Garak dan Garik di Limbago Budi

Hari ini, Rabu, 24 Oktober 2018, sebenarnya  cukup enak untuk bermalas-malasan karena cuaca lebih didominasi hujan dari pada panas. Sekitar jam 2 kurang lebih Arum Dayu salah seorang partisipan Lapuak Lapuak Dikajangi #2 (LLD #2) datang dari Padang ke Solok setelah sehari sebelumnya datang dari Bandung ke Padang.

Saya dengan 3 orang partisipan LLD #2 kembali berkunjung ke sasaran silek Limbago Budi di Gedung Olah Raga (GOR) Batu Batupang Kota Solok. Sore itu, setelah ashar saya bersama tiga orang partisipan LLD #2, yakni Prasasti Wilujeng Putri (Jakarta) yang biasa saya sapa Kak Asti, Dewi Safrila Darmayanti (Pekanbaru) yang bisa saya sapa Kak Dewi, dan Arum Dayu (Bandung) atau bisa di sapa Mbak Aum, namanya ada sedikit ada kemiripan dengan saya, Dayu.

Kami pun mulai bergerak meninggalkan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), yang menjadi pusat kegiatan LLD #2, menuju sasaran silek Limbago Budi, dengan diantar secara berganti oleh salah seorang teman ke terminal Angkutan Kota (angkot) di pasar Kota Solok. Kami menaiki angkot berwarna putih jurusan Pasar Raya Solok-Koto Baru. Dengan waktu tempuh kurang lebih sepuluh menit.

Jam empat kurang sepuluh menit, kami pun sampai di Koto Baru. Angkotpun berhenti tepat di depan gerbang GOR Batu Batupang, dan kami harus berjalan kaki untuk menuju sasaran silek Limbago Budi. Dari gerbang GOR menuju sasaran trek-nya lumayan mendaki.

Ini mah udah pemanasan” kata Asti sambil tertawa, saya dan partisipan lainya ikut tertawa. Ketika kami hampir sampai di sasaran kami malah bertemu sepasang remaja yang sedang pacaran.

Wah kayaknya kita ganggu orang pacaran nih,” kata salah seorang partisipan.

Ternyata Da Zal, pelatih silek di Limbago Budi telah menunggu kami di sasaran. Sebelum memulai berlatih silek, saya dan partisipan pun ikut membersihkan sasaran, menyapu ruangan, dan memasang matras sebelum berlatih.

“Lai ado nan mambawok baju ganti” (apakah ada yang membawa baju ganti) tanya Da Zal. Karena partisipan tidak tahu harus memakai baju yang agak longgar untuk latihan silek, akhirnya Da Zal meminjamkan endong untuk latihan. Endong merupakan celana khusus yang dipakai untuk bersilat, agak longgar dan memiliki pisak hingga ke lutut, hampir mirip dengan galembong, celana yang dipakai untuk bermain randai, pisaknya sampai mata kaki, sehingga kalau direnggang atau membuka kaki, pisaknya akan terlihat datar. Karena cuma ada satu endong dan galembong, dan Da Zal juga tidak tahu kalau hari ini Arum juga ikut latihan, akhirnya cuma Dewi dan Asti saja yang memakai endong dan galembong.

Da Zal pun menanyakan kepada partisipan apakah sudah siap untuk latihan silek. Partisipan pun menjawab siap. Da Zal mengajarkan silek khas Kinari, silek batino, langkah sambilan (silat perempuan, langkah sembilan) kepada partisipan.

Arum, Asti, dan Dewi saat latihan silek di Sasaran Limbago Budi

Silek langkah sembilan ini merupakan silek  yang banyak unsur seninya. Walaupun banyak unsur seninya silek batino ini merupakan silek yang sangat mematikan. Lapak Balam (Tamparan Burung Balam) merupakan salah satu teknik yang mematikan dalam silek batino.

Latihan berjalan dengan lancar. Da Zal pun memuji partisipan yang sedang latian silek, karena memang para partisipan sangat menjiwai dan tampak piawai melakukan gerakan demi gerakan. Dalam silek langkah sembilan terdapat beberapa gerakan yang diambil dari kegiatan sehari-hari, sifat-sifat tumbuhan dan binatang. Seperti gerakan; Rantak Kudo (Hentakkan Kuda), Semba Alang (Sambaran Elang), Basuang (Pukulan), Sudung Daun (Gerakan lambaian seperti daun), Suduang Ateh (Gerakan yang melambai ke atas), Impok Jalo (Melempar Jala), Indiak Siriah (Persembahan), Dan Simpia (kaki silang ke belakang). Dan Da Zal pun terkejut karena partisipan hampir sepenuhnya menguasai sembilan gerakan ini dalam waktu yang cukup singkat.

