Tafsir Pinggiran Masyarakat Equator

Pinggiran, atau sesuatu yang kerap diabaikan. Mungkin oleh siapa saja. Kali ini Biennale Jogja XV/2019 mengangkat isu “pinggiran” dalam pameran besarnya dengan tagline Do We Live in The Same Playground? Menarik menyimak bagaimana para seniman pilihan Biennale Jogja tahun ini memahami dan merespon tema tesebut.

Selasa, 19 November 2019 saya bersama beberapa teman dari Solok, mengunjungi Biennale Jogja. Teman-teman terdiri dari perwakilan beberapa komunitas dan Dinas Pariwisata Kota Solok. Semacam studi banding barang kali, memperlajari beberapa hal, memhami konteksnya, dan melihat bagaimana kemungkinan ia bisa diadopsi, ataupun memantik ide-ide baru. Selain itu tentu bagi kita  di Komunitas Gubuak Kopi perjalanan ini penting untuk mengupdate perkembangan skena seni rupa di Indonesia.

Perjalanan ini sejalah dengan rencana besar teman-teman komunitas di Solok dan pemangku kebijakan, tentang bagaimana sebuah ivent besar untuk sebuah kota digarap secara gotong royong oleh komunitas/yayasan dan pemerintah.

Sita Magfira, co-kurator, saat memandu teman-teman dari Kota Solok.

Biennale Jogja adalah perhelatan seni kontemporer dwi tahunan, berskala internasional yang diselenggarakan Yayasan Biennale Yogyakarta dan didukung oleh sejumlah pihak penyalur dana, komunitas, dan juga pemerintah daerah. Pertama kali diadakan pada tahun 1988. Mulai tahun 2011, Yayasan Biennale Yogyakarta meluncurkan proyek Biennale Jogja seri Ekuator (Biennale Jogja Equator) yang berfokus pada kawasan ekuator. Dan mengasumsikan ekuator sebagai perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas “kemapanan” ataupun konvensi atas event sejenis. Ekuator adalah titik berangkat dan common platform untuk “membaca kembali” dunia, demikian disampaikan Sita Magfira selaku Co-kurator, saat memandu kami memasuki ruang pameran pada 20 November 2019 lalu.

Di pameran Biennale Jogja kita akan menyaksikan sejumlah karya rupa dari berbagai seniman. Selain itu juga terdapat program residensi yang diikuti oleh seniman Indonesia dan luar negeri ke sejumlah titik di Indonesia, program ini disebut dengan Residensi Kelana. Dengan waktu dan lokasi tertentu. Juga beberapa seniman yang memamerkan ulang karya sebelumnya. Pameran juga dilaksanakan di sejumlah lokasi yang terpisah, tidak di satu gedung saja. Seperti yang sempat kami kunjungi, Jogja National Museum, Taman Budaya Yogyakarta, dan Pasar Ketandan.

Menyangkut kata “Ekuator” atau yang lebih kita kenal dengan garis imajiner yang membagi bumi menjadi dua bagian, yaitu belahan utara dan belahan selatan.  Di lain kesempatan, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika, pada saat memandu “Tur Teminisme” pada 22 November 2019 menjelaskan pertimbangan kenapa memilih ekuator.

Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Jogja, saat memandu “Tur Feminis” (22/11/19)

“Bahwa dalam konteks politik identitas, kita ingin memperjuangkan negara “selatan-selatan”, dan kalo kita membicarakan nasionalisme, pada zaman dahulu semua orang di Indonesia bangga jika bisa berpameran di tempat atau negara yang menjadi “pusat”. Seperti New York, London, Paris, Berlin dan seolah-olah pusat dunia tersebut ada di Amerika atau di Eropa”.

Dalam penjelasannya Alia menambahakan,

“kita melihat kembali sejarah, dan untuk itu kita menginginkan Biennale Jogja menjadi event internasional. Tetapi kita nggak pengen melihat ruang-ruang itu menjadi terpusat, karena kita ingin melihat konteks sejarah seni yang lebih setara. Bahwa tidak berarti jika kita membuat suatu event internasional harus mengikuti pola mereka”.

