Bhinneka Keresahan, Tunggal Pandemi

Walau virus ini sudah menyebar sejak akhir 2019, tapi di Sumatera Barat, bulan Maret 2020 lalu adalah awal dari segala hambatan kita untuk bersilaturahmi. Maret menjadi awal diujinya kesabaran saya terhadap Covid-19 yang sudah berlabuh di Kota Padang hingga menjalar ke seluruh daratan Sumatera barat. Terhitung dari 30 Mei 2020, 19 kabupaten dan kota di provinsi ini ada 552 kasus positif Covid-19. Menjadikan saya diuji akan suatu pertanyaan “Apakah kita akan begini terus hingga datang bulan Ramadhan?”

Sampai sekarang. Ketika saya menuliskan keresahan ini, sudah H+7 lebaran 1 Syawal 1441 H. Saya mendapat undangan dari Bang Albert dari Komunitas Gubuak Kopi untuk berpartisipasi menulis di blog Gubuak Kopi (www.gubuakkopi.id). Ia memberi masukan kepada saya tentang apa yang nantinya akan ditulis. “Bagusnya kita menceritakan pengalaman lebaran dan puasa di masa pandemi. Ada banyak tradisi kita yang tidak bisa dilaksanakan perihal balimau, tarawiah, dan buko basamo, dll”.

Setelah Bang Albert menjelaskan, hal itu saya sepakati sebagai keresahan juga bagi diri sendiri. Di tahun-tahun sebelumnya kita mengalami hal yang namanya tradisi ini. Jadi, ketidak-optimisan saya tadi tidak hanya tentang Ramadhan, malahan merambat juga pada lebaran kali ini.

Lokasi yang tahun-tahun sebelumnya biasa dijadikan sebagai lokasi pasa pabokuan (pasar takjil) di Lubuk Basung, Agam.

Balimau

Saya adalah anak minang dari Lubuk Basung, Agam yang merantau ke Padang demi pendidikan. Saya banyak bertemu dengan teman-teman berbagai daerah di Minangkabau. Seperti biasa, bagaimana anak muda nongkrong, khusus di tengah pandemi ini kami sama-sama kebingungan tentang nasib Ramadhan. Banyak dari kami yang mengeluh, Ramadhan yang akan datang tidak akan se-asik tahun dulu. Tidak ada yang namanya balimau.

Istilah balimau yang kita sebut ini bukan acara jalan-jalan/mandi-mandi dalam definisi sekarang. Tapi, balimau dalam konteks sebenarnya, dipahami sebagai tradisi keislaman yang berkembang pada masyarakat di Minangkabau.

Balimau adalah upaya membersihkan diri secara zahir dan berharum-haruman sebelum Ramadhan yang penuh kebahagiaan dan keceriaan itu datang. Akan tetapi, jiwa ini sudah terpuruk ke dalam larutan kekecewaan akibat Covid-19. Menghambat kita, tidak hanya balimau, hal kecil dari momen balimau yaitu  seperti bertemu dengan orang-orang kampung dalam satu momen ini. Sehingga, kita tidak sempat pula saling bersalam-salam saling memaafkan sebelum masuk bulan mulia ini.

Pada akhirnya saya dan teman-teman di Padang bergegas untuk pulang kampung. Berpuasa dengan orang tua dan kerabat yang dicintai. Keputusan pemerintah dengan mengalihkan sistem pendidikan kepada daring sudah tepat. Saya bisa menghabiskan banyak waktu bersama keluarga. Tapi, tetap dengan protokol pandemi untuk tidak berkerumun ramai yang artinya kita “di rumah aja”.

Bapuaso

Bapuaso atau berpuasa dengan keluarga di kampung mungkin tidak semua dari kita yang dapat merasakan. Tapi, banyak pula yang masih di rantau dan saya bersyukur berada di keadaan beruntung ini, untuk teman-teman yang di rantau merupakan suatu keteguhan yang tidak saya dapati. Keteguhan menahan rindu itu sulit, tetapi teman-teman juara dalam hal demikian.

Komplek Perumnas Talago Permai, Lubuk Basung, Agam.
Salah satu portal di Komplek Perumnas Talago Permai, Lubuk Basung, Agam.

Kegiatan-kegiatan Ramadhan yang dahulunya meriah, kini terlarang diakibatkan penerapan social distancing. Pasar takjil yang mana tempat untuk orang-orang beburu takjil tidak ada, orang-orang hanya berjualan di tepi jalanan. Berjualannya masih ada, tapi meriah ramainya tidak. Seandainya Covid-19 ini adalah orang mungkin akan saya ikat di batang pohon, begitu kali kekesalan ini padanya.

Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau untuk melakuan rutinitas ibadah cukup di rumah aja. Tarawiah dan kultumnya di masjid tidak ada, begitu pula shalat Jumat. Padahal kita tiba-tiba taat dalam keadaan Ramadhan, walau hanya sekadar ejekan. Tapi, pernah tak kita membayangkan? Malam setiap ramadhan itu selalu meriah didengar dari toa yang selalu bergema hingga pagi. Aktivitas masjid seolah tidak berhenti 24 jam. Anak-anak ramai bertadarus malam dan lepas subuh, pemuda berpawai sahur mengelilingi kampung.

Sekarang aktivitas-aktivitas itu rabun di pandangan kita. Orang-orang malah banyak berdiam diri di rumah demi menjalankan protokol. Memang ada yang nakal dan melanggarnya, masih pergi ke masjid melakukan shalat berjamaah. Terdengar menyalahkan mereka pun tidak, tradisi ini sudah dibangun semenjak dari sananya. Mereka hanya orang-orang yang sudah risih akan keadaan ini, tidak sabar, dan sudah muak dengan protokol. Saya merasa ini adalah keadaan miris, pergi ke masjid tapi secara sembunyi-sembunyi dan toanya juga mati. Dalam keadaan ini sepatutnya kita tidak saling menyalah-nyalahi tapi saling mengingatkan dan menyemangati.

Bahari Rayo

Silaturahmi memanfaatkan tekhnologi berbasis internet.

Gema takbir hari raya dikumandangkan selepas berbuka puasa terakhir di ramadhan. Kumandang takbir dari masjid ternyata bukan dari garin tapi dari kaset takbir almarhum ustadz Jefri Al-bukhori. Walaupun garin, ia tak mungkin bersalawat takbir selama berjam-jam itu. Bagaimana lagi, orang yang menggantikan itu pun tidak ada pula.

Idulfitri terasa hambar, orang-orang enggan pula keluar membeli baju rayo. Anak-anaknya meronta-meronta meminta dibelikan baju, tapi orang tuanya mengedukasi anak dengan bahaya Covid-19. Selama puasa anaknya murung karena selalu diomeli dengan cerita-cerita edukasi itu.

Idulfitri menjadi kelabu, kita tidak bisa bertemu bersalaman lansung dengan sanak famili dan handai tolan semua. Saya takut nanti tangan ini menjadi kaku untuk bersalaman, terdengar khayal dan utopis. Namun, saya akan menyelanya “memang keadaan kita hidup bak sangkar ini terdengar seperti realistis dan wajar?”

Saya lanjut dengan sebuah pertanyaan dari Bang Albert lagi “Apakah kita mendapat pemahaman baru dari “silaturahmi” dilihat dari fenomena sekarang?” Silaturahmi berasal dari kata shilah dalam bahasa arab yang artinya hubungan dan rahmi/rahim artinya kerabat yang artinya secara luas adalah orang-orang yang berhubungan dengan kita baik itu teman, guru, dan terutama keluarga. Rahim sendiri juga berasal dari rahmah yang berarti kasih sayang, sehingga sering disebut dengan berkasih sayang atau menjalin kekerabatan pada istilah silaturahmi.

Menyambung silaturahmi merupakan bagian dari ajaran Islam dan itu imbauan yang tegas dari Rasulullah SAW. Sebagaimana hadist “Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan” (Riwayat Imam Bukhari dan Muslim). Pertanyaan selanjutnya “bagaimana yang dikatakan putus silaturahmi itu?” hakikat silaturahmi adalah menjaga komunikasi. Alternatif yang dihadirkan di zaman sekarang memudahkan kita untuk menjaga itu. Kita masih bisa bertegur sama secara online di jejaring media sosial. Kita bisa bersenda gurau dengan semuanya melalu video call.

Ya, saya masih teguh dengan pemahaman agamis ini. Pemahaman silaturahmi yang menjaga komunikasi walau kita memakai medium berbeda karena tuntunan zaman. Tapi, sudah menjadi tradisi pula bagi kita bahwa pergi barayo ke rumah-rumah orang yang kita cintai (cara silaturahmi lama) tidak dapat tergantikan dengan medium jejaring media sosial. Karenanya, saya memilih silaturahmi online itu sebagai pilihan kedua dan yang pertama tetaplah cara lama. Nah, dengan ini saya mengajak teman-teman semua untuk “ramai sepi” bersama di tengah pandemi.

Lubuk Basung, Mei 2020

Baca artikel/pandangan lainnya terkait situasi Corona Sumbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.