Hari sudah mendekati magrib dan tidak lama kemudian Albert Rahman Putra dan Volta A. Jonneva dua fasilitator LLD #2, datang menjemput. Dikarenakan tadi kami berangkat dengan angkot. Magrib pun datang dan kami berhenti sejenak sambil minum kopi, makan gorengan, dan membicarakan banyak sedikitnya tentang silek Minangkabau.

Akhirnya kami pun beranjak dari sasaran menuju rumah Albert. Rumahnya tidak begitu jauh dari sasaran Limbago Budi, kurang lebih lima menit. Sesampai di rumah, kami disambut kak Opa. Ia adalah kakak dari Albert, dan kami pun makan bersama di sana.

“kan lai ndak ado yang sebangsa Jatul disiko do” (disini tidak adakan yang sama kayak Jatul) canda Opa. Jatul merupakan salah seorang teman partisipan. Beberapa waktu lalu, kebetulan asam uratnya kambuh. Ia sempat tidak kuat berjalan, dan kami sudah membawanya ke Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas). Waktu itu dokter menyarankannya untuk tidak makan sejenis kacang.

Selepas Shalat Isa kami kembali ke sasaran silek Limbago Budi. Cuaca malam itu sangat mendukung sekali untuk tidur, ditambah tadi kami sudah makan kenyang di rumah Albert. Sesampainya di sasaran ternyata kami sudah disambut oleh beberapa orang guru dan rekan-rekan pe-silek dari Limbago Budi. Sebelum latihan dilanjutkan, kami kembali berbincang-bincang sejenak mengenai silek di Minangkabau bersama-sama.

Da Zal menjabarkan pada kami bagaimana hubungan gerakan-gerakan silek ini dengan alam dan aktivitas sehari-hari, dan filosofinya. Ia juga mencontohkan beberapa gerak, misalnya gerakan sambah pembuka. Dua telapak tangan itu bersatu di depan dada, kemudian ia naik ke atas, diiringi dengan tatapan, kemudian tapak itu dibuka. Tangan kiri kembali ke depan dada, sementara yang kanan melambai-gemulai ke samping dan ke depan. Lalu bergantian dengan tangan kiri. Saya tidak terlalu ingat maknanya, tapi kurang lebih saya menangkap bahwa gerakan ini wujud dari seorang pendekar menyerakan diri kepada tuhan sekaligus menghormati kekuatan alam dan orang-orang yang ada di sana. Demikian adabnya, sebelum mulai basilek di galanggang. Ada banyak hal lainnya yang dijelaskan Da Zal malam itu.

Ragil, Jatul, Pak Guru, dan Albert saat menyimak proses latihan.

“Ayok.. kita mulai lagi latihannya, apakah masih sangup? kata Da Zal.

Asti, Dewi, dan Aum langsung berdiri, kemudia Da Zal memintanya untuk mengulang kembali gerakan yang tadi diajarkan. Mereka mengulangi gerakannya dengan sangat bagus, seakan-akan seperti orang yang sudah lama latihan. Melihat, teman-teman ini sudah cukup hafal gerakan itu, Da Zal menambah beberapa gerakan lagi.

Saat latihan tengah berlangsung Jatul dan Ragil, partisipan LLD #2 lainnya, datang menyusul ke sasaran silek. Ia datang berdua mengendarai sepeda motor, untuk melihat proses latihan, dan juga membantu produksi karya Asti, yang mana malam itu kita berjanji untuk pengambilan gambar.

Setelah mengulangi beberapa gerakan, Da Zal sangat memuji seniman partisipan LLD #2 yang latihan hari ini. Mereka sangat piawai menirukan gerakan demi gerakan yang diajarkan Da Zal.

“Lai di siko agaknyo anak uruangko sampai bulan Desember, Albert?” (Apakah mereka bisa sampai Desember di sini, Albert?) tanya Da Zal.

Dikarena begitu piawainya para partisipan perempuan ini memainkan gerak yang diajarkan, Da Zal begitu menaruh harapan besar kepada mereka. Kalau seandainya mereka bisa sampai bulan Desember di sini, Da Zal berkeinginan melatih mereka untuk bisa mengikuti acara festival silek di Sumatera Barat.

Sebenarnya kita tidak tahu, apakah pertanyaan itu serius, ataukah itu bentuk pujian Da Zal pada mereka. Yang jelas, sambil tertawa, teman-teman mengatakan tidak bisa menyanggupi itu, karena ada beberapa agenda lain yang juga harus mereka selesaikan.

Saat latihan tengah berlangsung serius, tiba tiba Da Zal menghentikan latihan. Kamipun agak sedikit heran kenapa latihan dihentikan tiba-tiba.

“Dewi, apakah sebelumnya Dewi sudah pernah latihan silek?” tanya Da Zal.

