Mempertajam Bingkaian Bakureh di Pulau Sawo

Catatan Focus Group Discussion Bakureh Project #1

Setelah pemaparan materi Lokakarya Daur Subur selama satu minggu penuh, sebagai tahap awal dalam rangkaian Bakureh Project, para partisipan mulai mengerucutkan kerangka riset pada masing masing daerah yang mereka pilih untuk didalami nantinya. Riset ini diagendakan selama dua bulan kedepan. Perekembangan riset tersebut akan dibahas secara bertahap melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD). Kali ini, sembari Komunitas Gubuak Kopi merealisasikan liburan tahunan, sekaligus barayo (berhari raya) bersama di Pulau Sawo, yang juga berdekatan dengan jadwal FGD pertama maka para partisipan diajak sekaligus mengikuti kemping di Pulau tersebut pada 22-24 Juni 2018.

FGD pertama ini difokuskan membahas riset awal yang telah dijalankan oleh para partisipan untuk dipresentasikan, dan pendalaman outline atau rencana penulisan yang sebelum telah dibuat oleh partisipan. FGD dilakukan tepatnya pada hari Sabtu, 23 Juni 2018, di sebuah pondok kayu bekas resto, yang kini biasanya digunakan nelayan untuk beristirahat atau berteduh jika terjadi cuaca buruk di laut. Pada presentasi FGD pertama dimulai oleh pemaparan outline Nahlia Amarullah atau biasa kami sapa Nahal, yang focus membahas bakureh sebagai media komunikasi dan informasi antar warga. Dalam outline yang disampaikan, peserta FGD menyimak dan memberi masukan dari pandangan riset yang dipaparkan.

Pada kesempatan kali ini Nahal menjelaskan pengertian bakureh yang ia pahami dari materi lokakarya sebelumnya, yakni, bakureh pada dasarnya tidak hanya sebuah agenda gotong royong memasak, tetap terdapat peristiwa lainnya, seperti adab berkomunikasi, pengathuan kuliner, dan lainnya. Sebagai perbandingan, ia menjabarkan tradisi bakureh di tiga nagari (desa) di Solok yang telah ia observasi, yakni Koto Baru, Sinapa, dan Kinari. Nahal juga menjelaskan hubungan warga dengan bakureh itu sendiri, pada sosial tradisi, Nahal tertarik dengan adanya fenomena komunikasi langsung antar warga dalam tradisi bakureh. Ia bersumsi ini merupakan salah satu faktor yang membuat kekuatan sosial antar warga tetap terjalin harmonis, sehingga teknologi yang berjalan saat ini tidak terlalu mempengaruhi sistem kebudayaan gotong royong itu sendiri. Proses komunikasi ini secara spesifik, salah satunya pada aktivitas mamanggia (memanggil), yakni, adab mengajak orang untuk melakukan tradisi bakureh.

Nahal juga membahas hubungan bakureh sebagai media pendidikan lokal, sebagai contoh pada prinsip bakureh itu sendiri selalu mengajak keturunannya untuk mengikuti tradisi ini, Nahal mempunyai pandangan bahwasannya di sinilah remaja mengenal masakan-masakan pada tradisi alek. Ade Surya Tawalapi, salah seorang partisipan, menaggapi tentang kesinambungan bakureh sebagai media, secara tak sadar orang tua (pelaku bakureh) mengajak anak-anaknya untuk terjun langsung melihat dan melakukan tradisi bakureh itu sendiri, yang didalamnya juga banyak kaba (informasi) yang disampaikan warga pada saat bakureh itu berlangsung. Beberapa daerah tidak melanggengkannya lagi, Ade menambahkan perlunya membahas praktik serta pemaknaan bakureh dulu dan kini. Sefniwati, juga salah seorang partisipan, juga menambahkan fenomena komunikasi lainnya dalam tradisi ini, seperti yang telah dibahas di lokakarya, bahwa dalam tradisi bakureh, ketika proses masak-memasak itu sendiri, tidak jarang orang-orang yang terlibat saling bergosip, dan bercanda, seperti halnya yang kini juga beralih ke media sosial.

Presentasi berikutnya dilanjutkan oleh Dyah Roro Asmarani, atau yang biasa disapa Roro. Penelitian berfokus pada adab berpakaian dalam tradisi bakureh. Temuan Roro dalam observasi awalnya menunjukan bahwa realitas bakureh tersebut juga mempunyai aturan-aturan tersendiri dalam berpakaian, yang menjadi penanda bahwasannya dalam tradisi bakureh dan peristiwa adat lainnya mempunyai makna dan falsafah tersendiri. Hal itu terlihat dari pilihan kostum maupun simbol-simbol/motif yang ada pada baju tersebut. Roro mengidentifikasi perbedaan-perbedaan pakaian upacara adat, baik didalam upacara baralek (upacara pernikahan), batagak panghulu (pengangkatan penghulu/pemuka adat), kematian, dan lainnya, yang relevan dengan isu terkait, dan Roro juga mengidentifikasi isu dengan konteks penurunan/perubahan adab berpakaian dulu hingga kini, dengan mencari arsip-arsip yang terdahulu. Ade juga menanggapi dalam adab berpakaian yang ada di Kinari, adab berpakaian di Kinari dikategorikan ade sebagai identitas dari suku, tugas, dan peran setiap masyarakat dari perhelatan upacara adat yang ada di daerah itu.

