari menanggapi terkait mengapa Bailau ini sudah tidak lagi kita temukan, sebagai perwakilan dari Balai Pelestarian Nilai Budaya, hal itu pun merupakan suatu kewajibannya untuk melestarikan sebuah budaya. Tapi yang difokuskan dalam hal tersebut adalah nilai dari sebuah budaya itu sendiri. Karena budaya atau tradisi merupakan hal yang bersifat dinamis, atau berkembang. Budaya dapat berubah seiring berjalannya waktu. Terlebih  Bailau ini termasuk hal yang dianggap bertentangan dengan agama Islam. Karena menangisi atau meratapi orang yang telah meninggal dilarang dalam agama. Budaya itu berkembang, tetapi nilainya tetap ada. Yang sebenarnya hari ini nilai dari bailau  tetap saja  ada, namun dengan cara yang berbeda, seperti mengeluarkan ungkapan kesedihan di tempat-tempat yang berkesan bagi anaknya.

Kalau menurut  Albert, di Bailau itu terdapat pantun spontan, berpantun sudah menjadi seni sehari-hari. Sementara zaman sekarang sudah jarang sekali orang dapat pantun dengan spontan seperti itu. Ola pun juga menanggapi hal tersebut, menurutnya teknologi di zaman sekarang makin canggih, dan menghindari dari hal buruk seperti tak dapat ditemukannya jasad tersebut. Setelah pertanyaan apakah masih ada ritual Bailau, Bu Tari menambahkan bahwa tradisi Bailau tidak hanya ada di KTK, tetapi juga di beberapa  daerah Sumatera Barat lainnya. 

Kegiatan berjalan lancar dan ‘hidup’, dengan antusias para penonton untuk mengulik lebih dalam tradisi Bailau. Para penonton pun kagum dengan berbagai macam budaya yang kita miliki, seperti yang diharapkan Ola semoga kedepannya makin banyak orang yang menggali dan mengangkat isu budaya dan tradisi yang kita miliki. Acara pun berjalan lancar dan diakhiri dengan foto bersama semua hadirin. 

Farah Nabila, (b. Rawamangun, 2001), akrab disapa Farah, mahasiswa semester 5 Fakultas Dakwah, Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedang bergabung bersama Federasi Orienteering Nasional Pengprov Jakarta (FONI) menjabat sebagai Humas. Farah salah satu penggas Forum Komunikasi Sispala Jakarta. Kunjungi instagram @farrnab untuk melihat lebih banyak aktivitas keseharian dan perjalanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.