Alia Swastika mengatakan bahwa membuat Biennale Jogja menjadi event internasional juga  terinspirasi  Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955. Yang mana kebanyakan dari negara tersebut baru saja memperoleh kemerdekaan. Pada saat itu Soekarno mengumpulkan pemimpin-pemimpin dari negara Asia-Afrika untuk mengkomfrontasi kedua kutub yang pada saat itu sangat kuat, yaitu Kutub Amerika, Kutub Liberalis, dan Kutub Sosialisme di Rusia. Maka soekarno menginisiasi KAA untuk menghubungkan negara-negara yang baru merdeka.

Gagasan itu menurutnya sangat kontekstual pada saat ini untuk melihat lagi proses politik dunia. Dari konferensi tersebut Alia mengatakan kenapa kita tidak bisa menjadi pusat kesenian juga di negara-negara kawasan selatan. Kerjasama ini sudah pernah dilakukan seperti India pada tahun 2011, Arab, Mesir dan Emirat pada tahun 2013, Nigeria pada tahun 2015 dan pada tahun 2017 dengan Brazil.

Diskusi antar tiga Kurator Biennale Jogaja XV Akiq AW, Arham Rahman dari Indonesia, serta Ponwadeee Nophaket Manont dari Thailand.  Memilih tajuk “DO WE LIVE IN  THE SAME PLAYGROUND?” untuk merangkum pembacaan  Yayasan Biennale Yogyakarta dan seniman-seniman yang terlibat di dalam perhelatan Biennale Jogja Equator 5. Atas segelitir persoalan “pinggiran yang berlangsung di awasan Asia Tenggara, terutama yang menyangkut dengan masalah Identitas (gender, ras, dan agama) narasi kecil, konflik sosial politik, perburuhan, lingkungan atau yang lebih spesifik praktik kesenian. (Lihat juga: Guide Book Biennale Jogja XV/2019. Do We Live The Same Playground? Hlm 12)

Plastilicum, Made Bayak di Biennale Jogja 2019

Pinggiran, ya mungkin sesuatu yang kita belum pentingkan. Plastiliticum (Celebrating Homo Ludens Foot Print/Merayakan jejak Homoludens) adalah karya seniman Biennale pertama yang saya lihat di Gedung Jogja Nasional Museum pada 20 November 2019 lalu. Sebuah Monumen ataupun Piramida yang terbuat dari kumpulan sampah plastik berdiri gagah di pelataran gedung. Tingginya sekitar 6 meter, di depannya memiliki dua buah box kaca berisikan plastik yang dipotong halus. Seperti halnya gerbang, juga  ruang untuk melihat lebih ke dalam lagi bangunan plastik ini. Piramida ini adalah karya dari Made Bayak, seorang seniman lulusan Institute Seni Indonesia Denpasar, Bali. Ia menyuguhkan konsep satir piramida dari sampah plastik itu sebagai jejak dan peninggalan manusia hari ini. Saya kira untuk menemukan sejumlah sampah plastik setinggi 6 meter tidak memerlukan waktu yang lama. Waktu yang berbeda jika kita ingin melenyapkannya.

Sampah menjadi persoalan yang rumit. Kontras dengan sistem kepercayaan masyarakat sekitar terhadap laut. Yang mana laut adalah tempat masyarakat Pambusuang mencari reski. Dan percaya pada berbagai jenis mitos mengenai laut sesuatu yang tidak mudah mereka taklukkan. Akan tetapi mereka juga gemar membuang sampah ke laut. “Mengandung Plastik” adalah sebuah karya instalasi dari Muhammad Ridwan Alimuddin berkolaborasi dengan kolektif TacTic Plastik dari Yogyakrta yang merespon fenomena ini ke bentuk instalasi. Terdapat beberapa potong ikan kering yang digantung dengan tali plastik.

Masih seputar plastik, di tempat yang berbeda di Taman Budaya Yogyakarta, seniman Biennale lainnya Popok Tri Wahyudi, menyuguhkan bermacam gambar sulaman dan jahitan dari tali plastik atau tali rafia di lembaran tikar plastik.  Melaului sulaman plastik tersebut Popok membicarakan tentang keterhubungan antara wilayah-wilayah Asia Tenggara yang ada di garis khatulistiwa. Juga berpijak pada falsafah jawa “sedulur papat limo pancer”, yang kurang lebih berarti empat bersaudara menjadi lima sebagai pusatnya. Dalam kepercayaan Jawa, setiap manusia memiliki empat saudara spiritual, dan limo pancer menggambarkan manusia sebagai pusat atau pengontrol.