“Belum”, jawab Dewi.

Da Zal melihat sesuatu yang aneh ketika latihan. Dewi salah seorang partisipan dari Riau ini melihatkan gelagat yang sedikit aneh. Ketika ia melakukan beberapa gerakan dan jurus yang diajarkan, Da Zal melihat ia seakan-akan sudah pernah berlatih silek sebelumnya. Lebih lanjut, Da Zal, melihat ada aura aneh yang muncul ketika Dewi memainkan gerakan harimau. Kita tidak tahu pasti apa yang dimaksud Da Zal. Ia mengaku ragu untuk melanjutkannya, takutnya nanti Dewi tidak bisa mengontrol dirinya.

Kamipun heran sembari melempar beberapa pertanyaan kepada Da Zal.

“Jadi begini, Sebenarnya apa yang saya katakan kemarin itu, ada. Akan tetapi saya tidak mau membahasnya, tadi pada gerakan Tangkok Harimau, saya melihat ada yang janggal pada dewi, saya mengira Dewi ini keturunan dari pesilat juga”, ucap Da Zal.

Kami teringat, pada malam-malam sebelumnya Da Zal bercerita tentang hubungan antara pesilat dengan hal-hal yang bersifat mistis atau “halus”, seperti yang sering terdengar di kalangan pesilat masa lampau. Waktu itu Da Zal meyakinkan kami kalau hal seperti itu sebenarnya tidak ada. Namun, malam ini ia menjelaskan lagi, bahwa itu sebenarnya ada, dan memang tidak semua orang bisa merasakannya, sering kali dianggap negatif, makanya ia tidak mau membahas topik itu ke sembarang orang. Apalagi di zaman modern ini, hal seperti itu susah diterima. Tapi bagi Da Zal, benar atau tidaknya tergantung yang menyakini saja.

Salah satu unsur dalam silek, garak dan garik. Garak merupakan unsur yang abstak, yang dimiliki dalam diri pesilat, akan tetapi unsur kebatinan ini memiliki porsi yang beragam di setiap pesilat. Garak, sekilas saya pahami sebagai intuisi yang menuntun tubuh untuk melakukan gerakan. Sedangkan garik merupakan unsur yang terlihat dan umumnya unsur garik ini berupa gerakan. Menurut Da Zal, kemampuan Dewi yang cepat menghafal gerakan itu dengan sempurna, diduga turunan dari keluarganya yang barang kali juga pesilat.

Da Zal pun meminta Dewi kembali memperagakan gerakan Tangkok Harimau kembali. Dari gerakan itu Da Zal melihat bahwa Dewi “marwah” atau memang memiliki titisan Silek Harimau. Da Zal berpesan kalau nanti Dewi berlatih sendiri, lalu tiba-tiba merasakan denyutan di kepala, maka Dewi harus cepat-cepat berhenti dan membaca Al-Fatiha, karena takutnya Dewi tidak bisa mengendalikan dirinya.

Da Zal memang sangat terpukau dengan gerakan para partisipan yang berlatih silek batino ini. Da Zal mengaku dia sudah melatih beberapa orang muridnya yang perempuan tetapi belum sepiawai teman-teman ini, bahkan mereka hanya berlatih kurang dari setengah hari.

Latihan pun dihentikan, dan Da Zal memutuskan untuk melanjutkan latihannya besok saja, karena Da Zal agak sedikit ragu dan cemas nanti apa yang dia prediksi itu akan terjadi. Dan kami pun melanjutkan obrolan seputar silek di Minangkabau.

Saat akan pulang Da Zal kembali menyampaikan ketakutannya tadi, karena teknik-teknik dalam silek batino ini merupakan teknik-teknik yang berbahaya dan memang mematikan dalam kondisi tertentu.

Hari pun sudah hampir tengah malam, kami pun memutuskan untuk pamit dan kembali ke SKB. Dewi tampak kepikiran dengan apa yang ditakuti Da Zal itu benar ada padanya.

“widih yang bakalan jadi kontingen silek Solok ni yee…” kata Volta sambil tertawa.
______________
Solok, Oktober 2018

Biasa disapa Dayu, lahir di Muaralabuh (1997). Penulis, lulusan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang. Sebelumnya ia aktif berkegiatan di LPM Suara Kampus, Taman Baca Mahasiswa, dan Jarang Comeback, sebuah komunitas baca di kampusnya. Ia memiliki ketertarikan di tulis-menulis. Sebelumnya ia adalah partisipan program Magang Gubuak Kopi 2018, dan kini juga aktif di Komunitas Gubuak Kopi selaku penulis. 2019 ia menjadi kolaborator untuk pameran OE dan Kampung bersama Ladang Rupa di Bukittinggi. Beberapa tulisannya juga dapat ditemui di beberapa media lokal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.