Catatan Observasi Awal bersama Bakureh Project
Tradisi dan budaya memang selalu menarik untuk dibahas mengingat dirinya yang terus berkembang. Sumatera Barat dengan berbagai tradisi yang ada juga memungkinkan siapa saja untuk mendalaminya. Saya yang notabenenya tidak dibesarkan di Ranah Minang, sangat tertarik untuk mempelajari dan mendalami berbagai tradisi-tradisi yang ada. Salah satu tradisi yang akan dibahas dalam salah satu proyek penelitian yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi, yakni Bakureh Project. Proyek ini berupaya mendalami dan mengkaji nilai-nilai yang terkadung dalam tradisi bakureh di Solok, maupun dengan penamaan yang berbeda di daerah lainnya di Minangkabau.
Bakureh pada dasarnya mempunyai arti yang beragam bagi beberapa orang di Minangkabau itu sendiri. Menurut Mak Katik, salah satu budayawan di Sumatera Barat dalam kelasnya di Gubuak Kopi, bakureh sederhananya merupakan upaya mendapatkan sesuatu. Di lain kelas di Gubuak Kopi, Ibu Suarna, yakni tokh Bundo Kanduang, Tembok, Kota Solok, mendefenisikan bakureh sebagai kerja sama atau gotong royong, secara spesifik ia identik dengan tradisi masak bersama untuk alek (pesta) pernikahan. Sejalan dengan itu, menurut Buya Khairani, seorang tokoh adat di Solok, mendefinisikan bakureh adalah aktivitas yang mengeluarkan segala kemampuan untuk tolong-menolong dalam sebuah kegiatan.
Pada kesempatan ini, dalam Lokakarya Daur Subur, sebagai bagian dari Bakureh Project ini, saya melakukan observasi ke beberapa temat di Solok. Observasi ini saya mulai melalui obrolan dengan warga di Koto Baru dan Kinari, Kabupaten Solok. Kedua nagari tersebut, mereka tidak memakai istilah bakureh, walaupun mereka juga mengenali istilah itu digunakan oleh masyarakat Kota Solok, sebagai tradisi masak bersama, tapi di sini warga biasa menyampaikannya dengan “pai manolong urang memasak di dapua ” (pergi menolong orang memasak di dapur).
Di Nagari Koto Baru, Kabupaten Solok, saya bertemu dengan ibu Hermita, ia bercerita bahwa tradisi bakureh yang kita maksud ini masih terus dijalani oleh masyarakat Koto Baru. Bakureh diadakan jika ada pernikahan atau baralek dan acara aqiqah. Prinsip dari bakureh menurut beliau memang tolong menolong jika ada orang kampung akan mengadakan baralek (pesta).
Biasanya bakureh akan dilakukan oleh perempuan yang sudah bersuami. Cara mengajaknya adalah mendatangi rumah ibu-ibu satu persatu memintanya untuk membantu memasak dengan keperluan baralek ataupun aqiqah. Untuk menyebarkan informasinya, biasanya pihak akan mengadakan suatu perhelatan akan mengundang secara tatap muka ke rumah-rumah masyarakat sekitar. Seperti yang dicontohkan Ibu Hermita “assalamualaikum, bu Eli bisuak wak manggulai di rumah mah, tibo yo” (assalamualaikum Bu Eli, besok kita mau masak di rumah, datang ya). Di beberapa Nagari di Solok, yang memanggil rumah ke rumah ini bukan dari pihak keluarga penyelenggara kegiatan langsung, biasanya adalah tetangga terdekat, namun tetap mewakili pihak yang berpesta.
Dapat dilihat komunikasi yang terjalin dari warga Koto Baru yang masih sangat terjaga, dengan mementingkan komunikasi langsung antarmuka. Ibu Hermita juga percaya mengenai apa yang ia sebut ‘hukum timbal balik’, yakni: jika menolong orang lain dengan tulus, ia akan ditolong orang kembali. Oleh karena itu, Ibu Hermita selalu menyempatkan diri untuk membantu orang memasak saat ada acara/alek dengan pengharapan agar saat ia mengadakan alek akan banyak juga yang membantunya nanti.
Selain ibu Hermita, di Koto Baru saya juga bertemu Bundo Kanduang di nagari tersebut, yang akrab dipanggil Tek Erih. Beliau juga menjelaskan mengenai sosok rubiah dalam bakureh masak memasak. Rubiah merupakan seorang pemegang “kunci biliak” (istilah kunci kamar yang berarti penjaga lauk pauk yang sudah selesai dimasak) tempat samba (lauk pauk) sehabis memasak disimpan. Hal lain yang menarik dalam kegiatan bakureh adalah obrolan ibu-ibu saat proses memasak. Tidak dapat dipungkiri jika ibu-ibu sudah berkumpul, katanya, tentu ada saja yang dibicarakan mulai dari menggosip, membahas bahan makanan, bahkan sampai menjodohkan anak.
