Bebunyian Silek

Di sepanjang perjalanan Aural Archipelago, saya hampir selalu berada di dalam zona aman musik tradisional Indonesia: seduhan kopi dan rokok kretek menjadi pembuka untuk mengenal para musisi, diikuti dengan rutinitas untuk menelusuri, merekam dan menginvestigasi musik-musik yang berada di berbagai pelosok daerah.  Hasilnya, kosa kata saya (yang bahasa ibunya bukan Indonesia) berkutat pada lagu, irama, dan nyanyi.  Meskipun perjalanan saya tidak dapat dibilang selalu mulus, setidaknya saya dapat mengetahui ekspektasi macam apa yang ada di setiap perjalanan Aural Archipelago.

Akan tetapi, perjalanan kali ini cukup berbeda.  Teman saya, Albert Rahman Putra, etnomusikolog muda dari Solok, Sumatera barat, mengundang saya ke kampung halamannya untuk berpartisipasi di Lapuak-Lapuak Dikajangi, sebuah proyek yang berlangsung hampir satu bulan yang bertujuan untuk mengeksplorasi silek, seni bela diri yang berpusat di tanah Minangkabau dan dapat ditemukan tidak hanya di Sumatera Barat, namun juga luar negeri. Hanya saya satu-satunya tamu yang berasal dari latar belakang musik. Para seniman yang lain datang dari latar belakang seni yang berbeda-beda dari fotografi, video art, performance art dan seni lukis.

Tanpa waktu panjang kami mulai tenggelam di dalam tradisi yang sudah mengakar dalam ini; kami bertemu dengan para ahli silek tiap harinya, belajar tentang bagaimana bentuk seni ini dilihat dari berbagai perspektif: sebagai wujud bela diri, praktek spiritual, dan ilmu pengetahuan yang esoterik.  kami belajar bahwa terdapat juga berbagai jenis aliran silek di Sumatera Barat dikarenakan banyaknya desa di daerah ini, contohnya gaya silek harimau  di mana gerakan-gerakannya terinspirasi dari gerakan harimau Sumatera.  Silek gaya ini menjadi terkenal karena film Merantau dan The Raid yang banyak memunculkan adegan silek di dalamnya.

Meskipun berada di luar zona nyaman, ini cukup menyegarkan bagi saya (dan ini merupakan salah satu alasan mengapa saya pindah ke Indonesia), namun silek dapat dibilang cukup menantang bagi Aural Archipelago.  Saya mulai bertanya dan membaca tentang peran musik di silek, namun agaknya hubungan antara musik dan silek dapat dikatakan cukup rumit.  Untuk mengetahui lebih lanjut, saya mulai mengulik koleksi luar biasa dari esai-esai berjudul The Fighting Art of Pencak Silat and Its Music karya Uwe Patzold dan Paul Mason yang diterbitkan di tahun 2016.  Sebuah bab yang ditulis Mason berujudl Silek Minang in West Sumatra, Indonesia, terutama, cukup mencerahkan.  Di dalamnya, Mason mendeskripsikan bagaimana tidak ada jenis musik yang benar-benar terikat dengan Silek. Namun justru silek diiringi oleh macam musik apapun yang umum dan tersedia di area tersebut, baik itu gong yang digenggam bernama talempong paciek atau gendang tambuah.

Di banyak sisi, silek sebenarnya cukup bertentangan dengan musik.  Beberapa orang melihat bentuk ‘asli’ silek dari latihan-latihan dan justru bukan dari pertunjukan, misalnya melalui sesi latihan antara guru dan murid: di kasus-kasus semacam ini, suara yang muncul dari silek tidak lebih dari suara langkah kaki, gesekan antar kulit, dan ucapan-ucapan lirih dari mantra.  Mason menulis bahwa bahkan di pertunjukkan silek yang penuh dengan musik, banyak penonton yang tidak menyadari bahwa iringan musik adalah bagian dari pertunjukan silek.  “Tanyalah seseorang dari Minangkabau”, tulis Mason, “kebanyakan orang akan mengatakan bahwa tidak ada musik untuk silek Minang.” Justru ketika musik digunakan untuk mengiringi silek, seakan-akan ada gangguan yang muncul.  Jika para pendekar mengikuti irama musik, aksi mereka menjadi mudah ditebak dan karenanya mudah untuk digagalkan.  Karenanya, mereka harus memisahkan konsentrasi mereka dari suara-suara musik.