20 November 2019, Sore itu di Jogja Nasional Museum, saya bersama rombongan dari Solok mengikuti diskusi seputar karya di pameran bersama seniman yang terlibat di Biennale Jogja 2019. Nerisa Del Carmen Guevara asal Filipina adalah seniman yang melakukan residensi di Pambusuang. Ia memberi tema sesi artist talk itu “Tubuh dan Hantu Laut”. Sesuai judul Nerisa menceritakan pengalamannya dalam mendalami Laut Pambusuang. Bahwa kepercayaan masyarakat setempat pada penghuni laut berbanding terbalik dengan perlakuan kita pada laut.

Nerisa merasakan hal yang berbeda ketika kata “hati-hati” diiklankan di sekitaran Pambusuang mengenai situasi laut. Anggapannya pada kata “hati-hati” adalah seperti larangan dan sambutan. Juga perhatiannya pada sebuah tanggul yang membatasi Laut dengan pemukiman. Bahwa jika  biasanya masyarakat yang rata-rata memiliki mata pencaharian di laut, kemudian dibatasi dengan adanya tanggul tersebut. Keterbatasannya adalah, susahnya kapal yang berukuran besar melewati tanggul.

Karya Nerisa Del Carmen Guevara, Biennale Jogja, 2019.
Suasana Artist Talk “Tubuh dan Hantu Laut” bersama Nerisa Del Carmen Guevara
Foto bersama setelah artist talk “Tubuh dan Hantu Laut”

“alih-alih  ngomongin reklamasi, jangankan reklamasi, tanggul aja udah bikin banyak persoalan” Kata Arham Rahman, ketika menjelaskan karya Nerisa dalam bahasa Indonesia, sekaligus memoderatori diskusi.

Percaya tidak percaya mitos atau hal mistik seperti marahnya hantu laut ketika masyarakat mengotorinya dengan sampah adalah usaha untuk menjaga kebersihan laut sebagai sumber mata pencaharian.

Suatu pembahasan menarik ketika para pelaut menggunakan teknologi alam, seperti melihat cahaya bulan untuk melaut. Memang sebetulnya banyak hal yang berbaur teknologi alami yang digunakan masyarakat Indonesia pada umumnya saat melakukan keseharian terkhusus pada saat bekerja. Namun keterbatasan tetap saja ada. Pemamfaatan angin laut dan angin darat adalah sebuah teknologi yang banyak digunakan pelaut sebelum ditemukannya mesin untuk kapal.

Selain isu plastik, di Jogja Nasional Museum terdapat banyak karya yang merespon isu feminis dan kekerasan pada perempuan. Hal ini diterangkan Alia dalam “Tur Feminis”. Karya pertama yang dikenalkannya adalah karya instalasi dari seorang perempuan asal Jakarta Hildawati Soemantri. Hildawati disebut sebagai generasi pertama seniman Indonesia yang membicarakan kerajinan (craft) secara sejajar dengan seni rupa. Ia berusaha sejak awal melepaskan gagasan keramik sebagai kerajinan tangan, yang menurutnya keramik juga sebuah karya seni. Kemudian ia menciptakan instalasi keramik pertama kalinya.  Yang mana pada saat itu keramik dikenal sebagai pajangan biasa, namun wildawati mengalihkannya menjadi instalasi seni. Hildawati sudah meninggal pada tahun 2002.

Replika karya Hildawati (1978), Biennale Jogja, 2019.

Karya tanpa judul ini dibuat pada tahun 1978, adalah berupa 15 buah bola dari keramik dengan glasir, yang dengan sengaja dipecahkannya saat itu. Namun bukanlah karya asli dari Hildawati yang dihadirkan saat itu. Melainkan reproduksi karyanya oleh Purnomo Clay pada tahun 2019. Replika ini bersumber dari arsip foto Hildawati yang disimpan keluarganya. 

