LASUANG KAMBA DAN JAUH YANG DEKAT (BAGIAN II)

Sebelumnya terjadi perdebatan panas di parlemen Belanda dari tahun 1877-1887 tentang pemilihan jalur yang akan dibangun, masalah uang yang akan dikeluarkan, dan rencana pembuatan rel di Sumatera Barat akan menghubungkan pantai barat atau timur. Rencana ini menjadi perdebatan lagi dengan berbagai alasan.

Pertama, segi pengangkutan, lebih mudah ke daerah pantai timur karena kondisi daerah yang datar dan ditunjang dengan aliran sungai yang deras serta langsung menuju Selat Malaka sebagai pusat perdagangan dan bandar internasional. Kedua, suasana politik di pantai barat Sumatera sudah kokoh dan kuat di bawah kekuasaan Belanda. Sedangkan daerah timur Sumatera mengalami kesulitan politis karena masih banyak daerah daerah yang merdeka.

Ketiga, susasana konflik persaingan dagang dan perebutan dominasi pantai timur Sumatera, antara Inggris dan Belanda sejak perjanjian London tahun 1824. Situasi ini terus memanas sampai tahun 1883. Berabagai pertimbangan dan alasan tersebut maka  diputuskan untuk menunda pembuatan jalur kereta api ke pantai timur Sumatra sampai Belanda mengusai pulau Sumatra secara keseluruhan (Penerapan Teknologi Rel Kereta Api di Sumatera Barat, Aulia Rahman, 2017).

Akhirnya diputuskan untuk memilih pilihan kedua, yakni jalur barat. Biaya yang dikeluarkan tidak melebihi ketetapan pemerintah Hindia Belanda. Sehingga total keseluruhan dari Biaya pembangunan kereta api dan pengoperasian fasilitas tambang 5,7 Gulden, laba yang diperdiksi mencapai 9%.

Sesuai hasil kesepakatan antara pemerintah Hindia Belanda dan pihak swasta yang ada di Negeri Belanda, pembangunan jalur kereta api dari Sawahlunto ke Solok sampai Padang Panjang melewati Danau Singkarak, Padang Panjang-Lembah Anai-Kayu Tanam atau di atas Jalan Pedati yang dibangun oleh Van Den Bosch ke Pariaman lalu diteruskan ke  Padang. Pengerjaan ini baru selesai pada tahun 1891. (Aulia Rahman, 2017.Hlm 191-192)

Stasiun kerata api Solok dapat kita jumpai sampai sekarang di sebelah terminal Pasar Raya Solok, Kampuang Jawa, Kecamatan Tanjung Harapan, Kota Solok. Keberadaan transportasi ini sudah barang pasti membuat akses masyarakat bisa lebih mantap. Stasuin Solok difungsikan sebagai pelayanan penumpang, persilangan dan persusulan antara kereta api batubara dari pertambangan batu bara Ombilin di Sawahlunto yang hendak menuju Pelabuhan Teluk Bayur.  Stasiun sudah aktif kembali sejak awal tahun 2003. Selain itu, lebih dahulu lagi pada zaman kolonial, stasiun Solok juga difungsikan untuk menyimpan hasil bumi. Kereta api terakir yang melewati stasiun ini adalah kereta api wisata Danau Singkarak, yang sudah non-aktif secara reguler sejak 2014. Perjalanannya berhenti di stasiun ini. (wikipedia, diakses tanggal 13 Oktober 2019)

Stasiun di Kota Solok memiliki ukuran panjang 54,4 meter dengan lebar 10 meter. Beberapa indikator yang dapat diamati bahwa bangunan ini berasal dari masa Kolonial adalah berupa pintu dan jendela dengan ukuran yang besar. Bangunan stasiun Solok terdiri dari beberapa ruangan yang berfungsi sebagai pelayanan stasiun, seperti loket penjualan tiket. Selain ruangan tersebut, terdapat ruangan terbuka dengan hanya memiliki atap serta ditopang dengan tiang-tiang yang terbuat dari kayu. Ruangan terbuka ini berfungsi sebagai ruangan tunggu bagi para penumpang kereta api.

Di jalur kereta api masih ditemukan beberapa peralatan lama yang digunakan sebagai pemindah jalur. Terdapat empat buah alat yang berfungsi sebagai pemindahan jalur kereta api. Pada alat tersebut terdapat tulisan “Frans Smulders Utrecht” yang besar kemungkinan tulisan ini adalah nama dari produsen yang memproduksi alat pemindahan jalur kereta api tersebut. Sedangkan pada rel terdapat beberapa tulisan seperti DK 1914 JSST yang diduga tulisan angka tersebut  menunjukan angka tahun pembuatan dari rel tersebut dapat diindikasikan sebagai pabrik pembuatanya masih belum dapat dipastikan.

Solok sebagai Kotamadya dengan dikeluarkannya peraturan Mentri Dalam Negri Nomor 8 tahun 1970, diresmikan pada 16 Desember 1970 dan Drs. Hasan Basri sebagai kepala daerah pertama, dengan surat keputusan Mentri Dalam Negri Nomor Pemda 7/9 – 10-313 tanggal 23 November 1970. Di Kota Solok terdapat sebuah pasar yang aktif setiap hari, yang menampung hasil bumi Kota 13, di samping masing-masing nagari mempunyai balai (pasar mingguan). Pasar Kemaraian dulu orang menyebutnya, Pasar Raya Solok kita sebut sekarang.