Namun, firasat saya mengatakan bahwa ketidakcocokan ini mungkin tidak selamanya benar, bahwa ada bentuk musik Minangkabau yang berhubungan dengan silek.  Saya mendengar sebuah musik bernama gandang sarunai, gabungan dari dua gendang yang saling bertautan (interlocking) bernama gandang, serta instrumen musik dengan double reed bernama sarunai.  Tidak ada literatur yang mengatakan bahwa gandang sarunai berhubungan dengan silek, namun intuisi saya menyatakan sebaliknya.  Seperti yang saya telah sampaikan baru-baru ini, format semacam ini di mana gendang (drum) yang saling melakukan interlocking diiringi alat musik tiup dengan double reed seringkali berhubungan dengan seni bela diri di Indonesia bahkan di luar negeri.

Di Sulawesi Selatan, musik ganrang konjo pernah mengiringi sebuah seni bela diri bernama manca’.  Di dekat Selayar, musik ganrang adat masih mengiringi seni bela diri tersebut sebagaimana juga alat musik yang berakar dari Sulawesi bernama gendang dhume’ di pelosok kepulauan Kangean di sekitar Madura.  Masyarakat Sunda memiliki kendang pencak, dua set kendang dengan beberapa bagian yang dimainkan dengan alat musik tiup tarompet yang terkenal dengan suaranya yang melengking. Bahkan di luar negeri di Malaysia, silat dengan gaya Melayu dipertontonkan dengan suara gendang silat, sebuah format yang menggunakan gendang yang saling interlocking dan sebuah serunai.  Dengan mengikuti pola-pola ini dalam pertunjukan dan praktek material, kita dapat sekilas melihat kemungkinan pola-pola dari penyebaran seni bela diri di kepulauan-kepulauan di Asia Tenggara dan sekitarnya. Kesamaan musikal ini membuat saya penasaran, apakah gandang sarunai juga menjadi bagian dari perluasan jaringan seni bela diri dan musik?

Untuk mencari tahu lebih lanjut, saya beranjak dari ‘markas’ di Solok ke Solok Selatan, satu dari beberapa daerah di Sumatra Barat yang masih memainkan musik ini.  Jauh dari daerah pegunungan di Sumatra Barat (seringkali orang Minangkabau menyebutnya darek), area ini merupakan pusat tersendiri.  Daerah leluhur di mana suku-suku Minangkabau pernah menyebar ke daerah-daerah migrasi atau rantau seperti di Pasisia Selatan atau pesisir selatan. Terletak tidak jauh dari batas wilayah selatan dengan Jambi yang berhutan-hutan dan gunung berapi Kerinci yang masih aktif, desa-desa di Solok Selatan berada di lembah yang subur dan berbatasan dengan pegunungan Bukit Barisan, serta memiliki sumber mata air panas.  Area ini juga kaya secara kultural, dengan pusat kotanya, Muaro Labuah yang terkenal dengan lebih dari seribu rumah gadang, rumah tradisional Minangkabau yang atapnya menyerupai tanduk kerbau menjulang ke langit.

Tidak jauh dari Muaro Labuah adalah daerah yang secara tradisional dikenal dengan nama Sungai Pagu, tidak lain merupakan pusat gandang sarunai di Sumatera Barat.  Saya pergi ke daerah tersebut dengan seorang teman bernama Joe Datuak, seniman lokal yang pernah belajar tentang gandang sarunai.  Hari sudah gelap ketika saya dan Datuak pergi dengan sepeda motor, ditambah dengan gerimis yang tidak kunjung reda sejak kami tiba, kami berlindung di bawah jas hujan.  Sepanjang jalan kami melewati rumah gadang yang terlihat menjulang bahkan ketika gelap, suara anjing pemburu dan sawah-sawah yang berkilauan di malam hari.

Tidak lama, kami tiba di rumah Pak Yasrial, seorang seniman gandang sarunai yang terkenal di Solok Selatan. Pak Yasrial mengantar kami ke ruang tamunya dimana para musisi sudah berkumpul, sebagian besar bapak-bapak berusia lanjut duduk bersila dengan gelas kopi dan rokok kretek yang berserakan di lantai.  Datuak dan saya berjabat tangan dengan para musisi dan bergabung dengan mereka di karpet, membagikan ‘sumbangan’ kami: enam bungkus rokok, sebungkus besar kopi dan gula.  Diikuti dengan niat baik yang telah dibina oleh Datuak dan para musisi ini sebelumnya, kami segera disuguhi gendang di depan kami dan mulai menyelami dunia gandang sarunai.

