Untuk Pertama Kalinya

Linang tawa saya ketika melihat iklan aplikasi Traveloka, selepas pulang dari shalat Idul Fitri tahun ini. “Seluruh dunia pasti setuju. 2020 dipenuhi kata “pertama” untuk pertama kalinya kita saling menjaga dan untuk pertama kalinya jutaan rencana terus tertunda. Untuk pertama kalinya kita pun tersadar, tak ada kata terlambat untuk jadi lebih baik,”sekiranya iklan tersebut bernarasi seperti itu.

Ya, saya sangat setuju dengan narasi iklan tersebut. Untuk pertama kalinya lebaran tahun ini terasa sangat berbeda, tidak ada mudik lebaran, tidak ada arak-arakan obor di malam takbiran, dan tidak juga ada saya lihat orang-orang membuat lemang, makanan tradisional yang terbuat dari campuran beras ketan dan santan kelapa. Seperti lebaran tahun-tahun sebelumnya.

Apalagi semenjak peraturan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di kampung saya, di Solok Selatan, hampir tak satu pun tradisi atau budaya menyambut lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya lebaran tahun ini kita dianjurkan untuk tidak ke mana-mana. Di rumah saja lebih baik. Agar mata rantai penyebaran virus Covid-19 tidak semakin menjadi-jadi.

***

Shalat Idul Fitri (foto: Dayu, 2020)

Seperti biasa, lebaran tahun ini saya dan sekeluarga masih bisa pergi mengunjungi kediaman keluarga besar yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Meski pun daerah kami masih dalam program PSBB tapi tampaknya tidak menjadi halangan untuk merayakan lebaran tahun ini.

Mengunjungi keluarga pada saat lebaran sepertinya sudah menjadi sebuah tradisi dan budaya yang masih dijaga sampai hari ini. Walaupun di tengah berita penyebaran virus belum kunjung membaik, namun aktivitas silaturahmi pada hari lebaran tahun ini masih berjalan, walaupun tak semeriah tahun kemarin.

Dan meskipun banyak dari saudara saya tahun ini tidak bisa mudik lebaran. Tapi masih bisa silaturahmi online. Ya, seiring berkembangnya teknologi, kami bisa merayakan jarak di tengah pandemi ini.

Sebenarnya untuk saya pribadi lebaran tahun ini ada untung dan tidak untungnya. Tidak untungnya, tahun ini saya tidak dapat lebaran bersama keluarga besar, dan untungnya saya tidak ditodong banyak pertanyaan. “Mau kerja apa? Di mana? Dan lebaran tahun ini rencananya mau ke mana?”

Bicara tentang rencana setelah lebaran. Ada satu budaya kebiasaan yang menarik untuk saya. Merantau seusai lebaran Idul Fitri. Entah sejak kapan kebiasaan merantau setelah lebaran ini dimulai, tapi yang jelas tradisi merantau setelah lebaran ini tidaklah asing lagi di telinga.

“Setelah lebaran tahun ini mau merantau ke mana?”

“Rencananya setelah lebaran tahun ini saya mau pergi merantau…”

Nah, narasi-narasi seperti di atas sering saya jumpai saat di hari lebaran. Dan yang jadi lebih menariknya lagi, entah kenapa lebaran menjadi momentum atau ihwal orang-orang pergi merantau, dan entah sejak kapan kebiasaan atau budaya merantau setelah lebaran ini mulai.

***

Lebaran (foto: Dayu, 2020)

Di Minangkabau budaya merantau ini sudah dilakukan sejak berabad-abad silam. Suku Minangkabau yang terkenal dengan suku yang berbudaya, memiliki kecepatan dalam beradaptasi dengan suku dan wilayah lainnya, dan cakap dalam berkomunikasi. Hal ini yang akhirnya menjadikan suku Minangkabau banyak yang melakukan kegiatan merantau, bahkan merantau telah dijadikan budaya untuk dilakukan secara terus menerus dari waktu ke waktu.

Dan agaknya budaya merantau di Minangkabau ini dipengaruhi oleh salah satu pantun Minang yang berbunyi:

“Karatau madang di hulu, babuah babungo balun. Marantau Bujang dahulu, di rumah baguno balun.”

Karatau mada di hulu, jangankan berbuah berbunga pun belum. Merantaulah bujang dahulu, hingga menjadi berguna di rumah/di kampung.

***

Namun entah bagaimana dengan lebaran tahun ini. Semenjak penyebaran virus Covid-19 ini kian menjadi-jadi beberapa daerah di Indonesia, mulai memberlakukan pemeriksaan dan pembatasan orang-orang baru yang masuk ke daerahnya.

Pulau Jawa salah satunya, daerah yang menjadi sentral sekaligus daerah yang paling banyak terjadi aktivitas keluar masuk orang-orang ini, mulai memberlakukan beberapa aturan baru. Seperti tidak boleh masuknya orang-orang baru dan tidak boleh keluarnya orang-orang yang sudah berada lama di sana.

Padahal daerah pulau Jawa dan sekitarnya merupakan daerah dengan volume kedatangan perantau paling tinggi di Indonesia setiap tahunya. Bahkan hampir semua elemen dari berbagai daerah di Indonesia yang memilih daerah Jawa untuk mengadu peruntungannya.

Apalagi daerah pulau Jawa yang menjadi salah satu daerah favorit perantau dari berbagai belahan daerah di Indonesia. Bahkan biasanya selepas lebaran volume perantau yang mendatangi pulau Jawa semakin meningkat tiap tahunya.

Namun tidak semua perantau yang datang ke sana menemukan nasib baik. Malah lebih banyak menemukan kebuntuan. Ya, datang tanpa memiliki kompetensi atau bekal yang cukup, membuat banyak dari perantau yang datang akhirnya terkatung-katung. Dan yang lebih mengerikannya lagi harus terlibat kriminal dan dunia hitam untuk terus bisa bertahan hidup.

***

(foto: Dayu, 2020)

Setelah saya pikir-pikir, saya ingat pula sebuah pepatah yang pernah diplesetkan oleh salah satu teman saya. “Marantau anjiang dahulu, di kampung baburu balun,” (merantau anjing dahulu, di kampung belum pernah berburu) agaknya pepatah yang diplesetkan itu mencoba memberi perumpamaan untuk seseorang perantau yang datang tanpa bekal dan kompetensi diri.

Dan karena itu akhirnya saya berpikir dua kali untuk berencana pergi merantau setelah lebaran tahun ini. Dan yang lebih untungnya lagi, karena wabah virus ini saya bisa kembali belajar mengenali diri dan mengukur batas kemampuan untuk bisa beradaptasi, jika suatu saat nanti memutuskan untuk merantau.

Mei 2020

Baca artikel lainnya terkait situasi Corona Sumbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.