Sebenarnya Pasar Raya Solok dulunya juga sama dengan pasar-pasar mingguan yang ada hampir setiap nagari di Kota 13, yang mempunyai hari balai atau hari pasar itu aktif. Sampai hari ini pasar Solok hari balainya adalah hari Jumat. Bedanya yang saya lihat hari balai dengan hari biasa adalah dari Jumlah pedagang terutama pedagang sayuran, bawang, kentang, cabai, yang datang dari Alahan Panjang. Sayuran-sayuran ini didatangkan dari kebun dan jual langsung oleh pemilik kebun. Tentu saja harganya lebih murah dari harga biasa. Masyarakat sekitar Kota 13 memanfaatkan hal itu terutama yang mempunyai warung-warung eceran di rumah dan menjual lagi pada warga sekitar. Selain pedagang juga berbagai media angkut dan jasa angkut barang juga hadir memeriahkan pasar ini, seperti becak, becak motor bermesin Vespa, yang hari ini juga semakin berkurang. Ada juga bendi yang hampir hanya tersisa kurang dari 10, yang masih ada itu pun jarang keliaatan semua.

Pasar Solok yang berada di Jalur Lintas Sumatra menjadikannya sangat strategis dan cukup sibuk. Dengan adanya terminal, yang menyediakan angkutan ke berbagai tujuan nagari di Kota 13 dan sekitarnya. Adapun jurusan yang tersedia Solok-Cupak-Talang, Solok-Sumani-Saniangbaka, Solok- Paninggahan, Solok-Sulit Air, Solok-Payo, Solok-Koto Hilalang, Solok-Gantuang Ciri, Solok-Koto Baru, Solok-Singkarak, Solok-Tembok-Kacang.

Menurut petugas Dinas Perhubungan yang bertugas  di pintu masuk terminal, tempat angkutan biasa memberikan sejumlah uang setiap kali memasuki terminal, begitu selalu saya lihat ketika naik angkutan menuju pasar. Setelah saya bertanya bagaimana keadaan angkutan di terminal sekarang? dengan sedikit menarik nafas uda itu menerangkan, keadaaan angkutan, ya, seperti yang adek lihat, makin lama makin berkurang tidak ada trayek yang bertambah. Malah ada beberapa trayek yang tidak beroperasi lagi, seperti Solok-Gantung Ciri, Solok-Koto Hilalang, Solok-Payo.

Kira-kira tahun 2011 akhir, kala itu mulai menjamurnya pangkalan ojek, di setiap simpang gang, yang tidak ada ijin beroperasi. Membuat angkutan umum kewalahan sampai untuk beliminyak saja tidak cukup. Tapi kita tidak bisa menyalahkan para tukang ojek, masyarakat tentu memilih menggunakan ojek. Karena, bisa kita lihat sendiri, ojek menjanjikan sesesuatu yang lebih dari pada angkutan umum. Misalnya, bisa langsung di antar ke alamat, tidak perlu menunggu berjam-jam di terminal, dan lain-lain.Tidak sampai di sana, target penumpang bagi angkutan umum selain masarakat umum adalah anak sekolah. Sebelum ojek hadir beberapa angkutan di Solokmenjadi primadona, bahkan ada yang ingin sekedar raun bersama supirnya. Setelah motor bisa dikredit, yang biasanya raun dengan angkutan, sekarang sudah pergi ke sekolah menggunakan motor.

Teman saya di Gantung Ciri juga begitu, semenjak ia tamat SD lalu ketika sekolah di SMP 1 Kota Solok, pertimbangan dari pada membayar ongkos angkot, lebih baik uangnya ditabung untuk membayar angsuran motor kata bapaknya. Anaknya tamat, kredit motor juga lunas, begitu perkiraannya. Selain itu, motor juga bisa digunakan untuk keperluan lain dirumah. Begitulah kira kira dilema angkutan umum di daerah Solok.

Hari ini di Solok, dari kampung ke kampung pada jam-jam malam terasa sangat jauh sekali bagi yang tidak punya kendaraan motor. Angkot-angkot semakin sepi. Ojek-ojek menaikan tarifnya. Ongkos antar kampung hampir sama dengan orangkos bus Solok-Padang. Dengar-dengar teman-teman muda lebih senang di Kota Padang. Fasilitas dan wahana lebih lengkap, kotanya aktif hingga larut malam. Transportasi sangat lancar. Pulang ke Solok bisa dilakukan kapan saja, biasanya di akhir pekan, sekedar bertemu orang tua atau hal penting lainnya.*


* Sambungan LASUANG KAMBA DAN JAUH YANG DEKAT (BAGIAN I) Artikel ini sebelumnya telah dipublikasi di Buku Kurun Niaga: Kala Negeri Dikelola Pemodal, diterbitkan oleh Gubuak Kopi – Art and Media Studies (2019)

Biki Wabihamdika (Tanggerang, 1996). Biasa disapa Biki menetap di Gantuang Ciri, Solok. Ia adalah lulusan ISI Padangpanjang dengan studi Seni Karawitan. Selain proyek-proyek musik, ia juga sibuk berkegiatan bersama Gubuak Kopi. Sebelumnya, Biki juga aktif di beberapa kelompok musik seperti Ethnic Percussion Padangpanjang, Bangkang Baraka, dan Autotune Production. Selain itu ia juga pernah terlibat di ruang diskusi dwi-mingguan Otarabumalam. Ia juga merupakan kolaborator proyek seni Kurun Niaga (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.