Cukup jelas bahwa gendang adalah hati dan jiwa dari musik ini.  Bahkan sebagai obyek fisik, perlakuan khusus cukup terleihat dari konstruksi gendang ini.  Gendangnya kukuh dan memiliki dua kepala. Pembuatan keduanya cukup identik, namun dibagi menjadi pasangan pria dan wanita: jantan dan batino.  Kepala dari tiap gendang dibuat dari kulit yang tebal dari binatang Kijang dan dipukul dengan ujung bulat tanduk kerbau atau tanduak.  Kepala yang lain terbuat dari kulit kambing, dipukul dengan tangan. Kulitnya diamankan dengan senar nilon ke badan gendang yang menonjol dan terbuat dari kayu nangka.  Nilon menjadi pengganti serat palem dan cincin rotan di dalam gendang menjadi pengerat.

Dalam permainannya,(yang disebut dengan gandang sarunai), gendang ditempatkan saling berhadapan, namun iramanya dimainkan saling melengkapi: di dalam format musik yang bercermin dari banyak format di daerah yang lain, satu gendang dimainkan dengan bagian dasar sementara gendang yang lain memainkan bagian peningkah atau pengisi yang lebih kompleks.  Hubungan ini, seperti dikemukakan oleh Mason di babnya tentang silek, juga tercermin di dalam struktur seni bela diri ini.

“Beberapa seniman menjelaskan bahwa pola interlocking dari instrument perkusi adalah metafor yang kuat untuk gerakan interlocking dari pemain Silek Minang.  Keindahan dari seni ini bergantung pada pertunjukan yang sinkronis atas langkah kaki yang penting dari dua pendekar, di mana instrumen perkusi mereplika ini secara simbolis.”

Di dalam gandang sarunai, hubungan simbolik antara bentuk permainan gendang ini dan seni bela diri dibuat lebih eksplisit ketika para pengendang mengiringi silek: alih-alih duduk, para pengendang memiringkan tubuh mereka dalam posisi yang disebut berlawanan.  Posisi ini meniru posisi badan di silek, di mana para pemain silek wajar untuktidak pernah berhadapan dengan lawannya secara langsung sehingga mereka dapat melindungi diri mereka dari serangan.

Dengan gendang yang menjadi pusat bentuk musik ini, sarunai hampir menjadi bagian yang hampir terlupakan.  Bentuk alat musik ini dianggap tidak terlalu signifikan: dari grup musik yang kami rekam, sarunai terdiri dari badan yang terbuat dari bambu tipis dengan empat lubang, corong kayu dan reed yang berdengung yang terbuat dari batang padi yang masih hijau.  Meskipun demikian, tidak mustahil untuk mengganti sarunai ini dengan sarunai bambu, versi lain dengan reed tunggal yang idioglot dan lonceng tanduk kerbau.  Bahkan, musik yang dimainkan sarunai biasanya tak bertalian: lagu gandang sarunai dibedakan berdasarkan irama gendangnya, sementara sarunai memainkan melodi yang tidak berubah dan tetap berulang.  Bagaimanapun juga, sarunai penting untuk menemai silek.  Di artikelnya, Mason membahas tentang kemungkinan mengapa sarunai dan alat musik tiup sering dimainkan untuk mengiringi silek: “Bunyi yang keras dan mendengung dari reed alat musik tiup bersifat dinamis dan merupakan pasangan yang masuk akal antara pertunjukan bela diri dan keikutsertaan para audiens,”

Ia menuliskan:

“[…]The circular breathing used to play the woodwind instruments evokes a penetrating sonic representation of the unrelenting attention required by the silek minang practitioners during a fight.”

Para pemain gandang sarunai setuju: di dalam sebuah pertarungan, perhatian seseorang tidak boleh pecah sebagaimana suara sarunai tidak boleh pecah.