Outline selanjutnya dipresentasikan oleh Ade yang berfokus pada bararak baralek (arak-arakan pesta pernikahan). Salah satu tradisi dalam upacara adat, di dalamnya terdapat unsur dan nilai-nilai bakureh/gotong royong, dalam hal ini Ade menempatkan observasi riset pada daerah Kinari sebagai pemantik awal dari isu yang dipilih. Dalam bararak sendiri makanan yang di bawa merupakan hasil bakureh ibu-ibu. Dalam hal ini Ade lebih mengerucutkan situasi dan lokasi riset hingga masuk ke wilayah situasi sosial daerah tersebut dan bisa mengidentifikasi kembali siapa saja pelaku bararak itu sendiri, seperti perbandingan yang disampaiakan Ade tentang praktik bararak di daerah Pekanbaru dengan daerah Kinari. Anisa Nabila Khairo, atau yang biasa kami sapa Ica, menanggapi bahwasannya perlunya ada penjelasan yang khusus dalam praktik bararak dulu dan kini, sebab bararak dahulunya dilakukan dengan sukarela, sedangkan kini upaya bararak ditentukan dengan finansial dalam lokasi tertentu seperti di Dhamasraya yang menyewa marching band dalam praktik bararak, hal ini perlu dipetakan kembali dalam konteks bakureh terhadap perbandingan-perbandingan yang relevan dengan situasi sosial di daerah tersebut.

Memperdalam pembahasan itu, Albert Rahman Putra, Pegiat Komunitas Gubuak Kopi yang juga menjadi pemandu FGD ini, juga menanggapi tentang fenomena tradisi sebagai ‘objek visual’ semata, yang sering kali dibalik tradisi itu telah terjadi penyerdahanaan proses, yang juga merubah esensi dan nilai-nilai tradisi itu sendiri. Sering kali ini terjadi karena ingin instan dan mengepankan tradisi sebagai potensi ekonomis wisata. Sebagai contoh, dalam bararak yang menggunakan upah agar supaya dalam acara alek terlihat ramai dan mewah, walau pun bentuk visual itu tidak lagi dapat kita pastikan sebagai representasi kegotong-royongan masyarakat tersebut, seperti halnya yang diyakini tradisi masa lampau. Namun, menurut Albert, penting juga untuk membaca fenomena ini sebagai perkembangan dari tradisi itu sendiri.

Presentasi outline selanjutnya disampaikan oleh Nurul Hakiki yang biasa kami sapa Kiu-kiu. Risetnya berfokus pada pemaknaan, mitos, dan falsafah samba (lauk) yang hadir pada upacara adat. Pada pengantar Kiu-kiu memaparkan tentang Alek Datuak (Upacara Datuak/Pemuka Adat), di kampungnya, di daerah Sungai Jariang, Agam. Ada beberapa poin utama yang disampaikan Kiki dalam konteks alek datuak yaitu situasi daerah dan sosial, mufakaik (kata mufakat/kesepakatan), baambalau (menyembelih kerbau). Dalam prosesi baambalau masyarakat bersama-sama mendirikan pale-pale (pondok untuk memasak). Kiu-kiu menyampaikan hidangan dalam prosesi bajamba (makan bersama) mempunyai makna khusus, seperti contoh dalam makan bajamba terdiri dari 6 orang mempunyai makna di daerah terdiri dari 6 suku. Sefni menanggapi tentang samba dan kepercayaan anak muda kini dalam konteks mileneal, perlunya mencari pandangan dari hal tersebut.

Joe Datuak, salah seorang fasilitator, menambahkan bahwasannya di dalam prosesi alek datuak tidak semuanya dilakukan tradisi bararak, dalam konteks patah tumbuah hilang baganti (pergantian datuak/penurunan gelar jika terjadi kemalangan) atau pengangkatan secara mendadak di beberapa nagari tidak dilakukan prosesi bararak atau menyembelih kerbau.

Presentasi outline selanjutnya disampaikan oleh Ica yang berfokus pada perluasan makna bakureh sebagai platform dan nilai-nilai kebudayaan, yang bersinggungan dengan budaya gotong royong dan tradisi lisan, yang merujuk pada spesifikasi adat perkawinan dalam istilah badoncek pada pemaparan materi Buya Khairani sebelumnya, yaitu bakureh atau gotong royong dalam prosesi adat alek, yang melibatkan keluarga dan tetangga terdekat, di dalamnya terdapat sisitem sosial dan kaitannya dengan aturan sosial yang tidak pernah dituliskan, dan budaya terbangun dengan sendirinya dikarenakan kebiasaan tersebut, salah satu pengaruhnya dengan tradisi lisan atau disebut kaba. Ica menyampaikan bahwasannya bakureh memiliki makna yang kompleks, untuk mengidentifikasi kompeksitas tersebut, Ica mencoba melihat perbandingan penurunan makna dan kata dalam bakureh, juga sering disebut dengan pengertian berkuli, adanya pengaruh modernitas salah satu penyebab makna dan kata itu turun dan menjadikan itu sebuah profesi.