Lain ceritanya saat saya mengunjungi Nagari Kinari, kampung yang penuh dengan sawah-sawah yang terbentang luas, dan juga banyak Rumah Gadang yang masih dihuni. Tradisi bakureh di sini biasa disampaikan dengan ucapan pai manolong urang, yang sama konteksnya dengan bakureh secara umum di Solok. Bakureh yang mereka lakukan di sini tidak hanya untuk baralek atau pesta pernikahan saja, tetapi juga dilakukan saat acara aqiqah, membadak (anak baru lahir yang dirayakan seperti adat turun mandi), bahkan acara buka puasa bersama.
Dalam melaksanakan bakureh untuk baralek saja, si pembuat hajat harus mendatangi ibu-ibu di sana untuk menolong masak dengan menggunakan pakaian khusus yaitu atasan hitam dan kain songket dengan berkata “bisuak wak pai menggulai cubadak Volta yo” (besok kita pergi menggulai nangka Volta ya), dalam artian besok tolong saya masak ya untuk hajatannya Volta, seperti yang dicontohkan Ibu Elva, salah seorang warga Kinari yang mempunyai anak bernama Volta.
Ibu Elva juga menjelaskan mengenai sosok janang yaitu penentu jalan dari sebuah alek (acara). Janang menentukan jalan sebuah alek dengan mengatur tempat duduk dari ninik mamak dan sumando serta mempelai, mengantar serta menyajikan makanan. Selain itu, sebelum menyajikan makanan Janang akan berpantun terlebih dahulu.
Dalam pandangan saya Gotong royong di Nagari Kinari sangatlah kental dan cukup dijaga dengan baik. Hal ini juga dipertegas oleh Ibu Elva yang mengatakan bahwa jika ada suatu alek, para perempuan akan memasak dan lelaki akan membuat suduang-suduang atau rumah kajang, semacam dapur dadakan yang dibuat untuk acara tertentu. Saya mendapatkan kesempatan yang sangat berharga dengan langsung melihat kegiatan bakureh yang dilaksanakan warga Kinari untuk melaksanakan buka puasa bersama. Di sana saya dapat melihat kegiatan bakureh secara langsung, dimana bapak-bapak melakukan pai mambantai atau memotong sapi dan juga ibu-ibunya memasak yang diawali dengan memotong bawang dan memetik batang cabai.
Hal yang saya lihat dan rasakan di sini adalah kebersamaan dan keakraban yang terjadi antara ibu-ibu yang memasak bersama. Berbeda dengan Nagari Koto Baru yang melakukan bakureh hanya perempuan yang sudah bersuami, di Nagari Kinari, perempuan yang terbilang muda dan belum menikah pun dapat ikut serta dalam kegiatan bakureh. Obrolan dari ibu-ibu yang memasak saat itu yang saya dengar seputar bumbu-bumbu yang harus dilengkapi, percakapan sehari-hari dan membicarakan seseorang.
Saya sempat bertanya kepada salah satu ibu yang sedang memasak, darimana bahan-bahan dapur seperti bawang, cabai dan lain-lain. Ternyata saya mendapatkan jawaban yang mengesankan, yaitu ibu-ibu disana membawa bahan-bahan tersebut dari rumahnya sendiri. Selain itu, saya juga melihat ibu-ibu disana sangat banyak, akhirnya mereka membuat kelompok untuk mengobrol dan bercanda gurau satu sama lain yang ada di dekat mereka.
Berbicara mengenai obrolan-obrolan di dalam bakureh, saya juga menemukan hal-hal unik. Seperti yang diceritakan oleh Ibu Suarna dalam sebuah kelas di Gubuak Kopi, yang menceritakan bahwa obrolan di bakureh bisa menjadi ajang “biro jodoh””. Ibu Suarna bercerita, terkadang ibu-ibu di sana membahas anak-anak mereka yang belum mendapatkan pasangan untuk dijodoh-jodohkan. Hal ini juga dipertegas oleh Hendra Nasution, kelas lainnya dalam rangkaian Bakureh Project. Ia seorang dosen yang juga sudah meneliti bakureh, bahwa “biro jodoh” tidak dapat dipisahkan dari obrolan saat bakureh. Selain obrolan mengenai “biro jodoh”, tentunya cerita-cerita mengenai keseharian juga dibicarakan saat bakureh. Warga di Kinari biasanya membicarakan mengenai cara mereka bersawah, seperti pupuk baru atau tips baru bertani.
Selain di Kinari, di Koto Baru pun saat bakureh ibu-ibu memberikan informasi mengenai keadaan di sekitar, misalnya seperti yang dikatakan Tek Erih misalnya “anak Ibu tu yang marantau lah baliak a ” (anak ibu yang merantau itu sudah balik lagi ke kampung lagi). Dapat dilihat bakureh ternyata juga menjadi media pesebaran informasi antar warga mengenai sebuah berita baru di sekitar mereka.