Peran utama dari silek di dalam dunia gandang sarunai bisa juga terlihat dari repertoar musiknya.  Sebagai musik yang unik dari area ini, gandang sarunai memiliki satu set lagu pokok.  Berjumlah total dua belas dan hampir selalu dimainkan secara medley dan dalam urutan yang sama, repertoar dimulai dengan dua lagu yang digunakan secara khusus untuk mengiringi silek,  “Gandang Solok” dan “Gandang Pado-Pado.”  Keduanya menampilkan irama gandang yang dianggap lebih konsisten dari lagu-lagu lain yang iramanya lebih bervariasi.  Hal ini memungkinkan alur yang lebih stabil untuk menyesuaikan dengan fokus yang tajam dari para pemain silek.  Jika para pendekar mungkin tidak mengukur gerakan mereka dengan irama gendang, maka sebaliknya dengan gendang yang menghiasi permainan silek, bagian peningkah diukur waktunya untuk menyesuaikan gerakan-gerakan tertentu dalam pertunjukan pertarungan yang terkoreografi.

Para penggendang mampu untuk mengantisipasi gerakan-gerakan semacam ini karena cukup sering, mereka adalah para pendekar silek itu sendiri. Sebagaimana para musisi menjelaskan kepada saya malam itu, silek dan gandang sarunai adalah sejiwa. Di masa lalu, praktek silek terjalin kuat dengan gandang sarunai.  Pak Yasrial menjelaskan, beliau dan kawan-kawannya mempelajari gandang bersamaan dengan silek  di surau setempat. Kedua disiplin ini, lanjut Pak Yasrial, memerlukan pembelajaran yang erat dan intim dengan seorang guru untuk menguasainya. Guru-guru silek dikenal pemilih, menuntut para muridnya untuk melakukan serangkaian ritual atau persyaratan guna diterima sebagai seorang murid.  Hal ini juga berlaku untuk gandang: seorang murid harus mempersembahkan guru gandangnya dengan seekor ayam untuk disembelih serta satu set pakaian hitam dan putih.  Di setiap sesi latihan, sang murid harus memberi ‘persembahan’ untuk gurunya: rokok dan makanan ringan.  Setelah mempelajari dua belas lagu, sang murid harus memberi gurunya satu pakaian lagi; jika tidak, keduabelas lagu tersebut akan lenyap seketika dari ingatannya.

Meskipun gandang sarunai jelas berbagai hubungan dengan dunia silek, hal ini tidak berarti bahwa musik ini menjadi eksklusif untuk silek saja.  Talempong bisa juga mengiringi pertandingan silek sekaligus mengiringi prosesi pernikahan.  Dari sepuluh lagu gandang sarunai lainnya (Gandang Duo, Sikapiciak, Duo Iliu, Sikudidi, Sikudidi Mandi, Barabah di Ateh Paki, Kumpai Anyui, Tajak Guya, Siamang Tagagau, dan Cancang Mudiak Aiu), hanya “Gandang Sikapiciak” yang bertalian dengan konteks pertunjukan tertentu, seringkali dimainkan untuk mengiringi tari piriang (tari piring yang terkenal di mana para penari menari sekaligus menjaga keseimbangan piring porselen di tangan mereka)

Lagu-lagu lain di ‘kanon’ gandang sarunai adalah ilustrasi yang indah dari konsep Minangkabau yang disebut dengan alam takambang jadi guru atau alam sebagai guru.  Sebagaimana pencipta silek harimau diceritakan menciptakan gerakan-gerakan mematikan dari observasi dari gerakan-gerakan harimau, ritme dan judul lagu gandang sarunai kebanyakan diambil dari alam. Contohlah “Gandang Siamang Tagagau” atau “Siamang yang Terkejut”: Pak Yasrial menjelaskan bahwa irama gandang di lagu ini terinspirasi dari siamang yang ketakutan dan melompat dari pohon ke tanah dan ke pohon kembali.  “Gandang Barabah di Ateh Paki” atau “Burung Barabah di atas Pakis” mengilustrasikan Burung Bul-Bul yang melompat dari satu pohon pakis ke pohon pakis yang lain; tumbuhan lalu berayun-ayun dari burung tersebut.