Untuk memperdalam outline ini, Albert merangkai dari kompleksitas makna bakureh, yang pada dasarnya tidak bisa diharfiahkan seagai gotong royong masak saja, akan tetapi banyak pemaknaan di dalamnya. Bakureh sebagai sebuah platform meliputi gotong royong, distribusi pengetahuan, budaya lisan, adab, yang secara keseluruhan dapat kita lihat sebagai upaya merawat kekuatan sosial. Seperti halnya pemaknaan kata dada sebagai cikal bakal dadaisme, di Prancis yang secara harfiah berarti mainan kuda-kudaan, akan tetapi makna dadaisme tersebut  mengadung makna yang kompleks sebagai upaya penolakan terhadap pakem seni sebelumnya yang sangat eksklusif.

Presentasi outline selanjutnya disampaikan oleh Olva Yusnita, yang membahas peran bakureh pada upacara kematian. Beberapa poin utama dalam isu yang disampaikan yaitu mengenai, bakureh dan spontanitas atas rasa kepedulian yang ada di masyarakat, nantinya akan dibahas melalui teori Emil Duchamp dalam kesadaran kolektif, tanpa disadari masyarakat berkumpul bersama, membuat aturan-aturan yang berbeda di setiap daerah. Pada perbedaan alek kematian datuak biasanya ditemukan perbedaan-perbedaan, seperti membentangkan kain putih panjang sampai ke pintu rumah sebagai prosesi kematian tersebut. Olva mengambil teori August Comte bahwa pola pikir masyarakat bersifat empiris dengan menggunakan kajian yang ilmiah, ada tiga tahapan pola pikir manusia yaitu theologis, metafisik, dan positif. Masyarakat pada dasarnya mengalami perubahan pola pikir dari awal, theologis mempercayai setiap benda itu mempunyai roh, dan pada metafisik mulai muncul agama yang bersifat kekeramatan (animisme) yang merujuk pada kebendaan. Dan pada saat ini masyarakat sudah masuk ke ranah pola pikir postif. Ada insting kemanusiaan yang kentara pada alek kematian, pada saat terjadi kemalangan di salah satu daerah, masyarakat sekitar mempunyai tanggung jawab untuk melakukan upacara itu sampai selesai dalam prinsip bakureh dalam konteks kematian.

Presentasi outline selanjutnya disampaikan oleh Sefni. Ia mencoba memetakan isu kultur pertanian berkaitan dengan kegotong-royongan dalam penyelenggaraan pesta adat. Sefni melakukan observasi lanjutan di daerah Batu Basa Pariaman, dalam tradisi nilai gotong royong yang ada di Pariaman meliputi seperti membersihkan saluran irigasi atau istilah di kampungnya itu, mambukak kapalo banda, julo-julo (arisan) menggarap sawah dari menanam hingga memanen tanpa adanya upah. Sefni mencoba menyeleraskan sejarah masa lampau sebagai penggalian isu terhadap tradisi pertanian tersebut, ada beberapa kegiatan tradisi gotong royong yang ada di daerah tersebut seperti mambantai (membantai) menyembelih ternak, kegiatan ini dilakukan biasanya dilakukan sebelum hari raya Idul Fitri, kegiatan ini dilakukan biasanya di pasar tradisional, umumnya laki-laki yang melakukan kegiatan ini, baik itu menyembelih ataupun membeli daging sapi tersebut, pada tradisi ini sapi biasanya dibayar setelah pembukuan selesai. Pada prosesi penyembelihan kerbau, tradisi lisan juga dipakai, seperti candaan-candaan ketika bekerja.

Setelah para partisipan mempresentasikan outlinenya masing-masing, Albert selaku narasumber pemandu diskusi, bersama Delva Rahman selaku pimpinan proyek ini mempertajam kembali isu-isu yang dibahas oleh partisipan dengan megkritisi ulang outline yang telah dirancang. Setelah revisi outline, para partisipan akan melanjutkan risetnya masing-masing, dan akan dibahas lagi perkembangan di FGD berikutnya. Selain itu, di sela-sela liburan, para partisipan juga membangun diskusi-diskusi kecil terkait proyek ini. Liburan yang berisi.

Biasa disapa Ogy atau Cugik, lahir di Bukittinggi, Desember 1991. Lulusan pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Padang. Aktif berkegiatan di Ladang Rupa Bukittinggi, sebuah kelompok yang menyebut diri sebagai pengembang seni dan budaya Kota Bukittinggi. Ia juga merupakan partisipan Lokakarya Media: Kutur Daur Subur yang diselenggarakan oleh Gubuak Kopi (2017). Dan aktif berparitisipasi pada program Daur Subur berikutnnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.