Alia menjelaskan mengapa karya Hildawati dihadirkan Biennale Jogaja 2019. Dalam konteks isu pinggiran, pertama, keramik yang sering dianggap sebagai pinggiran dalam karya seni rupa Indonesia atau medium yang tidak terlalu penting. Dan yang kedua adalah menghadirkan kembali sosok Hildawati sebagai tokoh penting sejarah seni rupa di Indonesia, seperti halnya memunculkan kembali tokoh-tokoh perempuan.

Kemudian, Tanggalan Mani karya perupa muda Yosep Arizal, yang memiliki perspektif menarik dalam mendekati naskah kuno.  Jika naskah kuno tersebut membicarakan seksualitas dari perspektif laki-laki. Sebaliknya Yosep memvisualkan seksualitas dari sudut pandang perempuan terhadap laki-laki. Dalam karyanya, ia menggambarkan bagaimana seorang permpuan bisa memuaskan seorang laki-laki. Dia melukis di atas kulit yang kemudian di pajang di dinding. Juga naskah miliknya yang ditaruh dalam boks kaca yang berada di tengah-tengah bilik pamerannya.

Karya Tanggalan Mani, Yosep Arizal, Biennale Jogja, 2019

Berangkat dari sebuah kitab primbon jawa yang ditulis dalam huruf pegon. Beberapa bagian dari kitab tersebut serupa dengan serat Centhini, yang menghimpun pengetahuan  seksualitas Jawa. Di dalam kitab tersebut terdapat sistim penanggalan 15 hari, yang bercerita tentang 15 bagian badan wanita yang perlu disentuh pada saat sebelum bercinta. (Guide Book Biennale Jogja XV/2019. Do We Live The Same Playground?. Hlm 76)

Proyek kata untuk perempuan, karya Ika Vantiani. Adalah sebuah proyek kolase yang mewakili perempuan dari kata-kata. Proyek ini diawali dengan sebuah lokakarya kolase yang dilakukan oleh Ika pada Oktober 2015, dimana peserta workshop diminta untuk menjawab pertanyaan “apa satu kata yang artinya perempuan untukmu?”.  Karena sebagai perempuan Ika menyadari banyak kata di luar sana yang mengambarkan seorang perempuan. Tetapi sedikit sekali yang ia rasa mewakili deskripsi perempuan. Di saat pameran berlangsung, potongan-potongan kertas disediakan untuk kemudian dirancang sendiri oleh pengunjung pameran.

Kekerasan pada aktivis perempuan direspon oleh Pisitakun Kuantalaeng asal Thailand. Dalam masa Chao Anouvong ketika Raja Rama III masih bertahta, musik Lao Pan banyak mengangkat tentang perjuangan dan situasi politik pada masa itu yang banyak dinyanyikan oleh tawanan perang Laos yang dibawa ke Thailand. Sekarang ini versi modern Lao Pan telah disunting dan dinyanyikan lagi oleh Bank – seorang tawanan yang dipenjara karena pelanggaran atas pasal 112.

Karya Pisitakun Kuantalaeng, Biennale Jogja, 2019

Perjuangan ini ia munculkan kembali pada Biennale Jogja 2019 yang mana ia membuat komik dari coretan arang. Komik tersebut adalah kumpulan foto-foto yang didapatinya mengenai isu kekerasan pada aktivis perempuan di negaranya. Dalam komiknya ia menyisakan warna putih pada tokoh perempuan di dalam foto, ya seperti menyensor wajah aktivis tersebut. Selain komik, ia juga menghadirkan nyanyian dan sejumlah lampu berwarna kelap-kelip yang tak jarang membuat pengunjung merasakan pusing jika berada terlalu lama di dalamnya. Ini adalah bentuk perlawanan ala Pisitakun.

Pinggiran tidak melulu tentang yang tidak kita pentingkan atau yang terabaikan. Sesekali pinggiran menjadi batas. Dimana ketika kita berada di kejauhan pusat. Maka pinggiran menjadi batas  untuk tidak terlalu fokus pada persoalan sebelumnya. Namun bukan berarti memberi batasan pada pinggiran, jika batas diberikan begitu jelas maka di saat itulah pinggiran menjadi hal yang terabaikan.