Judul-judul tersebut bukan hanya menjadi jendela ke dunia puitis masyarakat Minangkabau, namun juga jendela ke lanskap budaya yang kaya dan saat ini berada dalam kondisi yang terus berubah.  Gandang Sarunai pernah menjadi kunci utama di dalam upacara-upacara yang mengikat kehidupan ritual Minangkabau bersama, dari baralek atau ritual pernikahan Minang ke ritual seperti mengangkat datuak, di mana seorang laki-laki yang dihormati di desa diberi gelar adat.  Meskipun masyarakat tetap melangsungkan pernikahan dan gelar adat masih dilakukan, acara-acara ini biasanya diisi dengan musik Minang pop dengan keyboard.  Selain itu, pentingnya adat telah bergeser dengan masyarakat yang semakin modern dan sistem pemerintahan yang selalu berubah.  Bahkan silek yang pernah menjadi bagian dari acara-acara ini telah berubah: sedikitnya orang yang tertarik dengan versi esoterik silek yang dipasangkan dengan gandang sarunai membuat berpisahnya dua bentuk seni yang telah berasosiasi sejak lama.

Belakangan ini, gandang sarunai paling sering dipentaskan untuk mendemonstrasikan seni lokal di acara-acara pemerintahan, atau ketika dipanggil untuk tampil bagi mahasiswa musik ISI Pandangpanjang, di mana gandang sarunai telah masuk di kurikulumnya.  Musik ini bahkan pernah berubah seiring waktu karena orang mulai melihat bahwa kombinasi gandang dan sarunai cenderung monoton.  Sekarang, grup musik sering mempertunjukkan tiga musisi memainkan gong talempong paciek, suara yang merdu dan juga lebih terasa “sekitar Sumatra Barat” (melodi talempong yang dimainakan bahkan bukan dari daerah Solok, tapi dari Lintau yang berjarak ratusan kilometer).  Ironisnya, dengan desakan talempong, gandang yang dulunya menjadi yang utama menjadi tidak lagi yang utama, melainkan hanya dijadikan ‘pendamping’.

Betapapun tidak stabilnya masa depan gendang sarunai, musik yang dimainakn di ruang tamu Pak Yasrial malam itu penuh dengan energy.  Pak Yasrial sendiri memainkan pola dasar yang sederhana sementara kakak laki-lakinya, Pak Sarifuddin, memainkan tandingan irama yang kompleks: tanduk kerbau dengan kulit kijang menciptakan ledakan resonansi yang terasa bass.  Saya diberitahu bahwa sang kakak adalah tunarungu, namun bisa memainkan gandang dengan kontrol yang mengagumkan.  Kuncinya, seperti yang dikatakan kepada saya adalah raso atau perasaan/intuisi yang juga penting di dalam silek.  Pak Sarifuddin telah belajar bagian dasar kepada ayahnya, namun hanya diberi penglihatan atas kompleksitas bagian peningkah di dalam mimpinya, ketika ayahnya sudah lama meninggal. Beliau kemudian mewariskan bagian-bagian ini kepada adik laki-lakinya, yang kini berperan untuk mencari muridnya agar tradisi ini tetap hidup.

Pak Yasrial, sambil tertawa, bersikeras bahwa sekarang untuk mempelajari ganrang seharusnya lebih mudah: tidak perlu menyembelih ayam, hanya butuh keinginan untuk belajar.

Palmer Keen
Solok, Oktober 2018
____________________________
*artikel ini sebelumnya sudah dipublikasi di Aural Archipelago dengan judul The Sound of Silek: Gandang Sarunai, dan diterjemahkan oleh Sinta Dwi.

Biasa disapa Palmer, adalah seorang etnomusicolog asal Amerika yang kini menetap di Yogyakarta. Ia tengah sibuk dengan project personalnya: Aural Archipelago, yakni proyek pendokumentasian dan penelitian musik tradisional di Asia. Saat ini telah mengumpulkan lebih dari seratus kesenian musik di Nusantara. Selain itu ia juga aktif mempresentasikan proyeknya di berbagai kegiatan diskusi dan seminar. Antara lain, di MuVi Party - OK.Video Festival (2016), RRRECFest 2016 dan 2017, di Universitas Gajah Mada (2018), University of Sidney, Australia (2018), Sebagai kurator untuk seri konser Aural Archipelago pada festival Europalia (2017), dan berkolaborasi dengan kelompok musik elektronik Bottlesmoker dalam album Parakosmos (2017). Seniman partisipan proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #2 -Silek, Gubuak Kopi, 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.