Tidak dapat dipungkiri juga, obrolan dalam bakureh tidak dapat lepas dari bagunjiang (bergosip). Ibu Hermita di Koto Baru berkata “induak-induak kalau lah sobok tu bagunjiang wajib mah” (ibu-ibu kalua sudah bertemu tentunya wajib menggosip). Tidak hanya Ibu Hermita, Tek Erih pun berkata hal yang sama “yo namonyo induak-induak pastilah bagunjiang” (namanya ibu-ibu pasti menggosip). Tidak hanya di Koto Baru, di Kinari pun Ibu Elva mengatakan hal yang sama bahwa bakureh pasti menggosip. Akan tetapi, ada yang menarik dari cerita ibu Elva. Yaitu terkadang, bakureh menjadi ajang untuk mencurahkan hati ibu-ibu. Bahkan pernah, menurut cerita beliau saat ada bakureh, ada seorang ibu yang menangis hanya karena mendengar cerita dari ibu lainnya. Ternyata, bakureh tidak hanya tempat menggosip saja, tetapi juga menjadi tempat untuk meningkatkan empati seseorang.
Hal yang penting dalam obrolan bakureh adalah pengajaran kepada anak muda bagaimana bakureh dilakukan seperti yang dilakukan oleh warga Kinari. Di Kinari, seperti yang saya lihat saat itu, ada bakureh untuk buka puasa bersama, perempuan-perempuan muda juga ada yang ikut bakureh untuk membantu memasak. Ibu-ibu di sana mengenalkan kepada mereka mengenai bumbu-bumbu untuk membuat suatu hidangan seperti kaliyo dan dendeng. Saya juga melihat mereka sepertinya sudah biasa melakukan bakureh dengan melihat cekatannya mereka bekerja, salah satunya mereka bisa mengupas dan memotong bawang dengan cepat.
Saya sempat juga mengobrol dengan salah satu ibu-ibu di Kinari selepas acara buka puasa bersama di sana. Beliau berkata memang di Kinari perempuan-perempuan muda juga ikut membantu bakureh agar mereka dapat belajar memasak dan melanjutkan tradisi gotong royong ini.
“gadih-gadih ko ka mamasak, baa bumbu-bumbunyo, diajaan dimasak basamo ko” (ketika gadis-gadis mau memasak, ia diajarkan mengenai bumbu-bumbunya saat gotong royong untuk masak bersama), Ibu Elva.
Bakureh pun juga menjadi media pendidikan untuk generasi muda agar tradisi ini terus berlanjut dan tidak hilang. Berdasarkan pengalaman saya sendiri yang tidak lahir dan besar di wilayah Sumatera Barat, saya tidak pernah mendapatkan pendidikan masak secara langsung seperti yang dilakukan di bakureh. Oleh karena itu, saya merasa tradisi bakureh sangat penting sebagai media pendidikan. Bagaimana bakureh secara tidak langsung sebagai alat untuk pembelajaraan generasi muda.
Setelah selama tujuh hari saya mengikuti lokakarya dari Komunitas Gubuak Kopi dalam rangkaian Bakureh Project, berseta kegiatan observasinya, saya merasa bahwasanya tradisi bakureh sangatlah mengesankan dan harus selalu tetap dilestarikan. Dapat dilihat pada obrolan-obrolan dalam bakureh adalah bakureh berfungsi sebagai media komunikasi dan informasi antarwarga. Di dalamnya, terdapat pertukaran informasi yang tentunya bisa membawa pengetahuan baru bagi yang mendapatkannya. Selain itu, dilihat dari generasi muda yang juga mengikuti kegiatan bakureh, ternyata bakureh juga berfungsi sebagai media pendidikan budaya, karena bakureh membuat mereka melihat dan belajar.
Menjadi hal yang menarik juga, bahwa bakureh merupakan alat dan media untuk menjalin hubungan yang harmonis antarwarga. Komunikasi antarwarga terjadi dengan adanya bakureh. Mulai dari menyampaikan pesan untuk melaksanakan bakureh, obrolan-obrolan dalam bakureh, dan budaya tolong menolong yang menjadi landasan dari bakureh itu sendiri. Tradisi dan budaya seperti inilah yang seharusnya tetap ada jangan sampai luntur apalagi di era modern sekarang. Saya sangat terkesan dengan penyampaian pesan yang di dalamnya mengedepankan komunikasi langsung yang tentunya pada zaman sekarang sulit ditemui, khususnya di daerah perkotaan. Bakureh membuat suatu ikatan antarwarga, dimana warga tidak akan merasa sendiri dan menganggap orang-orang di sekitarnya seperti keluarga sendiri. Sebagai orang yang bukan orang Minangkabau, dan punya banyak teman orang Minang, saya pikir hal inilah yang mungkin mereka rindukan saat berada di tanah rantau.
Solok, 7 Juni 2018