Feminis dan plastik adalah persoalan tanpa batas jika dikaji lebih jauh, lagi dan selalu mengkaji. Memang   banyak isu sampah dan feminis yang mengudara, dan masih diawang-awang. Alasan yang saya dapati adalah, satu, jika tidak menjadi besar atau tidak sama sekali. Tentunya sampah tidak akan selesai dengan sepotong papan iklan saja. Ini hanyalah tentang kesadaran. Tentang sebuah perjuangan yang dikenal dengan feminisme. Apa bedanya seorang atau sekelompok laki-laki, anak-anak, dan perempuan bahkan kaum lansia sekalipun mendapati kasus kekerasan. Kita sadar bahwa semuanya bukanlah tentang pada siapa kekerasan itu dilakukan, melainkan pada perlakuan kekerasan tersebut terjadi. Dan pada akhirnya kita bergerak melawannya. Tentu bukan pada suatu golongan saja.

Karya Citra Sasmita, Biennale Jogja, 2019.

Menyinggung persoalan sampah plastik, yang seringkali dikampanyekan pada beberapa kesempatan. Bahwa kita menggunakan objek yang bermasalah teresebut untuk menyuarakannya. Menggunakan kumpulan sampah plastik, menjadikanya hidup kembali dari beberapa saat mati tak berguna dikumpulan lalat-lalat. Maka, sayang sekali jika ia mesti kembali bertemu dengan lalat masa lalunya. Atau akan lebih baik ia tidak bertemu lagi dengan gerombolan lalat.   

Membicarakan politik identitas memanglah rumit dan sensitif sekali. Terutama bagi mereka yang bergerak dan berjuang atas itu. Namun seringkali pergerakan dan perlawanan tersebut disalahartikan, mungkin saja saya contohnya. Dalam tulisan ini mungkin saja beberapa diantara kita tidak menyetujuinya. Namun, inilah opini saya. Ya, semuanya yang hidup mestinya tidak terpinggirkan sekalipun kejahatan itu sendiri. Tetap saja menjadi perhatian di sekelilingnya.

Selain persoalan plastik dan feminis, tema “pinggiran” direspon agak berdeda oleh seorang seniman asal Jogja, Dian Suci Rahmawati, yang mengajak kita melihat bagaimana seorang buruh bekerja di pabrik yang membosankan. Pekerjaan yang terus berulang di setiap kali bekerja  mencoba melakukan pekerjaan yang sama di rumahnya. Yang mana ia mencetak dalam jumlah banyak. Juga seorang seniman dalam karyanya berbentuk foto, video dan instalasi, yang mana dalam karyanya dia melakukan performance di tengah sawah. Sesuai dengan penjelasan Alia, untuk menjadikan Biennale Jogja sebagai pameran internasional namun tidak terpusat.

Karya Dian Suci Rahmawati, Biennale Jogja, 2019

Di sisi lain saya mendengar seorang kawan bercerita di kota yang “nyaman” ini. Bahwa suatu ketika seorang bapak tua memilih hidup asing di kota yang membesarkannya lantas banyak pendatang yang mencari juga penghidupan di sini. Hal seperti ini juga saya lihat di ruang pameran di Gedung Jogja Nasional Museum. Karya Yosefa Aulia, Ruangan yang semakin menyempit membuat sesuatu menjadi disfungsi. Di dalam karyanya ia memperlihatkan sejumlah buku yang menjadi pengganjal kaki kursi, tempat pencuci piring yang diperlakukan seperti pot bunga dan benda-benda yang tak wajar di ruang tamu.

Bahwa di ruang-ruang hidup yang sumpek atau padat membuat individu-individu yang ada di dalamnya terjebak dalam situasi “marjinal”. Individu-individu tersebut menemui keterbatasan akses, pilihan dan bagi dirinya. Dengan begitu, bagi Yosefa, rumah kerap kehilangan otoritasnya sebagai ruang inkubasi bagi individu yang tinggal  di dalamnya dan dapat menimbulkan bias akan konsepsi batas, fungsi dan nilai. Seperti yang dituliskan akun instagram @biennalejogja, dalam karyanya tentang ruang ketiga ini, ia ingin mengahadirkan rekontruksi dari kondisi tersebut dalam bentuk instalasi yang menyerupai ruang di dalam rumah, dimana kepadatan dan keterbatasan ruang dihadirkan dalam bentuk timbunan objek yang mengisi celah-celah dari barang-barang keseharian. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.